Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Uluran Tangan Sang Saudagar

Buku yang membeberkan bantuan seorang saudagar muda Tionghoa di Australia saat perang kemerdekaan Indonesia. Ia tewas misterius, mungkin karena keterlibatannya dengan gerakan kiri Australia.

4 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

September 1945. Brisbane, Australia. Sebuah kapal Belanda dimuati amunisi dan perbekalan tempur lain, hendak dipakai untuk menumpas pejuang Indonesia. Informasi ini membuat para buruh pelabuhan Australia memboikot kapal-kapal Belanda sebagai tekanan agar negara Eropa itu tidak kembali menguasai bekas jajahannya.

Kejadian saat itu diabadikan dalam film dokumenter Indonesia Calling buatan sineas Belanda yang bersimpati kepada Indonesia, Joris Ivens. Boikot itu dicatat dalam buku sejarah sekolah sebagai tanda solidaritas Australia kepada Indonesia yang baru berusia sebulan. Adapun Indonesia Calling kadang masih diputar di Indonesia, seperti Juli lalu di Bandung.

Yang tidak banyak diketahui, siapa yang mengeluarkan uang tak sedikit untuk membuat Indonesia Calling, film 22 menit buatan 1945 itu. Nah, ternyata film ini dibiayai duit hibah Kenneth Frederick Wong, saudagar Cina kaya di Sydney. Aktivis sosial yang tak banyak dikenal ini, menurut buku Echoes Book Three: Australia-China-Indonesia, karya Charlotte Clayton Maramis yang diterbitkan bulan lalu, beberapa kali membantu orang Indonesia di Australia yang sedang berjuang melepaskan diri dari Belanda.

Charlotte Maramis sering dipanggil Tante Lottie bukan ilmuwan tentang Indonesia atau ahli sejarah sehingga ia menulis soal Fred Wong. Tapi perempuan Australia ini memiliki kehidupan unik yang menjadi saksi hiruk-pikuk masalah Indonesia-Belanda di Sydney.

Lottie menikah dengan Anton Maramis, bekas pelaut Belanda yang kemudian menjadi pejuang Indonesia, saat terdampar di Sydney. Setelah ikut suaminya ke Jakarta pada 1949, Lottie sempat menjadi wartawati Indonesia Observer.

Kehidupan Lottie dan (calon) suaminya era 1942-1949 di Sydney ia tulis dalam Echoes Book One: Australia and Indonesia. Buku ini berisi gabungan riset dan catatan pribadi Lottie. Catatan hariannya di Indonesia ia terbitkan dengan judul Echoes Book Two: My Years in Indonesia 1949-1962. Setelah menerbitkan dua buku itu beberapa tahun lalu, kini ia menerbitkan Echoes Book Three, yang menceritakan Fred Wong.

Berbeda dengan dua buku sebelumnya, hampir seluruh buku ketiganya ini hasil riset. Mungkin karena beban riset, hasilnya tak seenak buku perta­ma dan kedua. Dalam Echoes Book One, misalnya, latar belakang keluarga yang melahirkan Anton Maramis—tokoh utama buku—cukup ditulis tiga halaman. Adapun dalam Echoes Book Three, kisah ayah Fred menghabiskan seluruh bab pertama ditambah separuh bab dua.

Fred Wong, kelahiran Australia meski sempat dibesarkan di Cina, mulai menjadi aktivis sosial setelah pembantaian dan pemerkosaan penduduk Nanking, Cina, oleh tentara Jepang pada 1937. Saat itu, misalnya, sebagai saudagar kaya, ia mengirim satu truk penuh buah dan sayuran bagi buruh pelabuhan Australia yang memboikot menolak me­naikkan besi ke kapal tujuan Jepang.

Setahun berikutnya, Liga Pemuda Cina berdiri di Sydney dan Fred yang memimpin. Lembaga ini aktif mengumpulkan dana untuk membantu ­pasukan Cina melawan Jepang. Fred awalnya pro Chiang Kai Shek. Tapi, karena pejabatnya korup, ia memindahkan kesetiaan ke Mao Tse Tung (Mao Zedong) yang komunis.

Setelah Perang Dunia II meletus, ia membantu orang Asia tidak hanya Cina, tapi juga dari Indonesia, India, atau Vietnam—terutama pelaut yang terdampar di Australia. Keterlibatan dengan orang Indonesia tak terhindarkan karena jumlahnya cukup banyak dan ada pemerintah pengasingan Hindia Belanda di Australia.

Salah satu kejadian dari keterlibatan itu adalah ketika 25 orang Indonesia penderita tuberkulosis diusir begitu saja dari rumah sakit pemerintah pengasingan Belanda di Australia pada 1946. Fred Wong membantu menyediakan akomodasi di ruang kosong yang masih satu gedung dengan kantor Liga Pemuda Cina.

Fred juga ikut terlibat dalam pemogokan buruh pelabuhan yang menolak memuati kapal-kapal pengangkut perbekalan yang dipakai Belanda menumpas pejuang Indonesia. Keterlibatan ini pula yang membuatnya kemudian menjadi penyandang dana film dokumenter Indonesia Calling.

Fred Wong sendiri meninggal misterius tenggelam di danau padahal ia pintar berenang pada 1948 dalam usia 42 tahun. Sebagian kini menduga Fred dihabisi karena ia komunis.

Nur Khoiri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus