Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Roket kembali beterbangan dari Jalur Gaza ke Kota Ashkelon di wilayah selatan Israel, 13 kilometer dari perbatasan Gaza, Ahad 1 Februari lalu. Tapi kali ini pelakunya bukan Hamas, melainkan Brigade Martir Al-Aqsa. Sebagaimana biasa, segera pesawat tempur Israel melesat ke udara Gaza dan melepaskan bom di kawasan tengah Gaza.
Ini bukan pertama kali Brigade Martir Al-Aqsa melepas roket ke wilayah Israel setelah gencatan senjata sepihak Israel yang kemudian diikuti tindakan yang sama oleh Hamas pada 18 Januari lalu. Kelompok militer yang berafiliasi dengan faksi Fatah pimpinan Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas itu rajin menembakkan roket ke Israel justru setelah gencatan senjata Israel-Hamas.
Pada saat yang sama di Yerusalem beredar kabar, Mahmud Abbas telah meminta Israel menggelar serangan militer besar-besaran terhadap Hamas di Gaza. ”Ini sudah rahasia umum di kalangan diplomatik dan petinggi militer (Israel),” ujar pejabat Israel yang tak mau disebut namanya dalam situs berita WorldNetDaily. ”Kampanye Abbas terhadap kami untuk menyerang Hamas di Gaza sangat intensif,” katanya.
Tujuannya? Masa jabatan Abbas sebagai Presiden Otoritas Palestina akan berakhir pada Senin pekan ini. ”Abbas berharap serangan berskala besar militer Israel di Gaza akan menggagalkan Hamas melenyapkan kekuasaan faksi Fatah setelah Abbas tak lagi menjabat presiden,” ujar pejabat Israel tadi.
Selama ini, sebagian rakyat Palestina memang menilai Abbas bukan pemimpin yang bisa memperjuangkan kepentingan rakyat Palestina dalam menghadapi Israel. Abbas bisa bertahan hanya karena dukungan Amerika Serikat dan Uni Eropa, karena hanya sosok moderat seperti Abbas yang tidak akan merugikan kepentingan Israel.
Hamas juga mulai bergerak menyongsong lengsernya Abbas dari kursi presiden. Pemimpin Hamas di pengasingan, Khaled Meshaal, mengobarkan kampanye yang menyatakan perlunya rakyat Palestina membentuk gerakan politik baru di luar Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Sasaran Meshaal sudah jelas: menyingkirkan pengaruh faksi Fatah yang mendominasi PLO sejak pendiriannya pada 1964. PLO diakui sebagai wakil rakyat Palestina yang sah, termasuk mewakili kepentingan Palestina dalam perundingan dengan Israel, seperti Kesepakatan Oslo pada 1993. Kesepakatan itu mengubah strategi perjuangan PLO dari gerakan bersenjata menjadi gerakan yang mengandalkan diplomasi. PLO mengakui Israel, dan Yasser Arafat memimpin Pemerintah Otoritas Palestina di Ramallah, Tepi Barat.
Yasser Arafat ternyata bukan pemimpin yang lantas menyenangkan Israel dan negara-negara Barat. Atas tekanan Amerika, kekuasaan Arafat sebagai presiden dilucuti dan dialihkan ke tangan perdana menteri, yang kala itu dijabat Mahmud Abbas, tokoh moderat PLO. Posisi Abbas semakin kukuh setelah kematian Arafat, 11 November 2004.
Sayang sekali, Abbas kemudian gagal menaklukkan hati rakyat Palestina. Kemenangan Hamas dalam pemilihan parlemen pada 2006 menunjukkan Abbas, Fatah, dan PLO tak lagi punya pengaruh politik di kalangan rakyat. Hamas, yang semula gerakan sosial di Gaza, menjadi gerakan politik militan yang berpengaruh di luar lingkaran PLO. Tak aneh, Khaled Meshaal berani berkampanye untuk mengakhiri peran PLO yang legendaris. ”Organisasi Pembebasan Palestina saat ini tak lagi mewakili rakyat Palestina,” ujar Meshaal, Rabu pekan lalu, di Doha, Qatar. Meshaal yang menetap di Suriah itu lalu mengusulkan pembentukan organisasi baru pengganti PLO.
Abbas meradang. Ia mengancam ogah berunding dengan Hamas jika organisasi Islam ini tak mengakui keberadaan PLO. ”Sementara dia (Meshaal) berbicara soal mendirikan satu organisasi (baru), dia sejatinya ingin menghancurkan apa yang telah disuarakan (rakyat Palestina) selama 44 tahun,” ujar Abbas.
Abbas membacakan legenda PLO bahwa PLO diakui rakyat Arab, didukung umat Islam di seantero jagat, dan diakui 120 negara. ”Jika ia ingin menghancurkan bangunan ini, dia tak akan berhasil,” kata Abbas, ”karena tak seorang pun di antara rakyat kami atau yang lain yang berpihak kepadanya.”
Tapi Abbas bukan pemimpin yang selalu didengar sekarang. Awal Februari ini, satu jajak pendapat yang digelar Pusat Kebijakan dan Riset Palestina di Ramallah, Tepi Barat, menunjukkan 64 persen rakyat Palestina tak ingin masa kekuasaan Abbas diperpanjang. Hanya 24 persen yang ingin mempertahankan Abbas.
Rendahnya dukungan masyarakat terhadap Abbas ini dimanfaatkan beberapa tokoh Hamas untuk mengubur legenda PLO. Khaled Meshaal kini berusaha membentuk organisasi baru yang akan merupakan koalisi besar kelompok utama Palestina, yakni Hamas, Jihad Islam, dan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina di Libanon, yang sebenarnya merupakan bagian dari PLO.
Bahkan, menurut seorang sumber di Hamas, sejumlah petinggi Fatah, termasuk Faruq al-Khadumi, Ketua Biro Politik PLO, ikut dalam pertemuan dengan Hamas yang membicarakan kemungkinan membentuk PLO baru.
Jika Khaled Meshaal berhasil, itu merupakan peran politik terakhir Abbas—setelah masa jabatannya berakhir Senin pekan ini. ”Pada tengah malam 10 Januari, kami mencopot semua potret Abu Mazen (panggilan akrab Abbas) dari semua bangunan dan lembaga resmi di seantero Jalur Gaza,” ujar Mahmud al-Zahar, pemimpin Hamas di Gaza. Dengan demikian, katanya, kepemimpinan Otoritas Palestina beralih ke Hamas hingga pemilu baru berlangsung.
Tapi Abbas siap menghadapi kemungkinan itu. Ia ngotot tetap memegang jabatan presiden dengan cara menyatakan keadaan darurat, yang bakal memberinya kekuasaan hingga awal 2010. Israel akan menyimak bagaimana ia menarik keuntungan dari perpecahan yang semakin besar ini. Yang terang, Palestina terus membara.
Raihul Fadjri (AP, AFP, Reuters, WorldNetDaily)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo