Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA musik tradisional kolintang yang semula rancak, meskipun tanpa syair, pelan-pelan menghilang. Dua perempuan dengan pakaian tradisional kebaya tanpa kerudung yang memainkannya surut ke belakang. Pembacaan ayat suci Al-Quran pun dimulai.
Acara yang digelar di taman rumput di belakang Hotel Davao, Filipina Selatan, yang disulap menjadi ruang pertemuan itu adalah pembukaan konferensi ke-3 Majelis Nasional Ulama se-Filipina. Keragaman peserta tergambar dari kehadiran berbagai komunitas asli dengan pakaian tradisional masing-masing.
Di satu sudut terlihat peserta perempuan yang memakai burdah penutup wajah hingga hanya terlihat mata. Namun ada pula beberapa perempuan suku asli yang memakai kebaya dengan tapih hanya sedikit di bawah lutut. Hadir pula sejumlah politikus nasional dan diplomat asing.
Dalam konferensi ini, untuk pertama kalinya ulama Filipina berkumpul tanpa melibatkan politikus dari gerakan atau partai politik Islam. ”Tidak ada wakil dari MNLF (Moro National Liberation Front) ataupun MILF (Moro Islamic Liberation Front),” kata Aminah Rasul, perempuan yang jadi penggagas dibentuknya majelis tersebut.
Pertemuan, menurut Ketua Majelis Nasional Ulama se-Filipina yang terpilih tahun lalu, Dr Aboulkheir S. Tarason, memang dirancang untuk mengangkat peran ulama sebagai perwakilan masyarakat madani muslim di Filipina. Selama ini mereka lebih banyak diam dan terhegemoni peran para politikus dan gerakan separatis, terutama di Mindanao.
Di tengah kegalauan tentang masa depan perdamaian di Mindanao, konferensi terasa menjadi oasis segar. Perundingan damai antara pemerintah Filipina dan MNLF ataupun MILF saat ini praktis macet. Pada 14 Oktober 2008, Mahkamah Agung Filipina mengeluarkan putusan bahwa naskah perjanjian perdamaian MILF dan pemerintah Filipina yang telah dirundingkan selama 30 tahun dianggap inkonstitusional dan batal.
Sementara itu, kekerasan di berbagai wilayah di Mindanao terus meruyak. Puncaknya adalah penembakan oleh milisi bersenjata milik klan Ampatuan yang hegemonik di Maguindanao, 23 November 2009, terhadap lawan politiknya. Pembantaian sadis itu menelan korban 58 jiwa, separuhnya jurnalis.
Maka tak mengherankan bila para ulama itu ikut angkat suara mengenai masalah politik. Mereka mengusulkan pemerintah pusat membebaskan tahanan yang tak bersalah serta memberikan porsi lebih banyak kepada muslim di pemerintahan berlandaskan kesepakatan damai pada 1996.
Bagi sejumlah ulama Filipina, upaya perdamaian baik di dalam kalangan Islam sendiri maupun dialog antaragama bukan hal yang asing. Namun selama ini mereka jalan sendiri-sendiri. ”Konferensi ini diharapkan mampu mensinergikan gerakan tersebut, sehingga ulama, baik sebagai pribadi maupun kolektif, memiliki kekuatan moral yang efektif,” ujar Aboulkheir.
Anshory Abdul Malik, pemimpin sebuah madrasah yang juga presiden liga madrasah swasta se-Filipina, misalnya, memiliki berbagai program perdamaian dan dialog antaragama di madrasahnya di Kota Marawi. Di samping pelatihan untuk siswa, program perdamaian diadakan untuk masyarakat umum dan melalui program televisi lokal. ”Kami bersama dengan pemimpin Katolik juga membentuk kelompok dialog antarpemimpin agama,” ujarnya.
Hal serupa dilakukan oleh Dr Al-Khaof A. Jukarwain, Presiden Lembaga Islam Sulu, provinsi dengan tingkat kekerasan dan penculikan tertinggi. Doktor studi Islam lulusan Malaysia ini mengatakan konflik sebenarnya bukan dari masyarakat, melainkan dari militer dan politikus. ”Merekalah yang jual-beli senjata dan mendapat keuntungan, sedangkan rakyat menjadi korban,” katanya. Untuk mendorong upaya perdamaian, Khaof memilih berfokus pada perbaikan pendidikan dan perbaikan ekonomi.
Adapun Irene Tillah, Presiden Asosiasi Perempuan Pengusaha Muslim Sulu, memilih pendekatan melek huruf dan kewirausahaan. ”Lulusan pelatihan kemudian disalurkan ke lembaga-lembaga advokasi perdamaian, di samping didorong melakukan bisnis untuk mengatasi kemiskinan dan buta huruf,” ujarnya.
Para ulama itu juga membentuk semacam jaringan untuk memantau pemilihan umum agar berjalan bersih dari manipulasi dan politik uang. ”Ini salah satu peran moral ulama yang penting dalam menegakkan kebenaran dan keadilan dalam pemilu,” ujar Aminah.
Ahmad Suaedy, Direktur Wahid Institut (Davao)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo