Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=1 color=#FFCC33>Korea</font><br />Digoyang Sapi Gila

Presiden Lee Myung-bak mencoba bertahan. Ancaman pemakzulan muncul setelah demo besar menentang impor sapi dari Amerika.

23 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sang presiden akhirnya minta maaf. Di layar televisi, Presiden Lee Myung-bak mengaku salah dan tidak peka terhadap perasaan publik Korea Selatan.

”Saat saya duduk di bukit dalam ke­gelapan menatap jejeran cahaya lilin yang memenuhi jalan raya, saya me­nyalahkan diri saya karena tak memastikan kenyamanan rakyat,” ujar Lee lirih Kamis pekan lalu. Popularitas Lee terjun bebas.

Demonstrasi telah berlangsung sebulan lebih, sejak beleid pemerintah me­longgarkan keran impor daging sapi dari Amerika 18 April lalu. Demonstrasi terakhir, berlangsung malam hari, dengan cahaya lilin yang temaram. Itulah demonstrasi paling besar selama 20 tahun terakhir. Melibatkan orang tua dan anak-anak, sekitar satu juta orang tumpah-ruah di jalan Kota Seoul dari Sejong Avenue hingga ke Balai Kota Seoul.

”Saya takut daging sapi Amerika. Saya belajar keras di sekolah. Saya dapat pekerjaan bagus. Lalu saya melahap daging sapi, tapi kemudian mati,” ujar seorang gadis berusia 13 tahun dalam kerumunan demonstrasi lilin itu.

Demonstrasi tak cuma menuntut Lee mengetatkan kembali keran impor yang menggemukkan pundi peternak sapi Amerika sebanyak US$ 850 juta (sekitar Rp 8,5 triliun) setiap tahun. Asosiasi Rakyat Melawan Penyakit Sapi Gila yang menggalang aksi itu bahkan mengancam akan menggerakkan kampanye memakzulkan Pre­siden Lee jika gagal membujuk Amerika ­mengubah kesepakatan hingga 20 Juni.

Tingkat kepercayaan rakyat Korea Selatan terhadap Lee kini di bawah 20 persen, setelah ia meneken kesepakatan perdagangan bebas dengan Amerika. Termasuk kesepakatan impor daging sapi yang pernah dibekukan Korea Selatan pada 2003, yakni saat ditemukan bahwa sapi asal Amerika itu mengandung bovine spongiform encephalopathy atau penyakit sapi gila. Satu penyakit yang di Eropa waktu itu telah menewaskan 130 orang.

Kini semua ikut serta dalam protes, termasuk mereka yang menggunakan kesempatan ini untuk kepentingan kelompok mereka. Kaum liberal memanfaatkannya untuk peringatan 21 tahun pembantaian gerakan demokrasi pada 10 Juli. Begitu pula 20 kelompok pendeta Buddha dan sejumlah serikat buruh. Serikat sopir truk peti kemas, misalnya, menggelar pemogokan yang mengakibatkan pengangkutan peti kemas ke seantero pelabuhan lumpuh.

Lee yang baru empat bulan berkuasa itu pun belingsatan. Ia buru-buru menelepon Presiden George W. Bush untuk meminta Amerika menghentikan pengiriman daging sapi. Konon Bush setuju, meski perjanjian perdagangan bebas kedua negara yang sangat bersahabat ini terancam batal.

Ya, sesuatu yang sebelumnya disangka merupakan ”peluang emas” buat memajukan perdagangan Amerika-Korea Selatan itu telah menjadi bumerang. Lee tak pernah membayangkan bahwa niatnya menyegerakan reformasi perdagangan berakhir seperti ini.

Di Seoul, sejumlah menteri menyatakan mundur karena merasa bersalah atas munculnya kontroversi sapi impor tersebut. Pengunduran diri itu memberikan kesempatan kepada Lee merombak kabinetnya untuk meraih kembali kepercayaan publik. Menurut analis politik, Lee harus mengubah persepsi publik melihat dirinya yang dianggap tak peduli pada kekhawatiran rakyatnya. Toh, pengunduran diri menteri itu belum cukup.

Kasak-kusuk di lingkaran dalam Presiden Lee pun berlangsung. Ada upaya menggandeng partai kon­­servatif lainnya, Partai Kebebasan Progresif, ke dalam pemerintah untuk menguatkan kubu konservatif. Anggota parlemen partai itu, Shim Dae-pyung, dijagokan menggantikan Perdana Menteri Han Seung-soon, yang juga ingin mundur dari kabinet. ”Inilah waktu bagi ­koalisi konservatif,” ujar orang dekat Presiden Lee. Diharapkan, jika Shim menerima jabatan perdana menteri, akan membantu memulihkan kepercayaan rakyat Korea Selatan terhadap Presiden Lee.

Tapi sejumlah konsultan politik meragukan efektivitas koalisi itu. Pemimpin Partai Nasional Besar yang berkuasa, Hong Jun-pyo, pun ragu koalisi konservatif dapat bekerja sama. Menurut Hong, koalisi konservatif dapat bekerja sama jika partai konservatif bertempur dengan partai progresif yang beroposisi. Tapi sekarang justru pertempuran terjadi antara Presiden dan publik. Dengan kata lain, posisi Presiden Lee tetap di ujung tanduk.

Raihul Fadjri (AP, BBC, The Dong-A Ilbo, The Korea Herald)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus