Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=1 color=#FF9900>TIBET</font><br />50 Tahun di Neraka Dunia

Rakyat Tibet memperingati 50 tahun pemberontakan yang gagal. Pemerintah Cina makin kukuh di Tibet.

16 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI itu, 10 Maret 1959, 50 tahun lalu, tentara Cina melibas pemberontakan rakyat Tibet yang ingin memerdekakan diri dari Cina. Kota suci Lhasa, yang merupakan ibu kota Tibet, bersimbah darah, dan pemimpin spiritual rakyat Tibet, Dalai Lama, tersingkir di pucuk Gunung Himalaya, di wilayah India.

”Rakyat Tibet sangat menderita, kesakitan, dan sungguh-sungguh mengalami neraka di dunia,” ujar Dalai Lama, 73 tahun, pemimpin spiritual Tibet yang terpaksa menyingkir ke Dharamsala, yang menjadi markas pemerintahan Tibet di pengasingan, Selasa pekan lalu.

Mengenang kekalahan itu, Dalai Lama hanya mampu berkata tajam. Menurut dia, pemerintah Cina menghargai rakyat Tibet sebagai kriminal yang pantas dicabut nyawanya. ”Hari ini, agama, kebudayaan, bahasa, dan identitas yang bagi rakyat Tibet lebih berharga tinimbang nyawa mereka nyaris padam,” ujar Dalai Lama.

Toh, Dalai Lama tetaplah orang yang tidak suka kekerasan. Ia mengambil jalan tengah. Dalai Lama meminta pemerintah Cina memberikan otonomi khusus kepada Tibet. Itu berbeda dengan permintaan kelompok garis keras Tibet, yang ngotot meraih kemerdekaan.

Lima puluh tahun sesudah kekalahan itu, sikap Cina tak berubah. Tidak juga terhadap tuntutan otonomi. Kontrol pemerintah Beijing sangat kuat. Bahkan saat ini secara tidak resmi diberlakukan keadaan darurat perang di Tibet, setelah kerusuhan berlangsung tahun lalu—juga menjelang peringatan 49 tahun penumpasan pemberontakan rakyat Tibet.

Di seantero Tibet, biksu di kebanyakan biara diperintahkan tidak keluar dari biara. Di Kota Tongren, Provinsi Qinghai, biksu di Biara Rongwo, tempat terjadinya protes tahun lalu, tak bisa keluar dari kompleks biara sejak 6 Maret hingga 16 Maret. Pasukan Cina mengepung biara. Tak ada pembacaan doa, dan para biksu membaca kitab di kamar mereka. ”Pagi ini saya menangis,” ujar seorang biksu yang tak mau menyebut namanya.

Tahun lalu, pada bulan ini, dia sedang kuliah di Lhasa dan terlibat dalam demonstrasi menandai 49 tahun peringatan perjuangan yang gagal. Ketika militer Cina menekan demonstran, kerusuhan pun meledak di jalanan. Perusuh menyerang etnis Han serta membakar kedai dan kendaraan.

Pergolakan cepat meluas ke kawasan di provinsi lain, menjadi pemberontakan terbesar terhadap penguasa Cina dalam dekade ini. Sekitar 1.000 biksu dan penduduk sipil terlibat demonstrasi dan menyerang gedung pemerintah. Jalan utama menuju kota diawasi perwira bersenjata di pos-pos pemeriksaan. Setidaknya 19 orang Cina terbunuh di Lhasa—kebanyakan etnis Han. Juga 220 warga Tibet. Sekitar 1.300 orang terluka, 7.000 orang ditahan, dan 1.000 orang masih hilang.

Kini tak ada tanda-tanda demonstrasi. Foto terbaru yang dijepret di Xiahe menunjukkan polisi antihuru-hara berparade di jalanan. ”Pasukan keamanan ada di mana-mana, di setiap sudut, siang dan malam,” ujar seorang perempuan Tibet lewat saluran telepon. ”Jangan datang ke sini.”

Perempuan itu terdengar menghela napas ketika ditanyai pendapatnya tentang situasi terbaru. ”Kami rakyat Tibet di bawah banyak tekanan,” katanya. ”Kami harus diam. Saya tak bisa mengatakan tak setuju dengan kebijakan pemerintah Cina. Ini negeri mereka, dan kami hanyalah minoritas.”

Sebagai bentuk perlawanan, kebanyakan dari enam juta penduduk Tibet memilih tidak merayakan Losar, tahun baru Tibet, sebagai ungkapan berkabung terhadap rakyat Tibet yang menjadi korban dalam bentrokan dengan aparat Cina tahun lalu. Tapi, di Provinsi Qinghai dan Sichuan, biksu menggelar pawai. Biksu dari Biara Kirti di Sichuan bahkan membakar dirinya di pasar, yang dengan cepat ditembak polisi Cina.

Pemerintah Cina menuduh Dalai Lama mendalangi kerusuhan itu. Satu tuduhan yang sulit dipahami, karena Dalai Lama menolak perjuangan dengan kekerasan. Dalai Lama selalu meminta rakyat Tibet tidak terprovokasi oleh pemerintah Cina. Ia mengatakan tindakan radikal apa pun hanya akan memberi pemerintah Cina alasan mengambil langkah yang lebih keras. ”Sulit mencapai hasil yang berarti dengan mengorbankan nyawa,” katanya.

Dari Beijing, Presiden Hu Jintao menyerukan membangun ”Tembok Besar” stabilitas di Tibet untuk memerangi separatisme. ”Tibet sekarang pada dasarnya stabil, dan akan menikmati perdamaian dan stabilitas,” ujar Hu.

Raihul Fadjri (AP, AFP, NY Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus