Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=1 color=brown>SURIAH</font><br />Malam dengan Denting Koin

Sebuah kasino didirikan kembali di Suriah. Mengincar jutawan dari Jazirah Arab.

21 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di malam musim dingin yang beku itu, The Ocean Club, rumah megah bergaya Eropa, penuh sesak. Suara koin berdentingan dari mesin slot, sementara para pria dan wanita berpakaian necis duduk di depan meja baccarat, blackjack, dan roulette. Tangan mereka memegang sloki berisi wiski. Malam itu mereka berharap bisa kaya mendadak.

The Ocean merupakan kasino terbesar pertama yang diberi lampu hijau untuk beroperasi sejak 1970. Peresmiannya pada malam Natal lalu berlangsung tertutup. Wartawan dilarang meliput. Tak ada foto Presiden Bashar al-Assad tergantung di dalam gedung. Itulah tanda bahwa Presiden tak ingin dikaitkan dengan kasino tersebut, meski tak mungkin tempat itu beroperasi tanpa anggukan kepalanya.

Kasino itu memungut bayaran US$ 10 sekali masuk, dan buka mulai pukul 4 sore hingga pukul 4 pagi setiap hari. Pengunjung wajib memakai setelan jas dan dasi atau gaun malam. Mereka pun wajib menunjukkan paspor. Penjagaan di sana amat ketat.

Pelatihan staf yang dipimpin seorang instruktur asal Libanon dilakukan diam-diam selama tiga bulan. Para bandar, kasir, dan penjaga keamanan belajar tentang perjudian di sebuah gedung dekat Hotel Internasional ­Damaskus.

Pengusaha Suriah menilai legalisasi kasino akan menguntungkan bisnis mereka. Kasino akan menjadi magnet bagi jutawan Arab. Mereka akan berbondong-bondong datang dari ­Jazirah ke Suriah. Dampaknya tentu positif bagi ekonomi: mendongkrak sektor jasa dan pariwisata.

”Untuk menarik turis, jangan hanya menawarkan Damaskus kuno, tapi juga semua daya tariknya,” kata seorang pengusaha yang enggan disebut namanya. Saat ketidakpuasan politik menggetarkan Tunisia dan Mesir, Presiden Suriah Bashar al-Assad malah bertaruh: gebrakan membuka kasino akan menjauhkan negaranya dari gempita revolusi.

Kasino di Suriah memang tidak seglamor di negara tetangganya, Libanon dan Turki. Tapi para pejabat berharap kasino mampu melepaskan citra Suriah sebagai negara yang kaku dan tertutup. Pemerintah Suriah juga ingin mencuri perhatian wisatawan yang gemar mendatangi negara-negara Arab yang kaya minyak. ”Suriah telah membuka diri. Inilah tandanya,” kata Jihad Yazigi, editor The Syria Report.

”Ini langkah yang baik secara ekonomi, tapi buruk bagi masyarakat,” kata Marwan, warga Suriah berusia 70 tahun. ”Saya melihat banyak pemuda bermasalah. Ini bukan hobi yang baik,” ujarnya.

Namun kritik ini tidak menghentikan langkah seorang pelanggan yang datang dua kali seminggu dan duduk di  meja blackjack. Dia dan penjudi lainnya menolak disebut namanya—mencerminkan stigma yang masih melekat di Suriah. Stigma ini pula yang menjadi alasan mengapa kasino dibangun di dekat bandara, 30 kilometer dari pusat kota.

Pemilik kasino ini adalah pengusaha Suriah, Khaled Hboubati. Ayahnya memiliki sebuah kasino di tempat yang sama sebelum ditutup pada 1970, pada masa pemerintahan tangan besi Hafez al-Assad.

Tapi, sejak kekuasaan beralih ke anak Hafez al-Assad, Bashar, dokter mata lulusan Inggris, wajah Suriah pun berubah. Sistem ekonomi Soviet yang kaku yang diadopsi Suriah mulai disingkirkan secara perlahan. ”Ini menunjukkan sebuah keinginan dari pemerintah Suriah untuk menggambarkan Suriah yang lebih liberal dalam masyarakat yang masih memegang prinsip sosialis,” ujar Yazigi.

Suriah kini ramai dengan orang-orang muda yang menikmati kopi di kafe pinggir jalan, atau mencari hiburan di pub dan klub malam. Pusat belanja mewah bersaing dengan pasar, dan puluhan rumah bersejarah berubah menjadi hotel megah dan restoran mahal.

The Damascus Opera House, yang diresmikan oleh Assad dan istrinya Asma pada 2004, menampilkan drama, or­kes­­­­­­tra, dan pameran berkualitas internasional. Menteri Pariwisata Saadalla Agha al-Kalaa mengatakan sektor pariwisata pada 2010 naik 40 persen dari 2009. Sektor ini bahkan telah menyumbang US$ 8 miliar dalam anggaran ­negara.

”Judi adalah dosa besar,” kata Mohammed Habash, anggota parlemen dan direktur pusat studi Islam. Tapi malam dengan denting koin itu tampaknya masih akan terus berlangsung di Damaskus.

Ninin P. Damayanti (CBS News, AP, The National)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus