Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SASTRAWAN India peraih Nobel, V.S. Naipaul, pernah berkata, ”Mumbai adalah sebuah keriuhan.” Rabu malam pekan lalu, keriuhan itu mewujud petaka teror. Sekitar 30 orang bersenjata senapan otomatis dan granat menyerang sembilan pusat keramaian. Kota yang hingga pertengahan 1990-an masih bernama Bombay itu pun bersimbah darah.
Mula-mula, empat orang bercelana jins dan berkaus menyeruak ke sebuah peron di stasiun kereta api Chattrapati Shivaji Terminus, di utara Mumbai. Mereka mengeluarkan AK-47 dari ransel dan secara membabi buta menembak kerumunan orang. Waktu menunjukkan pukul 21.20.
Lima belas menit kemudian, seperti petasan yang meletus serempak, ledakan granat dan tembakan terdengar di Leopold Cafe dan Hotel Taj Mahal yang berdekatan, lalu Hotel Oberoi, Jewish Center, dan Rumah Sakit Cama. ”Tak bisa dipercaya, anak-anak muda seusia anak saya, yang masih 20-an tahun, membunuh begitu banyak orang,” kata Pappu Mishra, pemilik Kafe Victorian di Stasiun Chattrapati.
Farzed Jehani, pemilik Leopold Cafe, menggambarkan dengan terperinci aksi gerombolan bersenjata itu. Salah seorang di antara penembak singgah ke kafenya untuk membeli penganan. Setelah membayar dan pergi, ”Tiba-tiba dia berbalik, lalu memberondong tamu restoran.”
Jehani juga melihat seorang pelaku menembak sembari dengan santai mengunyah biji almond. Seorang marinir yang membantu mengepung teroris di Hotel Taj Mahal juga menyebutkan sebagian teroris membawa tas besar berisi almond.
”Ini menunjukkan mereka benar-benar mempersiapkan serangan,” kata sang marinir. ”Almond dimakan untuk menjaga energi mereka.” Ia juga menemukan sebuah ransel seorang penyerang yang tewas memuat 400 butir amunisi.
Serangan di sembilan tempat itu telah membunuh 160 orang (termasuk 15 polisi India) dan melukai 400 orang. Sebanyak 19 warga asing tewas. Empat belas penyerang tewas, sembilan ditahan. Hingga akhir pekan lalu, pasukan komando India telah berhasil menguasai penuh dua hotel dan Jewish Center di selatan Mumbai, yang sempat diduduki teroris.
Dalam baku tembak Jumat malam pekan lalu, polisi melumpuhkan dua teroris terakhir yang masih bersembunyi di Taj Mahal. Taj Mahal dikenal sebagai hotel paling mentereng di India. Hotel milik grup Tata ini bertarif paling murah Rp 10 juta per malam.
Ketika diserang, hotel dihuni 500 tamu. Sebagian besar orang Eropa. Sedikitnya 30 mayat ditemukan di hotel ini. Adapun di Oberoi ditemukan 24 orang tewas. Hotel 18 lantai yang menghadap ke perairan India itu berpenghuni 380 orang saat diserang (lihat infografis).
Lima gadis Bali yang bekerja sebagai terapis di Oberoi terperangkap dua hari dua malam. Mereka baru bisa dibebaskan Jumat pagi, setelah petugas berhasil menguasai lantai demi lantai di hotel itu. Kelima warga Indonesia yang telah bekerja selama 10 bulan itu adalah Ni Kadek Edi Dharmayanti, Ni Nyoman Sri Arini, I Gusti Ayu Putu, Anak Agung Komang Triastina dan Ni Luh Gde Mahendrayani. ”Mereka tampak tertekan,” kata Achri Jumanto, staf di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Mumbai, yang ikut dalam proses evakuasi.
Seorang di antaranya bahkan tampak sangat terpukul, karena ketika serangan berlangsung, ia sedang melakukan percakapan telepon dengan seorang tamu. Tiba-tiba rentetan tembakan membungkam sang tamu di ujung telepon.
Kelompok yang menamakan diri Decca Mujahidin mengaku bertanggung jawab atas aksi teror ini. Tapi tak banyak keterangan tentang kelompok ini. Aparat keamanan India justru mengarahkan investigasi kepada sosok bernama Abdul Subhan Qureshi.
Ahli komputer berusia 36 tahun ini dipercaya berada di belakang aksi pengeboman yang terjadi merata di India, dalam kurun setahun belakangan. Qureshi punya banyak nama samaran. Laki-laki asli Mumbai ini juga dikenal sebagai Tauqir Bilal dan Qasim.
Ketika masih menjadi mahasiswa ilmu komputer, pada 1998, Qureshi bergabung dengan Gerakan Pelajar Islam India (SIMI). Ketika SIMI diberangus pemerintah, ia bergabung dengan gerakan bawah tanah. Ranting SIMI bernama Mujahidin India ini kemudian ditengarai berhubungan dengan kelompok militan yang berbasis di Pakistan, Lashkar-e-Toiba. Mereka inilah yang menyerang berbagai kota di India.
Keterkaitan Pakistan dalam teror maut itu ditegaskan Menteri Dalam Negeri Provinsi Maharashtra, R.R. Patil, akhir pekan lalu. ”Seorang dari tiga teroris yang tertangkap di Taj Mahal berkewarganegaraan Pakistan,” katanya.
Menteri Perhubungan India Pranab Mukherjee meminta Pakistan membongkar jaringan teroris. Mukherjee pantas gusar: dalam setahun belakangan, korban tewas akibat aksi teroris tak kurang dari 2.000 jiwa. Teror Mumbai adalah aksi kedelapan dalam 12 bulan.
Sehari setelah aksi teror itu, Perdana Menteri India Manmohan Singh juga menyinggung keterlibatan pihak asing. ”India tak akan menoleransi negara-negara tetangga yang melindungi para anggota kelompok militan,” katanya.
Dibawa-bawanya nama Pakistan dalam serangan ini membuat berang pemerintah negara tetangga India itu. Menteri Luar Negeri Pakistan Shah Mehmood Qureshi meminta India tak mempolitisasi teror Mumbai. ”Jangan membawa-bawa politik dalam isu ini,” katanya gundah. ”Kita sedang menghadapi musuh bersama.”
Isu politik dan agama dalam berbagai aksi teror yang melanda India ibarat mengorek luka yang belum kering benar. Kedua negara, yang pecah persaudaraan setelah lepas dari jajahan Inggris, terus-menerus dilanda kecurigaan.
Dalam satu tayangan televisi pada malam berdarah itu, teroris yang menyekap para sandera di Hotel Oberoi mengatakan tindakan mereka dilakukan demi persaudaraan muslim. ”Kami mencintai India, tapi ketika ibu-ibu dan putri-putri kami dibunuh, di mana mereka?”
Kemarahan muslim India sudah berakar jauh pada apa yang mereka sebut diskriminasi institusional terhadap kaum minoritas. Muslim India adalah kaum minoritas yang hanya meliputi 13,4 persen dari total penduduk. Meski ada pengecualian, sebagian besar penduduk muslim India punya tingkat harapan hidup lebih rendah, kondisi hidup yang lebih buruk, akses kesehatan yang lebih sedikit, dan upah yang lebih rendah.
Jurang perbedaan ini menjadi kian parah karena di pelupuk mata, sang bekas saudara, Pakistan, justru memiliki penduduk yang mayoritas muslim. Gerakan militan yang menentang Barat dan westernisasi di India kemudian tumbuh subur dengan basis dan pusat pelatihan di Pakistan serta perbatasan kedua negara itu.
Masuknya Amerika Serikat dalam aksi kontrateroris dengan mengaduk-aduk urusan keamanan dalam negeri Pakistan membuat sikap anti-asing kian subur. Tak mengherankan jika dalam serangan Rabu berdarah itu, para teroris sengaja menyisir warga Amerika dan Inggris di Hotel Taj Mahal dan Oberoi.
Namun kalangan moderat di India sebenarnya juga kian menguat dalam 20 tahun terakhir. Dalam kurun itu, muncul dua institusi pendidikan modern: Darul Ulum di Deoband, India Utara, dan Aligarh Muslim University.
Para mahasiswa berjanggut memenuhi kampus-kampus modern ini, berbaur bersama ratusan mahasiswa lainnya. Dalam pengajaran Islam, kedua lembaga ini hanya bisa disaingi Al-Azhar di Mesir.
Adil Shiddiqui, pakar Islam di Deoband, menyatakan gerakan moderat menjadi contoh bagaimana radikalisme—dalam ajaran apa pun—bisa dipadamkan dengan memajukan pendidikan dan membuka akses bagi kelompok bawah.
Adapun Mumbai, bagi pengamat, merupakan wakil westernisasi yang paling berhasil di India. Dan ini menjadi sasaran empuk gerakan militan beberapa agama. Suketu Mehta dalam buku Maximum City menggambarkan bagaimana Mumbai telah berubah menjadi kota dengan ”moral yang telah mati”.
Industri perfilman India, Bollywood, berumah di sini. Industri otomotif dan komputer berkembang di kota berpenduduk 13 juta jiwa ini. Tapi kemiskinan juga paling gampang ditemui di jalanan kota. Para gangster pun tumbuh subur di Mumbai.
Kiki Damayanti Rahardja, warga Indonesia, yang menikah dengan pria asing dan tinggal di apartemen yang berjarak hanya 10 kilometer dari Oberoi, menggambarkan dengan tepat bagaimana industrialisasi telah meminggirkan banyak orang. ”Gembel-gembel tidur di emperan toko mewah, sementara turis asing dan pelaku industri perfilman di depan mereka hidup serba ada,” tuturnya kepada Tempo.
Tak ada yang mampu membeli rumah di Mumbai, karena harga properti sangat tinggi. ”Cuma bintang-bintang Bollywood seperti Shahrukh Khan yang bisa punya rumah di sini,” katanya seraya tertawa. ”Buruh dan pekerja kantoran hanya bisa menyewa apartemen.”
Kemiskinan, ketertindasan, serta kecurigaan menjadi bahan bakar yang ampuh untuk balas dendam dan teror di kota ini. Dan Rabu malam itu, Mumbai telah berubah menjadi genangan darah.
Angela Dewi (AFP, AP, BBC, CNN, Time, The Times of India)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo