Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=1 color=brown>TRIPOLI</font><br />Sangkar Emas Rixos

Banyak jurnalis yang berada di Tripoli merasa tak bebas melakukan peliputan. Mereka diawasi dan menghadapi teror mental.

25 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tengah malam, Harriet Sherwood baru saja akan memejamkan matanya di Rixos, hotel mewah bintang lima di Tripoli, Libya. Mendadak terdengar pengumuman melalui pengeras suara. "Selamat pagi, semua. Akan diadakan akonferensi pers dalam waktu 10 menit dari sekarang."

Jurnalis The Guardian itu sudah terbiasa dengan interupsi pada jam tidur. Ada saja konferensi pers di tengah malam atau subuh. "Kami tidak pernah diberi tahu apa temanya, siapa pembicaranya, dan mereka tidak pernah memulai tepat waktu," ujar Sherwood.

Rixos merupakan tempat menginap lebih dari 100 jurnalis asing yang meliput kecamuk perang di Libya. Ide mempersilakan mereka datang ke ibu kota yang tertutup ini muncul dari Saiful Islam, putra Muammar Qadhafi.

Saiful pulalah yang berusaha memoles citra Qadhafi ketika empat jurnalis The New York Times ditangkap militer di bagian timur Libya dengan menyatakan akan melindungi mereka. Empat jurnalis itu, yakni penerima Pulitzer, Anthony Shadid, yang menjadi kepala biro di Beirut, reporter Stephen Farrell, serta fotografer Tyler Hicks dan Lynsey Addario, memang dibebaskan, tapi sempat mengalami kekerasan dalam penahanan.

Kenyataannya, Hotel Rixos di Tripoli tak ubahnya sangkar emas bagi ratusan jurnalis asing. Tak cuma pengumuman konferensi pers di larut malam dan pagi buta, panggilan mengejutkan juga muncul dalam bentuk ini di tengah malam: "Kemasi barang-barang, Anda akan dideportasi." Atau pesan semacam ini: "Kami punya kabar buruk mengenai visa Anda."

Bagi para jurnalis, Rixos tak ubahnya rumah tahanan. Segala macam informasi dibatasi. Mereka tak bisa mengakses saluran Internet dan televisi, seperti BBC dan Al-Jazeera. Tak ada pula kebebasan berbicara dengan penduduk setempat.

Pengawal bersenjata berdiri di tiap lorong hotel untuk mencegah wartawan menyelinap keluar. Juga ada larangan bagi wartawan keluar dari hotel Tripoli pada hari Jumat, hari tradisional untuk protes jalanan di dunia Arab.

"Kami dilarang meninggalkan hotel tanpa marafiq," kata Sherwood. Ini bahasa Arab untuk "pendamping" atau penghalusan bahasa untuk "penjaga".

Para jurnalis hanya bisa pergi ke acara yang ditentukan atau saat demonstrasi pro-Qadhafi meletus. Petugas yang menangani pers bisa seenaknya mengganti nama jurnalis yang akan berangkat melakukan peliputan.

Pemimpin Libya, Muammar Qadhafi, pernah mengunjungi hotel berpenghuni jurnalis itu dengan pengawalan ketat. Acaranya bertajuk pertemuan media, tapi Qadhafi tak merespons pertanyaan yang dilontarkan.

Pemerintah Libya berjanji akan memberi kebebasan mencari informasi. Tapi, menurut para jurnalis, pejabat menyetir pemberitaan. Petugas pemerintah di hotel berkeras meminta jurnalis menonton tayangan kekerasan oleh pemberontak Benghazi di sebuah televisi lokal. Saat dimintakan konfirmasi kepada koresponden Benghazi, peristiwa itu tak pernah ada.

Jika berita yang ditulis jurnalis tak menyenangkan hati pemerintah, di pagi buta mereka mendapat pesan: "Kami ingin bertemu untuk mendiskusikan kesalahan dalam berita Andasekarang."

Ketika berita yang muncul memojokkan Qadhafi, pejabat pemerintah menuding jurnalis tidak profesional, tak obyektif, dan tidak akurat. "Media tidak memberitakan hal sesuai dengan kenyataan," kata Menteri Hubungan Sosial Libya Ibrahim al-Sharif saat mengunjungi Rixos. "Kami minta Anda menyampaikan informasi akurat kepada masyarakat Amerika, Inggris, dan Prancis."

Di sangkar emas itu, rumor dan spekulasi berkembang biak dengan cepat. Seorang wartawan menolak makanan panas karena khawatir dicampuri obat penenang. Jurnalis lain curiga disadap komputer dan teleponnya.

Tak mengherankan bila beberapa jurnalis mencoba kabur saat perjalanan peliputan resmi ke luar Tripoli. Jurnalis yang bertahan cenat-cenut saat check-out ketika harus membayar tagihan makanan yang tak mereka santap. Tapi tak ada pilihan selain membayar.

Nieke Indrietta (The Guardian, AFP, The New York Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus