Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR itu tersiar dari mulut ke mulut: pemulihan sakit punggung dan jantung Raja Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud, 86 tahun, mengalami kemunduran sejak tiga pekan lalu. Intelijen negara-negara Barat bahkan melaporkan bahwa sang Raja mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan mental berupa penyakit demensia.
Salah satu laporan menyebutkan sakit sang Raja dipicu pembicaraannya dengan Presiden Amerika Serikat Barack Obama melalui telepon pada Jumat, 11 Februari lalu. Saat itu Raja Abdullah meminta dukungan Amerika demi keberlanjutan rezim Husni Mubarak di Mesir, yang merupakan sahabatnya. Namun usahanya itu sia-sia.
”Upaya itu tidak membantu kesehatannya, malah menggagalkan proses pemulihannya,” ujar salah seorang sumber yang berada di lingkungan keluarga kerajaan, seperti dikutip presstv.com.
Melihat perkembangan situasi politik di negara-negara Arab tetangganya, Kerajaan Arab Saudi langsung menggelontorkan dana US$ 35 miliar untuk memberikan bantuan sosial kepada rakyatnya. Bantuan itu untuk mengurangi angka pengangguran kaum muda dan memperbaiki rumah warga. Insentif itu juga dirancang untuk menetralisasi efek inflasi sebagai imbas dari kerusuhan di Tunisia, Mesir, dan Libya.
Menurut orang dalam kerajaan, upaya ini diambil Raja Abdullah untuk mencegah kerusuhan dan revolusi besar-besaran yang melanda negara-negara tetangga merambah ke Arab Saudi.
Sempat tersiar pula kabar bahwa Raja Abdullah telah mengajukan penawaran US$ 150 miliar kepada pendiri Facebook, Mark Zuckerberg. Raja Abdullah sangat marah kepada Zuckerberg. Dia menganggap Zuckerberg salah satu biang kerok terjadinya penggalangan revolusi besar-besaran di dunia maya. Dalam pertemuan antara keduanya pada Januari lalu, Raja Abdullah langsung menawari Zuckerberg uang US$ 150 miliar di meja perundingan.
Salah satu anggota keluarga senior kerajaan, Pangeran Talal bin Abdul Aziz, menyatakan semua upaya itu dilakukan Raja Abdullah untuk memulai reformasi. Talal sendiri dikenal sebagai salah satu anggota keluarga kerajaan yang cukup vokal dalam mengkritik pemerintah. Dia yakin belum terlambat bagi pemerintah Arab Saudi untuk mencegah gerakan revolusi rakyat dengan mengadopsi langkah reformasi.
”Bila Raja tidak melakukan itu semua, akan berbahaya bagi negara ini,” ujar Pangeran Talal kepada BBC, Kamis dua pekan lalu. Talal yakin negara kaya minyak itu saat ini tengah tersapu gelombang pergerakan rakyat yang prodemokrasi.
Langkah antisipasi di bidang politik juga diambil Kerajaan Arab Saudi dengan membiarkan pembentukan Partai Umat Islam. Partai yang dideklarasikan sekelompok ulama moderat dua pekan lalu itu merupakan partai politik pertama di Arab Saudi. Sebelumnya, Kerajaan Arab Saudi melarang pembentukan partai politik. Penggagas Partai Umat Islam pun sempat ditahan, kendati akhirnya dibebaskan.
”Pendirian partai ini adalah respons alami terhadap perkembangan situasi politik di wilayah Arab dan pengembangan tindakan politik di kerajaan,” ujar Syekh Mohammed al-Qahtani, pendiri Partai Umat Islam. ”Waktunya telah tiba untuk mengakui hak politik dan memulai kebebasan umum, terutama untuk mengakui hak rakyat dalam memilih anggota dewan syura dan menciptakan undang-undang buat menjamin semua hak politik,” Qahtani menambahkan.
Arab Saudi adalah negara yang tidak memiliki parlemen. Negara itu hanya memiliki dewan syura yang semua anggotanya ditunjuk oleh raja dan hanya bertanggung jawab kepada raja. Dewan syura memberikan konsultasi kepada raja mengenai hukum dan kebijakan.
Kendati lunak di dalam negeri, Arab Saudi bersikap lebih keras di luar negeri. Pekan lalu, Arab Saudi mengirimkan 30 tank ke Bahrain. Beberapa saksi mata kepada surat kabar Mesir, Al-Masry Al-Youm, menyatakan iring-iringan tank itu sudah melewati jalan lintas Raja Fahd sepanjang 25 kilometer.
Bahrain, yang bertetangga dekat dengan Arab Saudi, juga sedang diguncang demonstrasi. Kebanyakan pengunjuk rasa di sana berasal dari kelompok Syiah—sekitar 70 persen penduduk Bahrain pemeluk Syiah. Mereka mengeluhkan diskriminasi yang dilakukan dinasti Sunni, yang telah memerintah negara itu selama dua abad lebih.
Cheta Nilawaty (AP, www.presstv.ir, BBC, Al-Masry Al-Youm)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo