Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM itu bandar udara internasional Suvarnabhumi Bangkok seperti kapal pecah. Ribuan turis teronggok: mereka tidur di deretan bangku, di atas tumpukan koper dan tas, serta merebahkan tubuh mereka yang lelah di lantai bandara yang dingin.
Malam itu, Rabu pekan lalu, politik jadi panglima. Bandara Suvarnabhumi kedatangan ribuan tamu istimewa. Berseragam kuning, ribuan anggota Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD) menduduki bandara sejak sore. ”Kami kira mereka pendukung klub sepak bola,” ujar Mark, turis asal Belanda.
Polisi membiarkan mereka masuk. Akibatnya, 20-an penerbangan ke Jepang, India, Iran, Eropa, dan lainnya dibatalkan. Sekitar 10 ribu penumpang telantar malam itu. Bandara ini melayani 125 ribu penumpang dengan 700 penerbangan setiap hari. Penerbangan dialihkan ke bandara lama Don Mueang.
PAD tidak cuma menguasai bandara. Sekitar 18 ribu anggotanya memblokade jalan di sekitar gedung parlemen dan para wakil rakyat itu pun gagal bersidang. PAD bergegas mengerahkan massa ke gedung parlemen karena mencium gelagat parlemen yang didominasi koalisi partai pemerintah—Partai Kekuatan Rakyat (PPP)—akan mengetuk palu amendemen konstitusi. Amendemen yang membuka peluang untuk mengembalikan Thaksin pada posisi perdana menteri dan menghidupkan kembali partai terlarang Thai Rak Thai.
Mengetahui sidang dibatalkan, massa PAD bersorak. Merasa di atas angin, 30 ribu anggota PAD bergerak ke Bandara Don Mueang. Bandara yang telah disulap menjadi kantor sementara Perdana Menteri Somchai Wongsawat sejak massa PAD menduduki Gedung Pemerintah, Agustus lalu. Sayang, Perdana Menteri Somchai tak masuk kantor, ia menghadiri sidang Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (Apec) di Peru.
Massa PAD yang datang dengan dua bus menguasai Bandara Don Mueang. Di bandara itu sempat terjadi ledakan bom pada sore hari. Ini bom keempat yang ditujukan kepada massa PAD. Sebelumnya, dua remaja melemparkan granat di gerbang masuk Gedung Pemerintah, yang mengakibatkan seorang tewas dan 26 pendukung PAD terluka.
PAD rupanya tak berhenti sampai di situ. Pukul 04.30 sejumlah anggota PAD bergerak ke Bandara Suvarnabhumi, 45 kilometer dari Bandara Don Mueang. Diduga mereka hendak menghadang kepulangan Perdana Menteri Somchai, yang dijadwalkan Rabu pekan lalu. Sama seperti di bandara sebelumnya, kedatangan PAD di sini juga disambut ledakan bom.
”Kami akan berkumpul di bandara hingga Perdana Menteri Somchai mundur,” ujar pemimpin PAD, Sondhi Limthongkul, di hadapan massa. PAD lalu menutup bandara itu.
Harapan PAD menghadang Somchai di Suvarnabhumi gagal, karena Somchai memutuskan mendarat di Chiang Mai, Rabu sore pekan lalu. Dan anggota kabinet pun mengungsi ke Chiang Mai, salah satu kantong pendukung Thaksin. Ya, politik Thailand telah sampai pada fase yang menunjukkan: massa pendukung merupakan suatu kekuatan yang diperhitungkan.
Massa dilawan massa, kekerasan dibalas kekerasan. Telah lima kali granat dilemparkan di antara kerumunan demonstran PAD. Sebaliknya, di antara massa PAD juga ada yang mulai menembaki pendukung pemerintah. Kini bentrokan di jalan ini dikhawatirkan berkembang ke arah perang sipil.
Pendukung PAD sudah membuktikan militansinya: sanggup menggelar demonstrasi dengan melibatkan 50 ribu orang sejak empat bulan lalu tanpa henti. Hal yang sama juga terjadi di antara kelompok pendukung pemerintah ”pasukan berkaus merah”. Kyang digalang Front Persatuan untuk Demokrasi Melawan Kediktatoran, yang Rabu pekan lalu dimobilisasi di dalam Kota Bangkok. Merekalah pendukung pemerintah yang setia kepada bekas perdana menteri Thaksin.
Loyalitas mereka kepada Thaksin sudah terbukti ketika aktivis partai pemerintah PPP berhasil mengumpulkan 70 ribu pendukung di Stadion Rajamankala, Bangkok, 1 November lalu. Massa lautan merah ini menunggu dengan sabar dan takjub untuk mendengarkan Thaksin berpidato dari Hong Kong lewat telepon seluler selama 10 menit.
Pada 14 Desember mendatang, Thaksin kembali akan memprovokasi pendukungnya dengan cara yang sama lewat program Wannee Sanjon. ”Dia akan kembali ke politik berjuang mempertahankan namanya,” ujar Jatuporn Promphan, anggota parlemen dari partai pemerintah PPP.
Tak sedikit analis yang menduga pertumpahan darah bakal segera terjadi. ”Suhu politik sekarang akan mencapai titik didih,” ujar Rangsan Pathumwan, analis Universitas Chiang Mai. Rangsan yakin pertumpahan darah segera terjadi dan kudeta militer akan menyelesaikannya.
Raihul Fadjri (AP, Reuters, The Nation, Bangkok Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo