Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEGEROMBOLAN polisi tiba-tiba mendorong keras pintu masuk kafe Internet, tempat Gazheli Muhammad nongkrong malam itu. Pukul satu dinihari, pedagang bawang dari Brebes, Jawa Tengah, itu semestinya sudah tidur di Apartemen Harmoni, tempat tinggal sepupunya, Abdul Sanu. Lantaran melihat banyak kawannya masih kongko di kafe yang ada di lantai satu gedung apartemen itu, dia menghampiri mereka dulu.
Di sana dia bertemu dengan sepupunya, Musdi dan Abdul Sanu. Ada juga Muklis, kawan sepupunya. Ketiganya adalah pemasang plafon di proyek perkantoran dan perumahan di Bukit Damansara, Selangor. Selain orang Indonesia, ada beberapa warga Malaysia di kafe itu.
Para polisi tersebut langsung berteriak memerintahkan semua orang di sana berbaris di samping pintu masuk, dan meminta paspor warga Indonesia. Warga Malaysia lolos dari razia ini. Untungnya, mereka semua memiliki paspor serta izin tinggal dan bekerja.
Ada pula polisi yang masuk dari pintu belakang kafe. Polisi ini berteriak memanggil nama Muklis, Musdi, dan Abdul Sanu. Padahal paspor masih dipegang polisi yang berada di dekat pintu masuk depan. ”Dari mana dia tahu nama mereka?” Gazheli bertanya di dalam hati.
Ketiga orang itu langsung digiring keluar lewat pintu belakang. Gazheli dan warga Indonesia lain disuruh keluar lewat pintu depan. Di apartemen sepupunya itu, tinggal enam orang dari daerah yang sama di Jawa Timur. Polisi juga mencokok tiga temannya yang lain, yang berada di dalam apartemen. Mereka dianggap melanggar aturan imigrasi.
Keesokan harinya Gazheli dan kawan-kawan terperanjat saat membaca koran. Ketiga kawan yang masih bersama mereka semalam ternyata telah tewas ditembak polisi. Menurut versi polisi kepada surat kabar Malaysia, ketiganya adalah anggota geng gondol atau perampok.
Masih menurut polisi Malaysia, mereka melarikan diri saat polisi mencurigai sebuah Proton Waja dalam razia. Kejar-kejaran pun terjadi. Dan mobil itu, kata polisi, menabrak pohon karet di jalan raya menuju Kuala Selangor. Selanjutnya, polisi berdalih mereka diserang dengan parang dan pistol. ”Lucu, padahal mereka enggak tahu nyopir mobil. Mereka cuma bisa naik motor,” kata Gazheli.
Gazheli yang sedang berlibur ke Malaysia mengunjungi sepupu-sepupunya itu mesti membawa jenazah mereka pulang ke Sampang dan Brebes. Untuk sementara, dia menyimpan rasa penasarannya. Barulah sepekan kemudian dia melaporkan keanehan itu ke Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur.
Dia mengajak beberapa warga Indonesia lain yang ada di kafe dan kompleks apartemen itu sebagai saksi. ”Saya tahu mereka. Kalau memang perampok, buat apa saya capek-capek urusan begini.”
Jumat dua pekan lalu, Wakil Kepala Polis Diraja Malaysia Jenderal Tan Sri Omar menemui Duta Besar Indonesia Jenderal Polisi (Purnawirawan) Da’i Bachtiar. Omar diutus Menteri Dalam Negeri Hishamuddin Hussein yang dikirimi surat oleh Da’i meminta waktu membahas persoalan ini. Bekas Kepala Kepolisian Republik Indonesia itu menyatakan ada beda versi tentang tiga orang Indonesia yang ditembak polisi tersebut. Da’i juga menyampaikan beberapa dokumen tentang kesaksian dan pantauan tempat kejadian perkara.
Sebelumnya, nota diplomatik Duta Besar Indonesia tentang kasus tewasnya tiga warga Indonesia di Selangor itu tak ditanggapi Kementerian Luar Negeri Malaysia. ”Besoknya saksi kami langsung diwawancarai,” ujar Da’i. Di Indonesia, Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Departemen Luar Negeri Hamzah Thayeb juga memanggil Duta Besar Malaysia, meminta keseriusan mereka menangani kasus ini.
Sudah sepekan ini, sejak kunjungan Omar ke Kedutaan Besar RI, para saksi peristiwa itu mondar-mandir ke Bukit Aman, Markas Besar Polis Diraja Malaysia. Kasus ini langsung ditarik ke markas besar, karena perhatian besar Indonesia atas kasus ini. ”Kami masih periksa saksi-saksi, saya mesti melihat laporan penyidikannya dulu,” ujar Komisaris Dato Seri Mohammad Bakri Zini, Direktur Penyidikan Polis Diraja Malaysia, ketika dihubungi.
Pemerintah Indonesia juga mengirim beberapa penyidik Markas Besar Polri ke tempat kejadian perkara, di kebun karet Danau Kota Putri, Kuala Selangor. Begitu juga ke Apartemen Harmoni, tempat ketiga pekerja malang itu diambil paksa oleh polisi. Hasil pemantauan lapangan ini menjadi bahan yang akan diserahkan kepada polisi Malaysia.
Saat dibawa pulang ke Indonesia, jenazah mereka langsung diotopsi ulang oleh Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri. Otopsi dilakukan lantaran kejanggalan kematian ketiganya sudah terkuak. Dalam kasus-kasus sebelumnya, tak ada saksi yang berani bercerita.
Sebetulnya, kasus penembakan pekerja Indonesia di Malaysia sudah kerap terjadi. Pada 2008 tercatat ada 24 warga Indonesia yang ditembak polisi, dan pada 2009 meningkat menjadi 40 orang. Semua fakta penembakan selalu atas dasar cerita polisi. ”Selalu satu versi,” ujar sumber Tempo.
Lucunya, cerita polisi Malaysia itu standar: selalu warga Indonesia yang lebih dulu menyerang. ”Mereka selalu membawa parang,” sumber tadi menambahkan. Se-mentara sebelumnya tak ada saksi yang melapor, kini para saksi dari Indonesia berani melaporkan kasus ini.
Da’i secara tegas telah mewanti-wanti Kepala Polis Diraja Malaysia untuk memberi tahu langsung kedutaan bila ada warga Indonesia yang ditembak. Tidak seperti dalam kasus ini, yang telah berlalu hampir dua pekan setelah kejadian.
Sesungguhnya sudah banyak warga asing yang bekerja di sektor nonkantoran yang menjadi korban aksi main tembak polisi Malaysia itu. Pekerja asing biasanya membangun infrastruktur dan perkebunan negeri jiran tersebut. Bangladesh dan Filipina merupakan dua negara yang banyak memasok tenaga kerja asing, selain Indonesia.
Saat ini lebih dari dua juta warga Indonesia bekerja di Malaysia. Sebanyak 1,2 juta orang adalah pekerja legal. Umumnya mereka berada di sektor nonkantoran. ”Pokoknya yang berbau 3D: dirty, dangerous, dan difficult,” ujar sumber Tempo. Sektor itu antara lain konstruksi, perkebunan, dan pembantu rumah tangga.
Dari dua juta pekerja Indonesia, tentu ada yang berkelakuan tak baik. Belum lagi yang bermasalah dalam urusan legalitas, seperti izin tinggal dan bekerja. Sudah menjadi tugas polisi menjaga ketertiban, dan mereka boleh memakai pistol karena dilindungi Konvensi Havana. ”Tapi semua ada prosedurnya, bukan asal tembak,” ujar Da’i.
Yophiandi, Masrur (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo