Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMILIHAN umum di Burma pada 7 November mendatang dianggap tak akan bisa mengubah negeri yang dikuasai junta militer itu. Selama 20 tahun, junta dicap sebagai pelanggar hak asasi manusia. Pemimpin Partai Liga Nasional untuk Demokrasi, Aung San Suu Kyi, yang menang pemilu pada 1990, pun mendekam di penjara.
Lantaran menilai pemilu tak akan berjalan adil dan jujur, Liga menolak ikut pemilu. Tapi pemilu kali ini, menurut tokoh prodemokrasi seperti Harn Yawnghwe, membuka kesempatan perubahan. "Kesempatan mengubah sistem," ujar putra bungsu Sao Shwe Thaike, raja terakhir Dinasti Yawnghwe di Burma, itu.
Kendati pendukung ide ini sedikit, Harn yakin perubahan gradual lewat pemilu bisa dilakukan. "Rakyat jadi tahu bagaimana berpolitik dan berdemokrasi," ujarnya kepada Yophiandi, Sadika Hamid, Sunariah, dan Syarifani dari Tempo.
Apa yang Anda harapkan dari pemerintah Indonesia menyangkut pemilu di Burma?
Indonesia punya banyak pengalaman soal transisi menuju demokrasi. Presiden Anda bekas tentara, jadi saya pikir bisa membantu bagaimana sebaiknya Burma yang sekarang dipimpin junta militer.
Anda yakin pemilu kali ini bisa menjadi awal transisi demokrasi di Burma?
Tak bisa dipastikan, karena tentara sangat menghambat dan mereka tak memberikan kesempatan kelompok prodemokrasi berkampanye dan membentuk partai yang mandiri. Contohnya, kalau partai Anda memiliki calon anggota legislatif, harus membayar per orang US$ 500. Untuk rakyat Burma, jumlah itu besar sekali, karena setahun saja cuma bisa dapat US$ 300.
Jadi lebih baik ikut pemilu atau tidak?
Saya melihat situasi sekarang lebih baik ikut pemilu. Sebab, bila tak ikut, berarti membiarkan tentara melanjutkan dominasi di Burma. Kalau ikut, paling tidak memberikan pendidikan politik buat masyarakat tentang pemilu dan demokrasi. Kalau beruntung mendapat kursi, akan mendapat kesempatan bersuara, berpendapat sebagai anggota Dewan.
Masih mungkinkah ada kesempatan melakukan perubahan?
Bisa, bagaimanapun junta meloloskan beberapa dari kelompok itu ikut dalam parlemen. Mereka juga tak bisa menghentikan semua kandidat. Kalau mereka hentikan semua oposisi, mereka tak bisa menggelar pemilu karena tak ada partai selain militer. Sekarang ada 37 partai yang ikut, satu partai militer, satu partai yang diisi orang-orang militer, dan sekitar 15 partai didukung oleh militer. Sisanya dari kelompok prodemokrasi. Ada 1.171 kursi yang diperebutkan, tapi dari partai- partai kecil itu, paling banyak tiga orang yang bisa maju sebagai calon anggota legislatif. Ada satu partai nasional yang mengajukan sekitar seratus calon. Mungkin dari sini bisa didapatkan calon anggota legislatif dari kelompok prodemokrasi.
Aung San Suu Kyi masih dianggap ancaman bagi junta?
Iya, junta masih takut kepadanya, karena Suu Kyi bisa mengumpulkan massa. Dia berpengaruh untuk perubahan di Burma. Sebetulnya, kalau junta sedikit cerdik, dia bisa merangkul Suu Kyi supaya perubahan bisa terjadi.
Apakah mayoritas masyarakat Burma ingin perubahan?
Semua warga Burma mau perubahan, itu pasti. Tapi bagaimana melawan militer? Sekarang banyak warga yang tak kenal bagaimana beraktivitas politik. Jadi lebih baik ambil kesempatan sekarang daripada kukuh ingin langsung mengubah konstitusi.
Barat menilai pemilu tak efektif dan lebih suka menerapkan sanksi?
Iya, dan sebetulnya ini tak efektif. Banyak masyarakat internasional ingin Perserikatan Bangsa-Bangsa lebih menekan dengan sanksi ke Burma. Tapi kita lihat ternyata junta militer tak peduli. Kalaupun ada sanksi, mereka bisa berpaling ke negara lain, seperti Cina dan India. Pemerintah bisa punya banyak jalan keluar, tapi rakyat tak bisa keluar dari kesulitan hidup. Sanksi PBB pun tak mungkin bisa, karena ada Cina dan Rusia di Dewan Keamanan PBB yang akan memveto usul sanksi.
Apa peran ASEAN yang Anda lihat sejauh ini?
Ha-ha-ha ASEAN tak berbuat apa-apa. Seperti Anda tahu, ASEAN tak terlalu bersatu, banyak kelompok di sini, yang lebih demokratis dan juga tidak.
Bagaimana pandangan generasi berikutnya di tubuh militer Burma?
Sama saja, karena mereka tak pernah latihan di luar negeri. Mereka melihat di Burma saja, tak punya pandangan lebih luas. Sayangnya, Barat dan dunia internasional tak mendukung kalau ada militer negara lain bekerja sama dengan militer Burma, karena dianggap pendukung junta, pelanggar hak asasi manusia, dan sebagainya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo