Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR itu mengejutkan Gayus Lumbuun. Bekas Wakil Ketua Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat untuk hak angket kasus penjualan very large crude carrier (VLCC) ini tak menyangka penyidikan kasus yang ”diperiksanya” itu akhirnya dihentikan Kejaksaan Agung. ”Aneh sekali, kenapa dihentikan?” kata anggota Fraksi PDI Perjuangan yang juga pakar hukum itu.
Kasus VLCC memang segera ”tutup buku”. Dua pekan lalu Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan setuju kasus itu dihentikan. Kasus ini menjadikan mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi, mantan Direktur Utama Pertamina Ariffi Nawawi, dan mantan Direktur Keuangan Pertamina Alfred H. Rohimone sebagai tersangka. Alasan penutupan itu, ”Tidak ada kerugian negara,” kata Hendarman.
Kepada Tempo, Rabu pekan lalu, Gayus bercerita bahwa ia sudah mencium indikasi kasus itu bakal dihentikan tiga bulan lalu. ”Waktu itu saya pikir yang menghentikan pengadilan,” katanya. Dengan berhentinya penyidikan ini, artinya, kata Gayus, semua temuan Panitia Khusus DPR diabaikan. ”Kerja keras kami tidak mendapat perhatian.”
”Masuknya” Laksamana, Ariffi, dan Alfred ke Gedung Bundar—markas para jaksa pengusut kasus korupsi—bermula dari putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha pada Maret 2005 terhadap penjualan dua tanker raksasa milik Pertamina. Komisi Pengawas menilai terjadi persekongkolan dalam penjualan tanker berbobot 260 ribu ton itu.
Menurut Komisi Pengawas, penjualan yang dilakukan pada 2004 itu berpotensi merugikan negara US$ 20-50 juta (sekitar Rp 200-500 miliar). Komisi juga menjatuhkan hukuman denda dan ganti rugi terhadap pembeli tanker, Frontline Ltd. Goldman Sachs (Singapura) sebagai financial advisor Pertamina; dan PT Perusahaan Pelayaran Equinoc, agen Frontline di Indonesia.
Putusan ini lantas menggelinding ke pengadilan tingkat banding. Pengadilan membatalkan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan menyatakan tak ada persekongkolan dan kerugian negara dalam kasus ini. Terhadap putusan tersebut, Komisi Pengawas mengajukan kasasi. Pada November 2006 Mahkamah menguatkan putusan Komisi.
Kasus ini juga masuk ke DPR. Saat itu DPR membentuk panitia khusus untuk menyelidiki penjualan dua tanker tersebut. Sejumlah dokumen dikumpulkan dan sejumlah pihak yang dinilai mengetahui kasus ini dipanggil. Hasilnya, panitia khusus menyatakan menemukan hal yang sama seperti ditemukan oleh Komisi Pengawas.
Laksamana Sukardi juga dinilai bersalah karena mengeluarkan persetujuan penjualan tanker pada 11 Juni 2004. Padahal izin dari Menteri Keuangan baru turun pada 7 Juli 2004. Hasil kerja panitia khusus ini diserahkan oleh Ketua DPR Agung Laksono kepada Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Isinya: merekomendasikan Kejaksaan melakukan pengusutan karena ada dugaan korupsi. Kejaksaan Agung memang turun tangan mengusut kasus ini. Laksamana Sukardi sendiri menuding kasus ini sarat dengan muatan politik.
Untuk mengusut kasus ini, satu tim jaksa dikirim ke kantor Goldman Sachs di Singapura dan Hyundai Heavy Industries di Korea, tempat dua kapal tersebut dibuat. Berbekal hasil temuan tim itulah, pada November 2007, Laksamana, Ariffi, dan Alfred ditetapkan sebagai tersangka.
Belakangan, ternyata Mahkamah Agung mengeluarkan putusan peninjauan kembali atas kasus ini yang isinya berkebalikan dengan putusan kasasi. Majelis hakim peninjauan kembali (PK) yang dipimpin Atja Sondjaja dan beranggotakan Mieke Komar serta Rehngena Purba menyatakan tak ada pelanggaran dalam penjualan kapal itu. Putusan itulah yang dibawa Petrus Selestinus, pengacara Laksamana Sukardi, ke Kejaksaan, awal Januari lalu. ”Kami minta putusan ini dipertimbangkan,” kata Petrus. Menurut Petrus, putusan Mahkamah membuktikan kliennya, Laksamana, tidak bersalah.
Kendati Kejaksaan yakin terdapat perbuatan melawan hukum dalam penjualan tanker itu, ada satu hal yang mengganjal dalam penyidikan kasus ini: perihal kerugian negara. Menurut Hendarman, Kejaksaan telah meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan serta Badan Pemeriksa Keuangan menelisik ada-tidaknya kerugian negara dalam perkara ini. Hasilnya, menurut Hendarman, tidak ada kerugian negara karena tak ada harga pembanding untuk tanker jumbo itu. ”Kita mencari alat bukti, itu sudah mentok,” katanya. Apalagi, ujarnya, putusan PK justru menyatakan negara diuntungkan. ”Ini kan dilematis, to,” ujarnya.
Putusan PK itu sendiri menimbulkan tanda tanya Tadjuddin Noor Said, anggota Komisi Pengawas yang dulu mengusut kasus tanker tersebut. ”Tidak ada kerugian negara bukan berarti tidak ada pelanggaran dalam hukum persaingan usaha,” katanya. ”Apalagi soal kerugian negara masih bisa diperdebatkan.” Menurut Tadjuddin, Komisi Pengawas kini sedang membahas upaya yang bisa dilakukan terhadap putusan Mahkamah.
Penghentian kasus tanker Pertamina oleh Kejaksaan itu kini menjadi topik pembicaraan sejumlah mantan anggota ”Pansus Tanker” DPR. Menurut Patrialis Akbar, bekas anggota Pansus Tanker, sebelum Kejaksaan menghentikan penyidikan, seharusnya mereka membicarakan dulu dengan Dewan. ”Karena itu rekomendasi DPR,” ujar Patrialis.
Penghentian penyidikan ini juga digugat Masyarakat Anti Korupsi Indonesia. Menurut Ketua Masyarakat Anti Korupsi Boyamin Saiman, pihaknya akan mempraperadilankan Kejaksaan Agung jika lembaga itu mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada Laksamana dkk. ”Kalau belum menemukan kerugian negara, seharusnya dicari dulu, dong,” kata Boyamin.
Hendarman menegaskan, Kejaksaan tak gentar atas ancaman gugatan itu. Adapun Petrus menyebut surat penghentian penyidikan yang diterbitkan Kejaksaan terhadap kasus kliennya bukanlah SP3 sembarangan. ”Ini SP3 plus karena dikuatkan dengan putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung,” katanya.
Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo