Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Acara jumpa pers yang langka itu digelar di Phnom Penh, Kamis pekan lalu. Di depan para wartawan, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen mendesak mitranya dari Thailand agar meneken perjanjian gencatan senjata secara permanen disaksikan para menteri luar negeri dan Ketua ASEAN, yaitu Indonesia, dalam pertemuan di Jakarta, Selasa pekan ini. ”Akan lebih baik bila Ketua ASEAN ikut menandatangani perjanjian gencatan senjata permanen itu,” ujarnya.
Dua pekan lalu situasi di perbatasan Thailand-Kamboja memang kembali memanas. Baku tembak pecah di antara militer kedua negara yang memperebutkan Candi Preah Vihear, yang merupakan peninggalan abad ke-11. Setidaknya lima tentara tewas dalam pertempuran tersebut.
Kedua negara saling tuding tentang siapa pemicu pertempuran. Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Namhong menuduh pasukan Thailand telah melanggar wilayah Kamboja. ”Dalam waktu dekat akan ada situasi perang yang mengancam serius kemerdekaan Kamboja,” katanya. Namun hal itu langsung ditepis oleh juru bicara tentara Thailand, Kolonel Sunsern Kaewkumnerd. ”Thailand hanya membalas. Tentara Kamboja yang memulai menembak dan melepaskan api,” ujarnya.
Thailand dan Kamboja bersitegang sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa mengukuhkan Candi Preah Vihear sebagai warisan dunia pada Juli 2008. Mahkamah Internasional telah memutus candi itu sebagai milik Kamboja pada 1962. Namun kaum nasionalis Thailand tidak menerima keputusan tersebut. Pertempuran di antara pasukan kedua negara pun pecah secara sporadis.
Candi Preah Vihear atau Prasat Preah Vihear adalah kuil Khmer yang terletak di bukit setinggi 525 meter di Pegunungan Dangrek, Provinsi Preah Vihear, Kamboja, dan dekat Distrik Kantharalak, Thailand.
Akibat pertempuran tersebut, beberapa bagian Candi Preah Vihear rusak. ”Beberapa sisi candi runtuh karena pengeboman artileri Thailand,” kata salah seorang tentara Kamboja. Mortir, roket, dan senjata berat digunakan dalam baku tembak yang berlangsung pukul 18.35 waktu setempat, sehari setelah kedua negara tersebut menyetujui gencatan senjata.
Kontak senjata masih berlangsung hingga menjelang kedatangan Ketua ASEAN, yang juga Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, dalam upaya menciptakan perdamaian.
Tak ingin kehilangan situs bersejarah itu, pemerintah Kamboja telah meminta campur tangan PBB dan ASEAN untuk menyelesaikan sengketa yang tak pernah usai itu. Dia meminta badan dunia campur tangan dengan mengirimkan pasukan penjaga perdamaian sebagai penyangga di antara pasukan kedua negara.
Sebaliknya, Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva menolak campur tangan PBB dan ASEAN. Menurut Abhisit, masalah antara Thailand dan Kamboja masih bisa diselesaikan secara bilateral.
Meski setuju untuk melangsungkan pembicaraan bilateral, Abhisit menolak menarik mundur pasukannya seperti yang diharapkan Kamboja. Dia juga menolak pasukannya disebut sebagai agresor. ”Thailand harus melindungi hak atas tanah tersebut. Mereka (pasukan) membela kedaulatan negara,” ujarnya.
Tak mau kalah oleh langkah Kamboja, Abhisit mengirim surat protes kepada Dewan Keamanan PBB. Bangkok menuduh Phnom Penh telah memprovokasi konflik perbatasan yang menyebabkan bentrokan selama dua pekan terakhir. Pemerintah Thailand juga meminta penangguhan daftar Candi Preah Vihear sebagai situs Warisan Dunia UNESCO.
Kendati Abhisit menolak, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen berkukuh meminta bantuan pihak ketiga dalam menyelesaikan masalah tersebut. ”Tidak akan ada pembicaraan bilateral lagi, dan semua negosiasi akan diikuti oleh pihak ketiga.”
Abhisit mengatakan bahwa keinginan Hun Sen melibatkan pihak ketiga dalam persengketaan itu merupakan upayanya mengangkat konflik ke tingkat yang lebih tinggi. Baginya penyelesaian masalah ini mudah, UNESCO harus meninjau kembali pencatatan Candi Preah Vihear sebagai situs warisan dunia sebelum diselenggarakannya pertemuan Komite Warisan Dunia pada Juni mendatang.
Direktur Jenderal UNESCO Irina Bokova menyatakan akan mengirim misi untuk menilai keadaan Preah Vihear yang tertulis di Daftar Warisan Dunia pada 2008. Dia juga meminta kedua belah pihak mampu mengendalikan diri dalam menangani masalah sengketa perbatasan.
Suryani Ika Sari (BBC, AFP, Reuters, Bangkok Post, The Telegraph, Xinhua)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo