Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah tua yang teduh itu, di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, menjadi saksi pertemuan kami dengan Jenderal Nasution. Suatu hari pada akhir Oktober 1961 kami tiba di rumah itu. Dalam ruang tamu berwarna cerah, tuan rumah menerima kami dengan begitu hangat—sesuatu yang tidak saya sangka. Nasution sendiri yang membuka pintu. Ia meminta ajudannya menghidangkan kopi dan makanan kecil. Ini di luar kebiasaan Nasution yang kami kenal jarang menerima tamu di rumah berlama-lama.
Tapi, begitulah, pagi itu terasa istimewa. Tiga tahun lamanya menjadi pemberontak di pegunungan Sulawesi, baru kali itu kami bertatap muka kembali. Saya datang dari Manado, diantar Kolonel Soenandar Priyosudarmo, Panglima Kodam XIII/Merdeka, Sulawesi Utara. Tujuan saya, melapor ke Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Nasution: saya menyerah, kembali ke pangkuan Republik, tanpa syarat. Saya juga mengaku telah memberontak. ”Tapi saya tidak pernah menyesalinya.”
Nasution tidak marah. Ia menjelaskan keputusan Presiden Soekarno memberikan amnesti dan abolisi bagi para pengikut gerakan Permesta. Saya ternyata masuk golongan A, jadi harus dikarantina. Golongan A adalah para tokoh nasional yang disebut Soekarno dalam keputusannya sebagai ”Penghalang Roda Revolusi”.
Saya tidak tahu soal amnesti dan abolisi. Bergerilya dari satu pegunungan ke pegunungan lain membuat saya tak banyak mengikuti perkembangan dunia luar. Maka, ketika Nasution bicara panjang lebar tentang hal itu, saya diam saja mendengarkan.
Saya sempat bingung, kenapa Soenandar memundurkan tanggal penyerahan saya—mundur 16 hari dari saat saya turun, 20 Oktober 1961. Ternyata, kata Soenandar, 5 Oktober adalah batas akhir yang ditetapkan bagi anggota gerakan PRRI dan Permesta untuk menyerahkan diri. ”Supaya masih bisa masuk daftar yang direhabilitasi,” ujarnya.
Dibanding tokoh Permesta lainnya, saya termasuk yang paling akhir turun gunung. Tokoh lain seperti Mayor Jenderal Alex Evert Kawilarang, yang juga Panglima Besar Republik Persatuan Indonesia (RPI), sudah lebih dulu turun bersama 10 ribu anggota pasukan. Mereka ikut apel penyerahan diri yang disaksikan Jenderal Nasution dan Jenderal Ahmad Yani di Manado, Mei 1961.
Bagi saya, sebelum pimpinan saya, Perdana Menteri RPI Sjafruddin Prawiranegara mengumumkan berakhirnya permusuhan, saya akan tetap di hutan. Hingga saat itu masih ada 200 orang pasukan ikut bersama saya.
Ketika Soenandar mengirim Gunarso, asistennya, meminta saya menyerah, saya tetap menolak. Saya bilang, hanya mau turun kalau ada surat dari Sumatera. Saya menunggu perintah dari Pak Sjafruddin. Dia mengumumkan berakhirnya pertentangan dengan RI sejak 17 Agustus 1961. Pada Oktober saya baru menerima kopi surat dari PRRI. Semua tokoh RPI meneken. Saya menyerah.
Lahir di Remboken, 11 Juni 1923, nama saya sebenarnya adalah Herman Nicolas Sumual. Tapi, di kalangan kawan-kawan dekat, saya populer dengan Ventje. Itu panggilan semasa kecil. Remboken adalah sebuah desa kecil di pinggir Pantai Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Di situ kami tujuh bersaudara dibesarkan dengan keras oleh ayah saya, seorang sersan KNIL (serdadu Belanda).
Pada 1950, saya kembali ke Sulawesi setelah bertugas sebagai Kepala Staf Brigade VI di Yogyakarta. Saya menjadi anggota Komisi Militer Indonesia Timur dengan tanggung jawab utama di Sulawesi Utara, tanah kelahiran saya. Komisi militer saat itu bertugas mendaftar bekas anggota KNIL menjadi anggota TNI. Begitu pula para gerilyawan yang ikut memanggul senjata.
Di situlah saya akhirnya menemukan kondisi prajurit yang mengenaskan. Keluarga mereka tidur berimpitan dalam bilik-bilik berdinding lembap. Sebuah ironi, ketika para suami keluar berbaris dengan seragam gagah, tapi anak-istri duduk menunggu di dalam tangsi, kurus dan pucat.
Situasi ini membuat saya, para perwira dan tokoh masyarakat di Sulawesi, menoleh ke Jakarta. Kami menyumbang pendapatan besar bagi negara dari hasil ekspor kopra, tapi sedikit yang kembali ke daerah. Inilah yang membuat pimpinan militer kami di daerah terpaksa menempuh langkah terobosan. Salah satunya dilakukan Panglima Indonesia Timur saat itu, Joop Warouw, yang mengizinkan barter kopra. Cara serupa dilakukan sejumlah pimpinan militer di daerah lain, seperti Sumatera dan Kalimantan. Hasilnya dipakai membangun barak prajurit yang di bawah standar kepatutan.
Sebaliknya, Jakarta melarang barter. Pimpinan TNI di pusat, Nasution, malah menindak Warouw. Teguran serupa diberikan kepada daerah lain. Larangan barter itulah yang semakin memantapkan keyakinan kami, otonomi seluas-luasnya harus diwujudkan.
Ketidakpuasan di kalangan perwira memuncak ketika kami menggelar reuni Korps Perwira Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Cibangkong, Bandung, November 1956. Salah satu yang dibahas adalah kekecewaan atas kepemimpinan Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Dia dianggap kurang memiliki perhatian kepada prajurit.
Kawan-kawan di Korps SSKAD itu bersepakat, situasi ke depan bakal semakin gawat. Keretakan di tubuh TNI tak terbendung. Apalagi pengaruh komunisme semakin merajalela. Dalam reuni itu diputuskan, ”Bila kami terpaksa berhadapan, tidak akan saling menembak.”
Keresahan di sejumlah daerah di Sumatera akhirnya melahirkan pergolakan. Pada akhir 1956 dan awal 1957, lahirlah Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Selatan. Hawa perlawanan merembet ke Sulawesi. Para pemuda Bugis dan Minahasa menuntut pendirian dewan serupa di Sulawesi.
Gubernur Andi Pangerang dan para pejabat daerah menangkap keresahan ini. Mereka menyusun konsep tuntutan otonomi daerah yang akan dibawa ke Jakarta. Sejumlah perwira membahas hal serupa. Pada 28 Februari 1957, gubernur dan para pejabat daerah di seluruh Sulawesi berusaha berunding dengan Jakarta mengenai tuntutan otonomi pembangunan. Kami bertemu mereka dalam pesawat saat pulang ke Makassar.
Lantaran upaya negosiasi tidak digubris Jakarta, begitu tiba di Makassar kami sepakat menggelar rapat menyusun konsep perjuangan otonomi. Rapat hari itu, 1 Maret 1957, berlangsung hingga menjelang subuh di rumah Gubernur. Pada akhir rapat, 51 orang yang hadir meneken Piagam Perjuangan Semesta.
Saya peneken pertama. Penanda tangan lain di antaranya Mayor M. Yusuf dan Sjamsoeddin, ayah Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin. Kami kemudian membacakan Deklarasi Permesta. Setelah itu, saya sebagai Panglima TT Wirabuana menyatakan Indonesia Bagian Timur dalam keadaan darurat perang. Gubernur Andi Pangerang juga membacakan seruan agar rakyat tetap melaksanakan pekerjaan sehari-hari.
Saya juga menggelar Kongres Bhinneka Tunggal Ika di Makassar, Mei 1957. Wakil dari semua kabupaten di empat provinsi Indonesia Timur hadir sekaligus menyatakan dukungan kepada Permesta. Belakangan, Nasution dan Ahmad Yani setuju dengan konsep itu. Sekitar Mei 1957, saat berkunjung ke Makassar, Nasution menyatakan sepakat dengan isi Permesta.
Pertengahan September 1957, Soekarno dan Kabinet Perdana Menteri Djuanda menggelar Musyawarah Nasional (Munas). Sebenarnya ini tawaran kompromi pemerintah atas tuntutan daerah. Terlihat sekali Soekarno ingin melakukan rekonsiliasi. Ia bahkan melepaskan 41 anggota Dewan Banteng dan Garuda yang ditahan.
Agenda Jakarta ini membuat kami merapat. Pada 8 September, saya bertemu dengan Letkol Ahmad Husein dan Letkol Barlian di Palembang. Hasilnya, lahir enam pasal tuntutan yang kami bawa ke Munas. Di antaranya, pemulihan kembali dwitunggal Soekarno-Hatta, penggantian pimpinan TNI-AD (terutama Nasution), desentralisasi dengan otonomi luas bagi daerah, pembentukan senat, penyederhanaan aparatur negara, dan pelarangan komunisme.
Namun Jakarta ternyata hanya mengagendakan tiga masalah: pemulihan kembali dwitunggal, pelaksanaan pembangunan nasional, dan perubahan pimpinan Angkatan Darat. Soal komunis tidak dibahas. Para perwira yang ”bermasalah” juga tidak diundang. Hasilnya, dwitunggal setuju dipulihkan kembali. Pada saat penutupan Munas, Soekarno berjanji akan segera berbaikan dengan Hatta.
Sedangkan urusan keretakan pimpinan AD dibahas tim tujuh yang diketuai Soekarno sendiri. Anggotanya enam orang: Hatta, Djuanda, Wakil Perdana Menteri Leimena, Sultan Hamengku Buwono IX, Aziz Saleh, dan Nasution. Sewaktu tim itu diumumkan, kami protes. Kami bilang, Nasution itu terlibat masalah, kenapa masuk. Dalam rapat terjadi perdebatan sengit antara Nasution dan saya tentang legalitas dan disiplin militer, hingga akhirnya saya menggebrak meja dan keluar ruangan.
Munas rencananya akan dilanjutkan dengan Musyawarah Pembangunan pada akhir November. Tapi kemudian terjadi Peristiwa Cikini. Presiden Soekarno digranat ketika sedang menghadiri acara sekolah anaknya di Perguruan Cikini, 30 November 1957. Usaha pembunuhan Presiden gagal, tapi banyak siswa jadi korban.
Soekarno marah. Sampai di Istana, ia berkata kepada wartawan, pelakunya adalah kami. Zulkifli Lubis, rekan kami yang dikenal ahli intelijen, dituding sebagai dalang utama. Saya kaget, dan saya suruh orang mencari Lubis. Dia bilang, ”Bukan saya. Kalau saya, mana mungkin gagal?” Maksudnya, jika Lubis yang merencanakan, Soekarno pasti tewas.
Terus terang, tudingan ini lucu. Untuk apa kami mengacaukan sendiri usaha kami di Munas yang sedang di atas angin? Akibat peristiwa itu, kami yang sedang menghadiri Musyawarah Pembangunan sempat ditahan. Rencana mengumumkan pelaksanaan hasil Munas, pada 3 Desember di forum kabinet, bubar. Wakil Perdana Menteri Leimena mengumumkan bahwa segala keputusan Munas dibekukan.
Menyusul ultimatum yang dikirim Jakarta, kami sepakat berkumpul lagi. Saya terbang ke Singapura dan menyewa perahu motor ke Pekanbaru. Dari sana saya langsung meluncur ke Sungai Dareh di perbatasan antara Sumatera Barat dan Jambi, Januari 1958. Hadir dalam pertemuan itu, selain para panglima yang dianggap memberontak, juga politisi seperti Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Mohammad Natsir, hingga Sumitro Djojohadikusumo. Di desa itu, kami sepakat membuat wadah perjuangan yang nantinya dinamakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Selain menyiapkan logistik perang, saya juga melakukan pembicaraan untuk membantu perjuangan di dalam negeri. Dalam perjalanan ke Taipei, Manila, dan Tokyo, saya sempat mampir ke Hong Kong. Di situ saya bertemu Joop Warouw, mantan Panglima Kodam Wirabuana. Warouw saat itu sudah menjadi atase militer RI di KBRI Beijing.
Saya dan Warouw terbang ke Tokyo. Presiden sedang berada di Tokyo, awal Februari. Warouw adalah perwira yang dikenal Soekarno lantaran loyalitas dan integritasnya karena menolak Nasution dalam peristiwa 17 Oktober 1952. Warouw menemui Soekarno dan menjelaskan perihal krisis yang terjadi setelah peristiwa Cikini.
Soekarno setuju perlunya jalan damai. Ia langsung mengirim surat ke Perdana Menteri Djuanda. Tapi itikad baik Soekarno gagal dilaksanakan. Nasution sudah memerintahkan pengeboman Padang dan Manado. Perintah pengeboman menyusul ultimatum yang dilontarkan Dewan Perjuangan, 10 Februari 1958, di Sungai Dareh. Ultimatum yang dibacakan Ahmad Husein itu menyebut, ”Dalam tempo 5 x 24 jam kabinet Djuanda menyerahkan mandat kepada Presiden atau Presiden mencabut mandat Kabinet Djuanda. Presiden membentuk kabinet baru di bawah Bung Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX.” Ultimatum ditolak. Buntutnya, Ahmad Husein dan Maludin Simbolon dipecat. Dua hari berselang Padang dibom oleh AURI. Menyusul kemudian Manado.
Pada 15 Februari, Kabinet PRRI diumumkan di Bukittinggi, Sumatera Tengah. Sjafruddin Prawiranegara menjadi perdana menteri. Disebut juga pembentukan angkatan perang PRRI. Sewaktu proklamasi, saya sedang ada di Manila. Segala perkembangan saya pantau melalui radio, termasuk pemecatan saya oleh Markas Besar Angkatan Darat.
Sebetulnya, dengan proklamasi PRRI, terjadi perpecahan di tubuh deklarator Permesta. Ada Permesta yang ikut PRRI, ada yang tidak. Ada pula yang anti-Permesta tapi ikut PRRI. Dari 51 orang deklarator Permesta, hanya 16 yang bertahan. Kebetulan, semuanya berasal dari Sulawesi Utara, yang kemudian meneruskan gerakan.
Lantaran itu saya tidak sepakat jika istilah PRRI dan Permesta digabung, karena keduanya berbeda. Pada 1970-an, ketika bertemu Jenderal M. Yusuf, kami berkelakar. ”Ven, kalau aku Permesta saja, kau Permesta perang,” ujarnya.
Bom yang dijatuhkan di Padang, Manado, dan Ambon memaksa kami tak lagi bertahan, tapi menyerang. Apalagi logistik kami cukup memadai untuk melakukan serangan. Mayor Jenderal Alex Kawilarang juga telah meninggalkan posnya di Washington dan ikut bergabung. Posko penyerangan tak lagi berada di Sumatera, tapi sudah berpindah ke Sulawesi Utara. Inilah awal perang saudara di antara sesama pejuang kemerdekaan.
Awalnya kami berniat menduduki Jakarta. Buat kami, Jakarta adalah kunci. Sebetulnya mudah saja menguasai Jakarta. Yang dibutuhkan adalah menguasai lapangan terbang Kemayoran. Dari situ, tinggal mengebom kilang minyak di Tanjung Priok. Kalau kilang minyak sudah dibom, Jakarta dan Bandung akan lumpuh. Bagaimana Jawa bila tak punya minyak? Baru kami mendarat di Cilincing.
Jika semua skenario ini mulus, kami tidak akan mengganti Soekarno. Dia tetap presiden. Yang kami ingin ganti adalah kabinetnya, menjadi Hatta dan Sultan Hamengku Bowono IX. Selain itu, kami ingin komunisme dihapuskan. Sayangnya, apa yang kami susun matang itu buyar ketika pesawat B-26 yang dipiloti Allen Lawrence Pope tertembak jatuh di Ambon. Amerika pun angkat kaki dan menarik semua pesawatnya.
Perlahan kami dipukul mundur oleh pasukan TNI. Dengan peralatan dan persenjataan yang mulai terbatas dan mental prajurit yang menurun, perpecahan pun tak terelakkan. Setelah jatuhnya Kotamobagu, kami terbagi dalam beberapa sektor. Bergerilya sendiri-sendiri dari hutan.
Sebenarnya bisa saja kami tetap bergerilya biarpun selama puluhan tahun. Ada ungkapan ”The Guerillas win by not losing and The Army lose by not winning.” Namun, jika diteruskan, yang menang bukan Nasution atau pihak kami, melainkan PKI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo