Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sang Revolusioner yang Digoyang Revolusi

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERMULA dari Benghazi, 42 tahun silam. Kapten Muammar Qadhafi memimpin sejumlah tentara muda melakukan kudeta. Saat itu, Raja Idris I sedang berobat di Turki, sehingga perebutan kekuasaan berlangsung tanpa pertumpahan darah.

Ketika itu, Qadhafi muda mendapat dukungan rakyat. ”Kami pikir, revolusi Qadhafi demi kebebasan dan hak asasi manusia,” kata Fathi Baja, warga Benghazi yang mendukung langkah Qadhafi saat itu. Ironisnya, 42 tahun kemudian, ia kembali ikut revolusi, tapi kali ini untuk ”memecat” Qadhafi. ”Setelah empat dekade, yang ada hanya kekacauan,” ujarnya. ”Yang ada kediktatoran yang brutal.”

Dipimpin Qadhafi, yang lahir dari keluarga Badui pada 1942, Libya menjadi begitu terkenal. Dia menyediakan surga bagi para penentang Barat.

Di bawah kepemimpinannya, tak ada presiden ataupun perdana menteri. Dia juga tak mengangkat diri menjadi jenderal, tapi hanya kolonel. Qadhafi cuma menyebut diri sebagai pemimpin dan pengarah.

Pada 1970-an, ia mengeluarkan ”Buku Hijau” yang menggabungkan sosialisme, kapitalisme, dan Islam untuk mengatur negerinya. Buku ini seolah menjadi konstitusi yang tak pernah ada selama kepemimpinannya.

Dia juga mendeklarasikan sistem ”jumhuriyah”: kekuasaan ada di tangan rakyat. Implementasinya, kekuasaan berada di tangannya sendiri.

Dengan cepat Qadhafi terlena. Dia tidak mau ada ancaman terhadap kepemimpinannya. Sebanyak 10-20 persen rakyat Libya dijadikan mata-mata di berbagai sektor kehidupan.

Kebebasan yang diimpikan Fathi Baja dan teman-temannya lebih dari empat dekade silam tak pernah terwujud. Berbicara dengan orang asing pun bisa diganjar penjara selama tiga tahun. Tak ada kebebasan pers. Penghilangan orang pun kerap terjadi.

Hubungan Libya dengan masyarakat internasional pun tak mulus. Pada 1980-an, Qadhafi menyediakan kamp latihan bagi kelompok-kelompok pemberontak di Afrika Barat.

Sang pemimpin revolusi juga menggelontorkan dana bagi berbagai kelompok perjuangan di beberapa negara, seperti Angkatan Bersenjata Republik Irlandia, Brigade Merah Italia, dan Organisasi Pembebasan Palestina.

Libya dituding mensponsori serangan terhadap Barat, termasuk pengeboman di Jerman dan pembajakan pesawat Pan Am 103 yang jatuh di Lockerbie, Skotlandia.

Semua itu membuat Libya terisolasi. Beragam sanksi dari masyarakat internasional membuat negeri itu terpuruk. Belakangan Qadhafi melunak. Libya memberikan kompensasi besar kepada keluarga korban Lockerbie. Qadhafi berjanji tak akan mengembangkan senjata pemusnah massal. Amerika dan negara Barat lain kembali bermanis muka.

Tapi kali ini ancaman datang dari rakyatnya sendiri. Kesabaran rakyat Libya sudah habis atas sikap otoriter Qadhafi. Kini giliran sang revolusioner yang digoyang revolusi.

Purwani Diyah Prabandari (BBC, AP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus