Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Yang Terbuang yang Menyembuhkan

Sel punca dari darah tali pusat bayi bermanfaat menyembuhkan beragam penyakit. Di Indonesia, sudah ada bank yang menyimpannya. Sayang, informasi masih minim.

21 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat petugas laboratorium bersiap menerima paket sekantong darah yang menyerupai kantong donor darah pada Selasa siang pekan lalu. Isinya bukan sembarang darah, melainkan darah tali pusat bayi.

Petugas laboratorium CordLife, tempat yang berfungsi sebagai bank sel punca (stem cell), segera membawa kantong itu ke ruang pemrosesan. Ia membersihkan bagian luar kantong dengan alkohol agar steril sebelum mengukur bobot awalnya. Biasanya satu kantong berisi 60-70 mililiter.

Lalu ia mengambil sampel darah di area steril, biosafety cabinet. Darah yang mengandung HIV/AIDS atau hepatitis C akan dibuang dengan persetujuan pemilik. Jika darah sehat, petugas akan melanjutkan proses dengan pengambilan sel punca atau sel inti.

Metode yang digunakan cukup sederhana, tapi butuh waktu sekitar tiga jam. Seperti kopi tubruk, yang berampas pada bagian bawah, darah dibuat mengendap. Proses ini bertujuan memisahkan darah dari plasma, trombosit, dan sel darah merah—ketiganya dibuang.

Proses pemisahannya memakai tiga kantong darah atau triple-bag system yang tertutup dan terhubung satu sama lain. Kantong yang terakhir, ukurannya lebih kecil, akan berisi sel punca sekitar 20 milimeter. Kantong tersebut akan ”beristirahat” di dalam alat pendingin di ruang penyimpanan. Tujuannya, sel punca yang masih baru itu bisa menyesuaikan diri dengan udara dalam tangki penyimpanan.

Ketika petugas membuka penutup tangki, asap nitrogen cair meluap keluar. Ia lalu mengambil salah satu rak penyimpanan dan memasukkan kantong sel punca ke dalamnya. Hanya dalam hitungan detik, titik-titik es menempel pada sarung tangan biru si petugas karena suhu dalam tangki mencapai minus 196 derajat Celsius.

Seluruh proses tersebut harus selesai kurang dari 48 jam sejak darah diambil dari tali pusat bayi. Sel punca yang disimpan nantinya bisa dimanfaatkan untuk terapi penyembuhan lebih dari 80 jenis penyakit. Kecocokan darah ini bisa mencapai 75 persen dengan saudara kandung dan 50 persen dengan orang tua si pemilik tali pusar.

Sekitar 2.000 unit darah sudah tersimpan dalam laboratorium yang berada di Kompleks PT Bintang Toedjoe, Jakarta, itu, yang sudah beroperasi sejak 2007. Petugas CordLife harus selalu siap dengan kelahiran bayi kliennya pada jam berapa pun. Jasa yang diberikan mulai pengambilan darah setelah kelahiran hingga penyimpanannya. Pengguna jasa ini membayar sekitar Rp 11,5 juta untuk pengambilan dan Rp 1,65 juta per tahun untuk biaya penyimpanan.

Setelah orang tua setuju menggunakan jasa bank darah tali pusat ini, Cord­Life akan menyampaikan tata laksana pengambilan darah, yang akan dilakukan dokter kandungan. ”Setiap hari pasti ada darah yang datang,” ujar Manajer Laboratorium CordLife Martin A. Hertanto. Apalagi jika hari itu memiliki kekhususan, seperti 10 Oktober 2010. Jumat dua pekan lalu, sembilan kantong darah datang dari Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung. Tiga anggota staf laboratorium bekerja 24 jam secara bergantian.

l l l

Sel punca atau sel induk memiliki kemampuan mengubah diri menjadi banyak jenis sel yang berbeda di dalam tubuh. Karena itu, ia mampu memperbaiki atau mengganti sel-sel tubuh yang rusak atau sakit. Memperolehnya bisa dari embrio (setelah pembuahan lima hingga tujuh hari), zigot (janin berumur di bawah lima hari), organ-organ janin (darah, plasenta, dan tali pusat janin), serta manusia dewasa (sumsum tulang dan darah tepi).

Sel punca dari darah tali pusat bayi istimewa karena sifatnya masih naif dan muda. Karakternya yang haematopoietic—memiliki kemampuan unik untuk menyesuaikan diri dengan berbagai jenis darah dewasa—dapat mengganti sel darah yang rusak dan memperbaiki sistem kekebalan tubuh. Ia bisa dimanfaatkan menyembuhkan leukemia, talasemia (hemoglobin tak normal, yang merupakan penyakit keturunan), dan kanker getah bening.

Jika ditempatkan pada medium kimia yang tepat, sel punca haemato­poietic bisa berkembang menjadi berbagai jenis sel tubuh, termasuk sel hati, saraf, paru, jantung, dan tulang. Para peneliti di dunia saat ini masih mengembangkan penyembuhan penyakit alzheimer, parkinson, serta cerebral palsy (kelainan otak dan sistem saraf, yang mengakibatkan ketidakmampuan gerak, mendengar, memahami, melihat) dengan terapi sel punca.

Keistimewaan lain, pengambilan sel punca dari darah tali pusat lebih mudah dibandingkan dengan yang lain. Ketika bayi sudah dipisahkan dari sang ibu dan tali pusat dipotong, dokter akan menusuk tali pusat dengan jarum yang sudah terkoneksi dengan kantong darah. ”Hanya butuh dua hingga tiga menit,” ujar Richard Prayogo, Manajer Operasi ­CordLife Indonesia.

l l l

Pakar sel punca dokter Ferry Sandra mengatakan bank darah tali pusat bayi pertama kali muncul di negara maju sekitar 20 tahun lalu. Tapi pemanfaatan dan penelitian sel punca dilakukan sejak 50 tahun lalu.

Kelahiran domba Dolly pada 1996 merupakan hasil pengambilan sel punca dalam kelenjar susu domba betina dewasa. Sel punca ini dicampur dengan sel telur betina yang mendonorkan kelenjar susunya. Pencampuran tersebut menggunakan arus listrik dan tidak memakai sel sperma jantan. Kelahiran hingga kematian Dolly enam tahun kemudian dianggap sebagai terobosan paling signifikan dalam dunia ilmiah.

Di negara maju, menyimpan darah tali pusat bayi merupakan hal lumrah. Di Amerika Serikat sudah terdapat bank yang dikelola pemerintah, sehingga layanannya bisa dimanfaatkan siapa pun. Namun, kenyataannya, baru sedikit yang memanfaatkannya. Di Amerika, hanya sekitar satu dari 1.000 hingga 200 ribu bayi yang pernah memanfaatkan sel punca miliknya yang disimpan. Sejak CordLife membuka bank penyimpanan darah tali pusat bayi di Indonesia pada 2007, belum ada kliennya yang memanfaatkan darah tersebut. Sedangkan di kantor pusat Singapura, baru ada satu klien, untuk terapi leukemia kakaknya.

Toh, menyimpan di bank tersebut tetap dianggap bermanfaat. Salah satu klien CordLife Indonesia, dokter Sonia Wibisono, memakai jasa bank ini sejak anak keduanya, Rainer Wardhana Hardjanto, lahir pada Juli 2005. Ia kembali memakai jasa penyimpanan ini untuk anak ketiganya, yang lahir pada 11 Februari lalu. Menurut dia, penyimpanan ini bisa berguna apabila dibutuhkan. ”Kesehatan itu penting,” katanya.

Di Indonesia, penyembuhan dengan sel punca dipraktekkan sejak 2000-an. Pusat penelitiannya berada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Tapi pemanfaatan sel punca masih terbatas pada transplantasi penyembuhan penyakit jantung, luka bakar, dan tulang. ”Kita termasuk leading di Asia Tenggara dalam hal transplantasi sel punca untuk jantung,” ujar Ketua Asosiasi Sel Punca Indonesia dokter Ferry Sandra. Namun pengambilan sel punca tersebut masih memakai sel induk pasien atau autologus. Pengambilan ini termasuk sulit dan sering menyakitkan karena diambil dari sumsum tulang dan darah tepi pasien.

Hal ini berbeda jika memanfaatkan sel punca dari darah tali pusat bayi, yang relatif lebih mudah dan tidak menyakitkan ibu ataupun bayi. Sayangnya, menurut Ferry, masih banyak yang belum mengetahui manfaat darah tali pusat ini. Masyarakat terbiasa membuangnya karena dianggap kotor. Bahkan beberapa budaya lokal mengubur darah beserta plasenta dan tali pusat karena dianggap sebagai ”saudara kembar” bayi yang dilahirkan.

Terapi dengan memanfaatkan sel punca darah tali pusat bayi bukan tanpa cela. Risiko pasien yang menerima sel punca menderita kanker tetap ada karena sifat kanker memang sulit dideteksi, sehingga beberapa pasien memilih mengambil sel punca dari tubuhnya. Selain itu, terapi ini mahal jika dibandingkan dengan metode konvensional. Karena itu, terapi sel punca menjadi opsi terakhir yang diberikan dokter kepada pasien.

Risiko lain, tidak ada yang bisa menjamin berapa lama sel punca ini bisa disimpan. Sampai sekarang, para peneliti hanya mengatakan penyimpanan bisa mencapai 20 tahun terhitung sejak tali pusat bayi datang di bank. ”Perlu kajian etika dan ilmiah lebih lanjut soal ini,” ujar mantan peneliti Kyushu University dan Harvard University itu.

Sorta Tobing

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus