Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Antrean pemilih di tempat pencoblosan belum lama bubar, Ahad siang, 2 Maret lalu. Komisi pemilihan umum pun belum mengeluarkan hasil perhitungan sementara. Tapi, ketika malam mulai menyelimuti Ibu Kota Moskow, salah seorang calon presiden, Dmitry Medvedev, merayakan kemenangan dengan menggelar konser musik rock di Lapangan Merah. Ia tampil di panggung bersama Presiden Rusia yang sebentar lagi lengser, Vladimir Putin. Keduanya kompak mengenakan jaket kulit hitam dengan tungkai dibalut blue jeans. Hujan salju tak menghalangi ribuan anak muda mengelu-elukan mereka. ”Kita akan mampu memelihara arah jalan yang dicanangkan Presiden Putin,” ujar Medvedev, yang gandrung pada musik cadas.
Kemenangan Medvedev, 42 tahun, sudah diduga. Dialah kandidat yang dijagokan Presiden Vladimir Putin, 55 tahun. Dalam poster kampanye foto mereka bersanding dengan tulisan ”Bersama kami akan menang”. Keberhasilan Putin menyelamatkan Rusia dari kebangkrutan setelah Uni Soviet berkeping-keping menjadi jaminan mayoritas rakyat Rusia memilih Medvedev. ”Medvedev dipromosikan Presiden Putin. Kami percaya Medvedev adalah orang terbaik yang akan melanjutkan pembangunan Rusia,” ujar Leanna, penduduk Moskow.
Berdasarkan perhitungan terakhir komisi pemilu Rusia, Dmitry Medvedev meraup 70,28 persen suara. Bekas pengacara ini hanya menyisakan 17,72 persen suara untuk Ketua Partai Komunis Gennady Zyuganov, 10 persen untuk pemimpin Partai Liberal Demokratik Vladimir V. Zhirinovsky, dan 1,29 persen untuk Ketua Partai Demokrat Andrei Bogdanov. Partisipasi pencoblosan tercatat 69,78 persen, suatu jumlah yang tinggi.
Kemunculan Medvedev dalam pentas politik Rusia boleh dibilang istimewa. Pada saat diangkat sumpahnya sebagai presiden pada 7 Mei mendatang, dialah pemimpin Rusia termuda sejak Tsar Nicholas II. Medvedev juga presiden pertama Rusia yang bebas dari masa kelam partai komunis pada era Uni Soviet atau wajah seram badan intelijen KGB. Ia juga menggantikan seorang presiden—Vladimir Putin—yang menjalankan kekuasaan dalam genggaman satu tangan, sebagaimana tradisi politik Rusia selama ini.
Tapi Putin tidak sungguh-sungguh pensiun dari panggung kekuasaan, karena Medvedev meminta Putin menjadi perdana menteri. Keputusan Medvedev ini juga sudah diduga, bahwa Putin tak akan melenggang begitu saja keluar dari Kremlin, meski ia tak lagi menjabat presiden setelah menjabat dua periode. Pasal 18 konstitusi Rusia memang melarang seseorang menjabat presiden lebih dari dua periode berturut-turut.
Putin tentu dengan sukacita menerima permintaan Medvedev. ”Saya akan menjadi perdana menteri selama Medvedev menjabat presiden,” ujar Putin. Bagi analis politik, penunjukan Putin sebagai perdana menteri sebagai isyarat bahwa Rusia masih berada di bawah cengkeraman kekuasaan Putin. ”Medvedev dan Putin sama saja. Satu kelompok yang sangat dekat. Seperti keluarga, Putin akan memerintah, dan Medvedev akan menjadi asistennya,” ujar Vladimir Ryzhkov, analis politik dan bekas anggota parlemen.
Pertemanan Medvedev dan Putin sudah terjalin di Leningrad (sekarang St. Petersburg). Keduanya alumni Fakultas Hukum Universitas Negeri St. Petersburg. Medvedev bertemu Putin ketika ia bergabung dengan tim yang dibentuk Putin sebagai konsultan ahli Wali Kota St. Petersburg pada 1990. Tapi, ketika Putin bekerja untuk KGB, Medvedev mengajar di almamaternya.
Ketika karier Putin moncer di ibu kota, ia tak pernah lupa pada Medvedev. Setelah menggantikan Presiden Boris Yeltsin pada 1999, Putin menarik Medvedev ke Moskow. Medvedev didapuk sebagai kepala staf Kremlin. Sejak itulah ayah satu anak ini tak pernah lepas dari bayang-bayang Putin. Medvedev memimpin kampanye Putin dalam pemilihan presiden. Putin mempercayakan perusahaan energi negara Gazprom kepada Medvedev, dan sebagai wakil pertama perdana menteri. Selama itu pula Medvedev dengan senang hati mengikuti perintah Putin.
Medvedev dan Putin tentu bukan kembar identik. Mereka dua sosok yang berbeda latar belakang karier politik dan kepribadian. Pemuja grup musik era 1970-an Deep Purple dan Pink Floyd ini cenderung berperilaku moderat dan berhati-hati. Ia biasanya menggunakan bahasa kampus yang tertib, meski ia mulai meniru pola Putin berpidato sebagai upaya agar kedengaran lebih berkekuatan dan bergaya bicara bak seorang presiden. Sedangkan Putin selalu menggunakan bahasa pasar yang serba terus terang.
Putin adalah pemimpin yang masih kental warna Uni Sovietnya. Ia menimbulkan citra sebagai seorang pemimpin bertangan besi yang menegaskan pentingnya aspek keamanan dan kekuatan Rusia. Sebaliknya, Medvedev dengan latar belakang hukum yang lebih kuat menekankan pentingnya perundangan, pengadilan yang independen, kebebasan berbicara, dan kebebasan pers. Ia juga menyebut dirinya seorang demokrat. ”Kebebasan lebih baik daripada tidak bebas,” katanya.
Diduga, Medvedev akan mengikis praktek antidemokrasi yang terjadi selama Putin berkuasa, dan tampaknya ia akan menunjukkan wajah yang lebih bersahabat terhadap negara Barat. Ia juga bakal gencar mempromosikan dunia usaha sembari meningkatkan kesejahteraan sosial. Tugas utamanya memberi merek pada Rusia, khususnya untuk investor asing. ”Ia akan mencoba mengubah persepsi Rusia dari negara korup, tidak efisien, tak memiliki proteksi hukum, menjadi negeri yang lebih terbuka untuk dunia usaha,” ujar Chris Weafer, seorang bankir.
Namun Medvedev mengaku, jabatan kepresidenannya akan merupakan kelanjutan langsung kepemimpinan Putin selama dua periode. Satu masa yang ditandai dengan konsentrasi kekuasaan pada satu orang di Kremlin dan kebijakan luar negeri bermuka garang terhadap Uni Eropa dan Amerika Serikat. Tapi, kata Medvedev, ia tak akan membiarkan Putin sebagai perdana menteri menggerogoti kekuasaannya. ”Kantor presiden di Kremlin. Kantor perdana menteri di Gedung Putih (markas pemerintah),” ujar Medvedev. Ia juga menegaskan, konstitusi mengamanatkan urusan luar negeri dan keamanan nasional ada di tangannya sebagai presiden. Sebagai presiden, Medvedev juga bisa memecat Putin.
Tapi Putin punya pandangan lain. ”Kabinet yang dipimpin perdana menteri adalah otoritas eksekutif tertinggi di negeri ini,” ujar Putin. Menurut Putin, tanggung jawabnya sebagai perdana menteri termasuk mengelola anggaran belanja nasional, kebijakan luar negeri dan dalam negeri, serta keamanan nasional. Dan semua tanggung jawab itu dilakoni Putin selama delapan tahun sebagai presiden, sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi.
Putin diduga dengan mudah bisa mengalihkan kekuasaan presiden kepada dirinya sebagai perdana menteri dengan dukungan suara mayoritas di parlemen. ”Ini operasi rahasia KGB untuk memindahkan kekuasaan dari satu orang ke orang lain,” ujar bekas Perdana Menteri Mikhail Kasyanov, yang gagal mencalonkan diri dalam pemilihan presiden ini.
Lalu kekuasaan apa yang tersisa untuk Medvedev sebagai presiden? Menurut Putin, presiden bertindak sebagai penjamin konstitusi dan memberikan garis besar kebijakan. Toh, sebagai presiden, Medvedev pun tak perlu repot, karena Putin sudah menetapkan garis besar haluan negara untuk Rusia hingga 2020 pada awal Februari lalu. Belakangan ia menyatakan Medvedev bisa melengkapi elemen cetak biru garis keras kebijakan pemerintah.
Tak aneh bila muncul spekulasi, Medvedev yang masih ”hijau” itu hanya akan menjadi boneka Putin. ”Dia telah dikondisikan patuh pada Pak Putin,” ujar Andrei A. Piontkovsky, komentator politik. Kalau sudah begini, kita bisa merasakan, di ujung dunia lain, Presiden Amerika Serikat George W. Bush murung dan bingung.
Raihul Fadjri (ABC, Reuters, BBC, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo