Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=1 color=#FF9900>TALIBAN</font><br />Merayu Sekutu Lama

Amerika membuka pintu perundingan dengan Taliban. Nama lima pemimpin milisi itu dihapus dari daftar teroris internasional.

1 Februari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Universitas Kairo, Barack Obama memberikan pidato itu pada Juni lalu—saat Presiden Amerika Serikat ini melawat ke Mesir. Dalam pidatonya yang memukau, dia antara lain berjanji akan segera mengakhiri perang di Afganistan dan Irak. Kata-kata itu agaknya tengah diwujudkan pada hari-hari ini. Ramai dikabarkan, Obama tengah merancang perundingan dengan pemimpin tertinggi Taliban, Mullah Mohammad Omar.

Di London, Rabu pekan lalu, Komandan Tertinggi Militer Amerika di Afganistan Jenderal Stanley McChrystal membenarkan bahwa Amerika sedang berada pada fase menyelesaikan—di tingkat politik—perang di Afganistan. ”Sebagai prajurit di lapangan, saya berpendapat perang ini sudah semestinya diakhiri,” ujarnya kepada koran Financial Times.

London menjadi tuan rumah konferensi antarnegara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang juga dihadiri McChrystal. Pertemuan tingkat menteri pada Kamis pekan lalu itu antara lain bertujuan mendiskusikan penyelesaian politik di Afganistan. Menteri Keuangan Inggris Alistair Darling menyatakan 60 negara yang hadir siap memberikan pinjaman hingga US$ 1,6 miliar atau sekitar Rp 15,2 triliun untuk membangun kembali Afganistan. Dan… milisi Taliban akan dilibatkan.

Gayung rupanya bersambut. Mullah Omar lantas mengirim sinyal, Taliban tak akan mengganggu negara mana pun di dunia. Amerika membaca pesan ini bahwa Taliban tak lagi melindungi Al-Qaidah. Tapi Taliban mengajukan satu syarat yang kudu dipenuhi dulu oleh Amerika dan sekutunya: menarik pasukan dari Afganistan.

Dukungan bagi perundingan Amerika-Taliban datang pula dari bekas petinggi intelijen Pakistan, Brigadir Jenderal Sultan Amir Tarar. Amir, yang biasa dipanggil Kolonel Imam, pernah melatih milisi Taliban. Dia menegaskan Taliban bisa menerima perbedaan dan dapat diajak berunding. ”Kalau Amerika tulus, mereka mau mendengar,” katanya.

Amir tak lupa mengingatkan Abang Sam agar tak ada muslihat untuk memecah belah Taliban. ”Siapa pun yang meninggalkan Mullah Omar dianggap bukan Taliban lagi. Cuma sekelompok penipu.” Pada dasarnya, kelompok milisi ini masih mendapat simpati masyarakat Afganistan, meski kekuatan mereka kian terdesak ke perbatasan Pakistan.

Bujukan agar Amerika berunding dengan Taliban sudah diutarakan pertengahan tahun lalu. Juru bicara Badan Intelijen Pakistan, Mayor Athar Abbas, menyatakan, sejak membantu kelompok mujahidin mengusir Uni Soviet pada 1989, tentara Pakistan masih berhubungan dengan pentolan kelompok-kelompok itu. Mereka adalah Mullah Omar, Jalalladin Haqqani, Mullah Nazir, dan Gulbuddin Hekmatyar dari Hizb-e-Islami. ”Tapi menjalin kontak bukan berarti kami mendukung perlawanan mereka,” ujarnya kepada CNN.

Kelompok mujahidin dan Amerika sebetulnya pernah menjadi sekutu. Sejak akhir 1970-an, Amerika mendukung perlawanan gerilyawan mujahidin untuk mengusir Uni Soviet dari tanah Afganistan. Abang Sam memberikan senjata dan pelatihan, termasuk menggunakan peluru kendali Stinger yang bisa menjatuhkan pesawat tempur. Sekutu utama Amerika, Arab Saudi, memasok dana dan ideologi. Pakistan menyediakan lokasi pelatihan. Setelah Uni Soviet hengkang, kaum mujahidin saling tempur sendiri. Pada 1996, Taliban muncul dan menguasai 90 persen Afganistan, termasuk ibu kotanya, Kabul.

Ketika berkuasa, milisi ini menyilakan Usamah bin Ladin dan organisasinya, Al-Qaidah, masuk Afganis-tan. Sejak awal, Amerika sudah mencurigai organisasi ini sebagai teroris, sampai akhirnya terjadi pengeboman Kedutaan Amerika di Afganistan. Bill Clinton, Presiden Amerika ketika itu, lalu memerintahkan penyerangan ke negeri tersebut pada 1998.

Tapi serangan masif baru terjadi setelah peristiwa 11 September 2001. Presiden George Bush mendikte Afganistan menyerahkan Bin Ladin dan membantu Amerika menghabisi Al-Qaidah. Organisasi ini dituduh menjadi otak serangan 11 September yang menewaskan 3.000 warga Amerika di New York. Taliban menawarkan solusi mengadili Bin Ladin di Afganistan atau mengirimnya ke negara ketiga untuk diadili atas tuduhan itu. Tapi Bush ngotot minta Bin Ladin diserahkan ke Amerika.

Perang menghabisi Al-Qaidah pun berubah menjadi pertempuran melawan Taliban. Kelompok itu babak-belur, tapi tetap menjadi pengganggu pemerintahan Presiden Hamid Karzai—yang direstui Amerika—sejak 2004. Strategi memerangi gerilyawan bersorban itu terbukti tak sepenuhnya berhasil. Militansi mereka masih membara sehingga Amerika dan sekutunya kewalahan.

Sampai awal 2010, total tentara Amerika yang tewas di Afganistan mencapai 972 dari 100 ribu orang yang dikirim ke sana sepanjang delapan tahun terakhir. Ini belum termasuk ribuan serdadu yang terluka. Rencananya, tahun ini Amerika akan mengirim tambahan 3.000 personel pasukan ke Afganistan. Pakistan khawatir terhadap langkah itu.

Seorang pejabat Pakistan yang dirahasiakan identitasnya menyatakan tambahan pasukan Amerika akan memacu semangat perlawanan milisi Pashtun dan Baluchistan—yang bersimpati kepada Taliban dan Al-Qaidah. ”Kami tahu mereka tidak populer di sana,” ujarnya kepada Financial Times. Menurut dia, hanya dengan memberikan ruang politik buat Taliban, penyelesaian bisa dilakukan.

Pakistan sesungguhnya tak punya masalah dengan Taliban. Hanya, desakan Amerika yang menjanjikan stabilitas dalam negeri membuat Pakistan mau membantu. Namun, ketika bom terus meledak di wilayahnya, Pakistan sadar musuh besarnya, India, mendapat keuntungan dari keadaan itu. Mereka pun mulai mengajak Taliban duduk di meja perundingan untuk mencapai stabilitas politik dan keamanan. Akankah langkah ini diikuti Amerika?

Pemerintahan Obama tampaknya mempertimbangkan serius pilihan itu. Apalagi perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kabul meminta penyelesaian serupa. PBB bahkan sudah menghapus nama para pemimpin Taliban dari daftar teroris internasional sehingga mereka bisa bepergian ke luar negeri. Kini bola ada di kaki Obama.

Yophiandi (Financial Times, CNN, Time)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus