Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=1 color=brown>SURIAH</font><br />Menampik Gula-gula

Pemerintah Suriah mencabut Undang-Undang Darurat Perang. Oposisi tetap menuntut pergantian rezim.

25 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kota Homs begitu sunyi. Jalan-jalan lengang. Toko dan kantor menutup pintu. Pecahan kaca berserakan di jalan sekitar Lapangan Al-Saa. Agen keamanan pemerintah bersiaga tak jauh dari lapangan itu. Di lapangan, ribuan demonstran antipemerintah masih melakukan aksi duduk. Beberapa orang mengaku melihat penembak jitu di atap-atap bangunan. ”Seperti sebuah kawasan perang,” kata Abu Mohammed kepada Al-Jazeera, Selasa pekan lalu.

Khalid, seorang penjaga toko, menceritakan kemarahan warga akibat tindakan brutal aparat keamanan menghadapi unjuk rasa menuntut reformasi. Setidaknya 200 orang tewas dalam beberapa pekan terakhir. Dua belas orang di antaranya wafat di kota terbesar ketiga di Suriah ini.

Padahal hari itu seharusnya mereka gembira. Pemerintah memenuhi tuntutan utama demonstran: dicabutnya Undang-Undang Darurat Perang, yang telah diberlakukan 48 tahun. Beleid baru ini tinggal menunggu persetujuan Presiden Bashar al-Assad.

Tapi rakyat telanjur kehilangan kepercayaan. "Pengumuman ini hanya permainan kata-kata," kata mantan hakim yang kini menjadi tokoh oposisi, Haitham Maleh, kepada Reuters. Sebelumnya, pemerintah Bashar al-Assad juga mengumumkan kebijakan baru untuk memenuhi tuntutan lain demonstran: konsesi untuk kelompok minoritas, pembubaran kabinet, dan pembebasan sebagian tahanan politik.

Kebijakan tersebut sepertinya memang hanya gula-gula untuk mendiamkan bocah yang menangis. Selang beberapa jam, Mahmud Issa dijemput aparat. "Issa adalah mantan tahanan politik terkenal. Penangkapan hanya beberapa jam setelah pengumuman pencabutan undang-undang patut dicela," kata Kepala Pengamat Hak Asasi Manusia Suriah Rami Abdelrahman.

Tak mengherankan bila tidak ada rencana menghentikan unjuk rasa di negeri yang dikuasai Partai Baath ini. "Protes tidak akan berhenti sampai semua tuntutan dipenuhi atau rezim berganti," kata Haitham Maleh. Pada hari Undang-Undang Darurat Perang dicabut, demonstrasi terus berlangsung di berbagai kota, dari Daraa, Homs, Baniya, sampai Damaskus.

Dicabutnya Undang-Undang Darurat Perang juga tak berarti rakyat Suriah sudah menggenggam kebebasan. Ada peraturan baru keluar tentang pengaturan demonstrasi. Siapa pun yang menggelar unjuk rasa harus mendapat izin dari kantor Kementerian Dalam Negeri.

Pemerintah telah menyiapkan senjata lain: gerakan reformasi dicap sebagai pemberontakan bersenjata oleh kelompok Salafi. Di mata pemerintahan negara-negara Arab, Salafi dianggap sebagai kelompok militan yang sejajar dengan Al-Qaidah.

Para pengunjuk rasa tentu menyangkal label itu. "Kami bukan Salafi, bukan pula Ikhwanul Muslimin. Kami adalah pencari kebebasan," teriak demonstran di Baniya.

Mohammad Kawam, salah satu tokoh oposisi, menjelaskan, gerakan reformasi di Suriah dimulai dari gerakan membela remaja yang menulis grafiti mengkritik rezim. Gerakan ini melibatkan berbagai kelompok rakyat, termasuk oposisi. "Oposisi dari berbagai kelompok termasuk dari dua ujung spektrum politik: kiri sekuler maupun kelompok Islam," ujarnya

Gabungan berbagai kelompok itu tecermin dalam Deklarasi Damaskus, yang terdiri atas 250 kelompok oposisi penting, termasuk Gerakan untuk Keadilan dan Pembangunan Suriah, Ikhwanul Muslimin, Partai Demokratik Rakyat, serta Deklarasi Dewan Nasional Damaskus. Para pemimpin suku bahkan ikut bergabung di jalanan.

Mereka kian erat bergandeng tangan. "Sekarang mereka lebih aktif bicara satu sama lain," kata Anas al-Abdah, pendiri Gerakan untuk Keadilan dan Pembangunan. Sebelumnya memang tak ada kesempatan bagi oposisi di Suriah.

Kesulitan mengakses Internet diakali dengan menggunakan telepon seluler. "Kalau mereka menekan kami dengan Kalashnikov, kami melawan mereka dengan telepon seluler," ujar Abu Adnan, aktivis yang mengkoordinasi jaringan jurnalisme warga. Dari kejauhan, teriakan "kebebasan" masih terus terdengar dari Lapangan Al-Saa.

Purwani Diyah Prabandari (Al-Jazeera, BBC, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus