Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Robohnya Kartu Domino

Gelombang revolusi rakyat berlanjut ke sejumlah negara Arab dan Iran. Peluang jatuhnya rezim terjadi di negara yang memiliki tingkat kesenjangan tinggi.

21 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti kartu domino, satu per satu rezim otoriter di Timur Tengah roboh dan goyah diguncang unjuk rasa rakyat. Berkaitan dengan lengsernya Presiden Mesir Husni Mubarak dan Presiden Tunisia Zine el-Abidine Ben Ali, kini giliran Aljazair, Yaman, Bahrain, dan Iran diterjang demonstrasi menuntut lengsernya penguasa.

Di Yaman, sejak Mubarak lengser, warga berkumpul dan menuntut Presiden Ali Abdullah Saleh, yang telah berkuasa sejak 1994, mundur dari jabatannya. Ribuan orang berjalan menuju istana presiden di Kota Sanaa dan Taiz. ”Rakyat ingin menggulingkan rezim, sekarang saatnya Ali pergi,” teriak para demonstran penuh amarah.

Tiga dekade memimpin, Saleh dianggap tak mampu menangani kemiskinan dan tingkat pengangguran yang tinggi. Bentrok pun tak terelakkan. Pendemo dan polisi saling lempar batu. Setidak­nya dua orang tewas dalam bentrok anta­ra warga dan aparat kepolisian. Puluhan pendemo ditangkap di Sanaa dan Taiz. Aliansi partai oposisi sepakat melangsungkan perundingan dengan pemerintah. ”Kami mendesak pemerintah belajar dari pengalaman yang terjadi di Tunisia dan Mesir,” kata mereka.

Aktivis hak asasi manusia Abdel Rahman Barman mengatakan aksi yang terjadi di Yaman telah menyalahi konstitusi yang selama ini berlaku. ”Ini semua berlawanan dengan konstitusi Yaman, orang-orang memiliki hak untuk protes damai,” ujarnya.

Gelombang protes juga merangsek ke Aljazair. Di sana para pemimpin oposisi turun ke jalan mendesak Presiden Abdelaziz Bouteflika mundur. Sejak berkuasa pada 1999, Bouteflika dinilai tak becus mengatasi pengangguran, kondisi perumahan yang buruk, dan tingginya harga pangan. ”Bouteflika pergi,” teriak para demonstran.

Tak mau kecolongan seperti Mesir dan Tunisia, pemerintah Aljazair memblokade berbagai akses Internet, seperti Facebook, yang dianggap dapat memobilisasi massa. ”Pemerintah tidak ingin kami merekrut massa melalui Internet,” kata Rachid Salem, dari Koordinasi untuk Perubahan Demokrasi di Aljazair.

Setidaknya 30 ribu polisi antihuru-hara dikerahkan untuk memblokade jalan. Mereka menghalangi ribuan pendemo yang mencoba merangsek ke ibu kota negara. Namun tindakan itu membuat pendemo yang sebagian besar dari kelompok Islam radikal semakin beringas. Saling lempar batu terjadi antara demonstran dan polisi di kota timur Annaba.

”Kami akan terus menuntut hingga rezim Bouteflika turun. Setiap Sabtu kami akan melakukan aksi,” kata juru bicara Partai Kebudayaan dan Demokrasi (RCD) yang beroposisi, Mohesen Belabes.

Blogger dan aktivis hak asasi manusia Aljazair, Elias Filali, yang sempat ditahan di tempat aksi protes mengatakan para demonstran sebenarnya ingin melakukan aksi damai. Namun pemerintah yang terus mendatangkan aparat membuat demonstran marah. ”Rezim ini takut. Kehadiran 30 ribu polisi di ibu kota memberi gambaran mengenai bagaimana ketakutan rezim terhadap rakyatnya,” ujarnya.

Gelombang unjuk rasa bahkan merasuk ke Iran yang pemimpinnya sebelumnya bersukacita atas tumbangnya Mubarak. Pasukan pemerintah menggunakan kekerasan untuk memblo­kade demonstran di alun-alun utama Teheran. Darah membasahi jalanan. Sana Jaleh, 26 tahun, tewas dalam aksi protes itu. Adapun ratusan demonstran ditahan.

Anggota parlemen konservatif Iran menuduh tokoh reformasi Mir Hussein Musavi dan Mehdi Karrubi melakukan makar. Karrubi menyatakan bersedia berkorban apa saja untuk negaranya, sedangkan Musavi menyebut aksi protes itu sebagai ”pencapaian besar”.

Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad menuding ada agenda terselubung yang menunggangi aksi demonstrasi di Iran. ”Inilah bukti Iran memiliki musuh,” ujarnya.

Menanggapi tudingan Ahmadinejad, Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengatakan para pemimpin Timur Tengah harus mau mendengarkan suara rakyat secara damai. ”Dunia berubah dan kalian tidak bisa terus sembunyi,” katanya.

Pakar Timur Tengah di Woodrow Wilson International Center for Scholars, Aaron Miller, mengatakan potensi pemberontakan sangat tinggi di wilayah yang memiliki tingkat kesenjangan tinggi. Kendati, menurut dia, sulit memprediksi apakah rezim diktator lain akan jatuh seperti di Tunisia dan Mesir.

Suryani Ika Sari (AP, Reuters, Al-Jazeera, CNN, Telegraph)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus