Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=2 color=#CC0033>Islandia</font><br />Santa Johanna Naik Takhta

Islandia memilih perdana menteri lesbian. Dia mendapat dukungan kuat di dalam negeri.

9 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lima belas tahun adalah waktu yang diperlukan Johanna Si­gurðardóttir untuk mencapai puncak kekuasaan di Republik Islandia, sebuah negeri mungil di lingkar luar Kutub Utara. Ahad dua pekan lalu, perempuan 66 tahun itu disum­pah sebagai perdana menteri, menggantikan Geir Hilmar Haarde.

Rapor Johanna dari segi pengalaman politik dan legislasi matang benar. Masuk parlemen Islandia pada 1978, dia lama bertahan di lembaga itu—hanya terputus tujuh tahun saat dia pindah ke kursi Menteri Hubungan Sosial (1987-1994). Pada 2007, Johanna kembali ke kabinet sebagai Menteri Sosial. Puncaknya, dia resmi memimpin pemerintahan Islandia dari kantor perdana menteri pada pekan lalu.

Popularitas Johanna kian melejit oleh posisi baru itu. Media-media dalam negeri berkejaran memasang wajah dan kisahnya di media cetak dan televisi. Media-media asing pun tak kalah bersemangatnya. Tapi yang lebih mereka ramaikan bukan kemampuan dia sebagai pemimpin ataupun politikus, melainkan urusan ”kamar tidur”-nya. Johanna seorang lesbian. Dia mencatat ”rekor” sebagai pemimpin negara pertama di dunia yang berterus terang sebagai homoseksual.

Pada 2002, Johanna mendaftarkan dirinya dan pacarnya, Jonina Leósdóttir, ke catatan sipil sebagai pasangan sejenis. Sebelum ”menikah” dengan wartawati itu, perdana menteri baru ini pernah berumah tangga secara normal dengan Þorvaldur Steinar Jóhannesson. Suami-istri ini punya dua anak, tapi berpisah. Sejak itu, Johanna pindah ke lain jenis.

Kaum homoseksual di Islandia memang jauh lebih merdeka hidupnya dibanding di berbagai belahan lain di dunia. Sejak 1996, parlemen negeri itu melegalkan hubungan sejenis. Hukum setempat juga merestui pernikahan secara agama oleh pasangan berkelamin sejenis. Maka Johanna pun mulus-mulus saja meluncur ke kantor perdana menteri walau dia seorang homo­seksual.

”Kalaupun orang tahu dia lesbian, paling mereka hanya mengangkat bahu dan bilang, ’Oh’,” ujar salah satu pejabat. ”Mereka memang ingin tahu dengan siapa dia hidup. Tapi itu sama saja dengan orang melihat pasangan pria-wanita,” si pejabat menambahkan.

Yang amat dibutuhkan rakyat Islan­dia saat ini adalah pemimpin yang kuat dan mampu menghela mereka dari krisis ekonomi. Dan sosok Johanna dipandang tepat setelah pemerintah Perdana Menteri Haarde dianggap gagal total. ”Johanna adalah politikus yang peduli terhadap orang kecil,” kata wartawan Islan­dia, Iris Erlingsdottir.

Saat menjadi Menteri Sosial, dia gigih membela hak orang lanjut usia dan penyandang cacat. Dia menolak mobil dinas serta sopir pemberian pemerintah, dan memilih menyetir sendiri Mitsubishi tuanya. ”Dia adil dan pekerja keras. Dia salah satu dari kami,” ujar Erna Kaaber, pemilik restoran di Reykjavik, ibu kota Islan­dia. Sebagian rakyat Islan­dia memanggilnya ”Santa Johanna”.

Sang Santa diharapkan dapat menegakkan kembali Islandia, yang rebah dihajar krisis keuangan global belum lama ini. ”Ekonomi Islandia bisa terbenam ke dasar kolam. Negeri ini berpotensi bangkrut,” kata Perdana Menteri Geir Haarde pada awal Oktober 2008.

Pernyataan tersebut dia keluarkan setelah tiga bank komersial utama negeri se­luas Pulau Jawa itu gulung tikar, ya­itu Glitnir, Landsbanki, dan Kaup­thing. Nilai krona—mata uang Islandia—terpangkas lebih dari sepertiga. Harga makanan melejit hingga 73 persen lebih mahal. Islandia, yang menyandang indeks pembangunan manusia tertinggi di dunia pada 2007, terancam karam.

Toh, Johanna bisa sedikit berlega hati oleh dukungan rakyatnya yang so­lid. Jajak pendapat oleh stasiun televisi Stod 2 menunjukkan 67,4 persen warga Islandia yakin dia mampu meng­atasi krisis. Terpilihnya Johanna membuat kalangan homoseksual lebih percaya diri. ”Ini bukti luar biasa bahwa homoseksual juga bisa menggapai posisi tinggi,” kata Maryan Street, anggota parlemen Selandia Baru—juga lesbian. Tapi dia mengingatkan pencapaian Johanna belum bisa menghapus diskriminasi kaum homoseksual di Islandia.

Sapto Pradityo (BBC, Guardian, Independent, IcelandReview)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus