Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<Font size=2 color=#CC0033>Teroris</font><br />Bertetangga dengan Teroris

Keluarga korban menolak para tersangka peristiwa 11 September 2001 diadili di New York. Bakal jadi forum meyakinkan para ekstremis Islam dengan pandangan jihad mereka.

23 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sewindu setelah serangan yang meluluhlantakkan gedung World Trade Center, 11 September 2001, ground zero hanyalah sebuah tempat biasa. Para New Yorker umumnya melintas di sampingnya, sambil sesekali melirik lokasi kejadian horor itu, lalu cepat mengalihkan pandangan pada hal lain.

Namun tempat yang hanya ramai setahun sekali di saat peringatan 11/9 itu kini kembali menarik perhatian. Presiden Barack Obama bertekad membawa Khalid Syekh Mohammed, tersangka yang diduga otak serangan itu, ke New York, dari Teluk Guantanamo. Tepatnya, ke pengadilan distrik di selatan New York. Gedung itu cuma dua blok dari ground zero, tempat sekitar 3.000 korban peristiwa itu menemui ajal.

Di mata Obama, Amerika akan mengadili para tersangka layaknya penjahat, karena mereka telah membunuh ribuan orang dan itu tindak kriminal. Namun rencana Obama mendapat banyak tentangan. Keluarga korban merasa Khalid dan empat rekannya—Ramzi bin Al-Shibh, Walid bin Attash, Ali Abdul Aziz, serta Mustafa Ahmed al-Hawsawi—tak pantas diadili di sana.

Sebagian keluarga korban tak rela bila para tersangka itu diadili di kota tersebut. Margit Arias Kastell, yang kehilang­an suaminya di tower kedua me­nara kembar itu, bahkan bersama ratusan keluarga korban menandatangani petisi menolak pengadilan sipil bagi para tersangka. ”Kalau begini terus, kapan kami bisa damai?” kata Margit.

Tapi Obama tampaknya tidak akan berhenti, karena itu merupakan bagian dari rencananya mengembalikan para tersangka ini ke jalur hukum. Masa kepresidenan George W. Bush selama ini membenarkan penggunaan setrum. Di masa itu , para tersangka disiksa dan hak asasi mereka dilanggar. Setrum dan waterboarding menjadi menu mereka selama diinterogasi di Teluk Guantanamo oleh militer dan agen rahasia Amerika selama enam tahun.

Persoalannya, tak segampang itu mengadili tersangka dengan bukti-bukti yang diperoleh dengan menyiksa. Hukum sipil di Amerika tak menerima itu. Steven Wax, pengacara publik yang mewakili tujuh tersangka dari Guantanamo, mengatakan, ”Kalau saya jadi pengacara (Khalid), saya akan bilang, semua itu (bukti-bukti, termasuk peng­akuan) hasil penyiksaan. Semestinya tak masuk di pengadilan.”

David Laufman, pengacara di Washington dan pernah menjadi jaksa penuntut kasus terorisme, menilai sidang itu akan menjadi forum bagi Khalid menampilkan dirinya sebagai martir. Hal ini juga akan memicu para ekstremis lain melakukan tindakan yang sama. ”Ini akan menjadi keuntungan buat mereka untuk menyampaikan pandangan jihad mereka.”

Tapi jaksa Eric sudah mengantisipasi hal itu. Buat bukti hasil siksaan, menurut dia, Khalid cuma disiksa sampai 2003, sehingga pengakuan dan bukti-bukti lain setelah itu bisa sah sebagai bukti. Apalagi, katanya, ”Ada bukti-bukti lain yang belum diungkap ke publik.” Dia juga yakin, meski bisa menjadi forum buat para tersangka, keadilan bisa tercapai bagi korban dan juga tersangka. ”Setelah tertunda selama delapan tahun, akhirnya mereka akan menghadapi hukuman terberat (hukuman mati).”

Jaksa Eric yakin inilah forum yang tepat buat Khalid dan rekan-rekannya memperoleh pengadilan sipil. Itu berbeda dengan rekan-rekannya yang menyerang fasilitas tempur Amerika, seperti Abd al-Rahim al-Nashiri yang mengebom kapal induk USS Cole dan Omar Khadr yang membunuh tentara Amerika di Afganistan. Keduanya tahanan Guantanamo, yang akan menghadapi pengadilan militer.

Optimisme Eric juga dirasakan Jim Riches. Pensiunan Wakil Kepala Satuan Pemadam Kebakaran New York itu yakin Jimmy, anaknya yang juga petugas pemadam kebakaran, tak tewas sia-sia. ”Ayo bawa mereka ke sini. Ini sudah terlalu lama, delapan tahun tanpa ada ke­jelasan.”

Jim berjanji akan datang ke pengadilan itu. ”Saya akan datang di mana pun pengadilan itu (digelar). Saya ingin melihat mereka dihukum.”

Yophiandi (New York Times, The Guardian, CNN)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus