Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=1>Burma</font><br />Harapan Demokrasi yang Pupus

Burma menggelar pemilihan umum pertama dalam 20 tahun ini. Partai yang dibekingi junta militer menang telak. Oposisi yakin dicurangi.

15 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan itu mengingatkan pada Indonesia di masa Orde Baru. Hasil pemilihan belum resmi diumumkan, tapi partai yang didukung junta militer Burma menyatakan telah memenangi 80 persen kursi parlemen.

Pemilu yang peraturannya dinilai hanya menguntungkan partai-partai dukungan junta ini merupakan pemilu pertama dalam 20 tahun terakhir. Banyak pihak berharap hasil penghitungan akhir memberikan setidaknya 25 persen kursi bagi partai prodemokrasi.

Selain NDF, Partai Demokrat, serta Partai Pembangunan dan Solidaritas Bersatu (USDP), pemilu diikuti sekitar 36 partai. Mereka bersaing memperebutkan 1.158 kursi parlemen nasional dan kursi-kursi di 14 parlemen daerah.

Kamis lalu, radio pemerintah mengumumkan hasil perolehan suara sementara: 147 konstituen di Majelis Rendah dengan 133 kursi bagi USDP. Adapun di Majelis Tinggi, USDP memenangi 81 dari 86 kursi yang diperebutkan.

USDP juga memperoleh kursi mayoritas di parlemen: 190 dari 219 kursi yang diumumkan untuk 330 kursi Majelis Rendah dan 95 dari 107 kursi yang dibuka bagi 168 kursi Majelis Tinggi. Para elite junta yang berkuasa juga memenangi kursi. Termasuk Perdana Menteri Thein Sein yang mengetuai USDP.

Sekretaris NDF, Win Naing, meminta komisi pemilihan umum membentuk komisi investigasi independen untuk memantau hasil pemungutan suara. NDF menuding, setidaknya 15 persen dari seluruh surat suara sudah disebar sehari sebelum pemilihan. Sebagian besar surat suara itu diisi oleh otoritas lokal untuk memenangkan USDP. Para pegawai negeri dipaksa memilih USDP dalam pemungutan suara.

"Para kandidat NDF ambil bagian dalam pemilihan karena mereka percaya pemilu adalah awal demokrasi," kata Win Naing. "Tampaknya itu tidak terjadi."

NDF memutuskan memisahkan diri dari Liga Nasional untuk Demokrasi—partai yang digawangi Aung San Suu Kyi—yang memilih untuk memboikot pemilihan umum. NLD memenangi pemilu tahun 1990, tetapi hasilnya tidak pernah diterima oleh junta militer.

NDF hanya mampu meraih 16 dari 163 kursi yang diperebutkan untuk kursi parlemen daerah dan nasional. "Kami tidak menerima hasil pemilu," kata Win Naing. NDF berencana mengajukan laporan pada komisi pemilihan nasional. "Kita perlu memberikan keputusan yang adil kepada para pemilih kami," kata Kyaw Thura, calon anggota legislatif NDF dari Yangoon.

Seorang pejabat USDP menyatakan partainya hanya kehilangan enam dari 91 kursi di Irrawaddy dan hanya dua dari 105 di Mandalay. Mandalay dan Irrawaddy adalah distrik yang terbesar dari 14 distrik di Burma.

Di wilayah Mon, Burma bagian timur, setidaknya 863 suara diperoleh dari satu batalion tentara. Lebih dari 90 persennya atau sekitar 794 suara memilih USDP. "Tak dapat dibayangkan," kata Myint Swe, calon anggotalegislatif dari Mon yang kalah, "karena satu batalion biasanya merekrut sekitar 300 tentara."

Partai etnis Mon yang ikut dalam pemilu itu mengatakan telah memenangi kurang dari 50 persen dari seluruh kursi yang diperebutkan di wilayah Mon, atau 16 dari 34 calon. "Pihak kami akan mengirim pengaduan ke komisi pemilihan untuk memeriksa kembali suara konstituen kami," kata Naing Aung Chan, seorang kandidat Mon yang kalah.

Saw Naing, calon independen untuk dewan perwakilan Yangoon, mengatakan hasil penghitungan di tempat pemungutan suara memperlihatkan dia telah mengalahkan kandidat USDP dengan 600 suara. Tetapi, ketika hasil penghitungan dibawa ke tingkat kota, jumlah suara berubah. Kandidat USDP menang dengan selisih 145 suara. Dia menantang komisi untuk mengoreksi hasil perolehan suara.

Para pengusaha dan penduduk Burma mengatakan tidak terkejut dengan kemenangan telak USDP. "Saya pikir itu adalah pemilu paling kotor dalam dua dekade," kata seorang pedagang berusia 50 tahun yang meminta tidak disebutkan namanya di sebuah pasar Bogyoke. "Pihak militer telah menipu masyarakat untuk memerintah secara permanen," katanya.

Ninin Damayanti (Irrawaddy, Bangkok Post, BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus