Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=2 color=#CC0000>Libanon</font><br />Perginya Suara Independen Arab

Sering terlibat konflik dengan Hizbullah, juga Khomeini, tapi malah dianggap pemimpin spiritual kelompok milisi Libanon itu. Dia membela hak kaum perempuan.

12 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ratusan ribu laki-laki dan pe rempuan tumpah di Jalan Haret Hreik di selatan Beirut, Selasa pekan lalu. Mengenakan pakaian serba hitam, mereka mengantar jenazah Ayatullah Sayyid Mohammad Hussein Fadlallah. Dari atas balkon-balkon gedung tinggi, para wanita menabur beras.

”Semua akan kembali normal, tapi kami kehilangan seorang penengah,” kata Sonia Qurani, wanita 39 tahun yang tinggal di sekitar Jalan Haret Hreik.

Fadlallah, 75 tahun, pemimpin Syiah Libanon yang sangat disegani, meninggal pada Minggu dua pekan lalu di Rumah Sakit Bahman. Menurut dokter, orang tua yang sakit-sakitan beberapa tahun terakhir itu meninggal karena perdarahan usus.

Lahir di Najaf, Irak, Fadlallah keturunan Libanon asli. Mungkin karena itu, pada 1966 dia memutuskan pindah ke negara asalnya untuk belajar agama sambil bekerja di komunitas Syiah di sana.

Di Libanon, keturunan Nabi Muhammad ini menjadi pemimpin Syiah yang disegani. Bahkan, bagi para wanita, dia pahlawan. Karena fatwanyalah, para wanita Syiah bisa ke luar rumah, belajar, dan mendapat perlakuan setara dengan pria.

Dia bahkan mengimbau pria muslim agar tidak ragu dan malu membantu istri dalam pekerjaan di rumah. ”Adalah kultur sosial, bukan Islam, yang menjadi sumber rasa malu pria jika hendak melakukan pekerjaan rumah tangga,” tulis Fadlallah dalam salah satu ajarannya.

Meski penuh kontroversi, Fadlallah adalah salah satu figur sentral dalam sejarah Timur Tengah modern. Dia ikut mendirikan Partai Dawa yang sekarang berkuasa di Irak, dekat dengan Iran, dan diyakini turut mendirikan Hizbullah.

Barangkali itu sebabnya, pada 1980-an, nama Fadlallah berada di urutan teratas dalam daftar musuh pemerintah Presiden Ronald Reagan. Gedung Putih yakin dia pemimpin spiritual Hiz bullah yang amat berpengaruh dan berada di balik bom yang menewaskan 241 prajurit Amerika di Beirut Internatio nal Airport pada 23 Oktober 1983.

Ada yang luput dari pengamatan Amerika tentang Fadlallah. Dia sebenarnya sering berselisih dengan Iran ataupun Hizbullah. Dia, misalnya, tidak mengakui Ayatullah Khomeini sebagai Marja al-Taqlid atau pemimpin tertinggi kaum Syiah. Sebaliknya, dia mendukung Ayatullah Sayyid Abul-Qassim al-Khoei. Setelah Khomeini meninggal pada 1989, Al-Khoei dipercaya dunia Syiah menggantikan pemimpin karismatik Iran itu.

Tapi pada 1993, setelah pengganti Al-Khoei, Grand Ayatullah Golpayegani, juga meninggal, Fadlallah kembali bersitegang dengan Iran. Teheran mem proklamasikan Ayatullah Syekh Mohsen Araki, yang saat itu sudah berusia lebih dari 100 tahun, sebagai Marja al-Taqlid yang baru. Fadlallah, di lain pihak, mendukung Ayatullah Sistani.

Dalam situasi itu, lagi-lagi Hizbullah secara terbuka mendukung Teheran. Fadlallah marah. Menurut dia, Iran ingin mendapatkan keuntungan politik dari kelompok Syiah. Dia memutuskan tetap mendukung Sistani.

Toh, sebagaimana kebanyakan ulama di sana, Fadlallah tak pernah menyembunyikan kebenciannya kepada Amerika dan Israel. Dia, misalnya, pada 2002 mengeluarkan fatwa yang melarang muslim Timur Tengah membantu serangan Amerika terhadap Irak. ”Tuhan melarang membantu penjajah memusuhi sesama muslim,” katanya.

Dalam ceramah terakhirnya awal Juli lalu, Fadlallah memperingatkan para pengikutnya agar berhati-hati terhadap yahudinisasi Yerusalem. Menurut dia, pemerintah Israel suatu ketika nanti akan merampas properti warga Palestina dan mengusir bangsa Arab keluar dari kota itu.

Kaum moderat dan perempuan di Timur Tengah merupakan kelompok yang paling kehilangan dengan me ninggalnya Fadlallah. ”Dia memperjuangkan persatuan Libanon dan muslim pada umumnya,” kata Perdana Menteri Libanon Saad Hariri, dalam pernyataan belasungkawanya.

Robert Baer, wartawan majalah Time yang pernah mewawancarai Fadlallah, mendaulatnya sebagai suara independen di Arab yang berani menantang Iran. ”Untuk alasan itu,” tulis Baer, ”kita harus menyesali kepergiannya.”

Philipus Parera (Haaretz, Independent, The New York Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus