Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#FF9900>Gustav Papanek:</font><br />Rupiah Kuat, Pengangguran Meningkat

10 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETERTARIKAN pada kon­disi ekonomi negara berkembang membawanya mengelilingi Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Buat Indonesia, Gustav Fritz Pa­panek bukanlah sosok asing. Dia telah melawat, meneliti, dan menulis persoalan ekonomi negeri ini sejak Orde Lama hingga sekarang.

Datang pertama kali ke Indonesia pada 1962, Papanek menjadi saksi jatuh-bangunnya ekonomi dan pemerintahan Indonesia. Dia melihat ekonomi Orde Lama yang hancur dan diperbaiki Orde Baru. Tapi dia juga melihat rezim Soeharto tumbang karena krisis ekonomi.

Kendati berasal dari Amerika, pandangan Papanek berbeda dengan tim ekonomi Orde Baru yang mengecap pendidikan di Berkeley. Setidaknya dua kali dia memper­ingatkan kelompok teknokrat itu untuk berhati-hati terhadap gelembung ekonomi dan impor yang terlalu besar. Riset dan pendapat yang kritis membuatnya sempat dipersona-non-gratakan pada 1988-1998.

Kini Papanek, yang tetap tekun mengamati ekonomi Indonesia, menemukan masalah yang menurut dia juga terjadi pada 1974 dan 1998—tahun terjadinya krisis politik besar. ”Sekitar dua setengah tahun lalu, saya menemukan masalah tersembunyi di sini: pengangguran.” Beberapa waktu lalu, Gus, panggilan akrab Papanek, menyampaikan pandangannya kepada Sapto Pra­dityo, Yophiandi, dan Puti Noviyanda dari Tempo.

Apa sisi positif dan negatif ekonomi Indonesia sekarang?

Semua orang senang dengan ke­suksesan makroekonomi Indo­ne­sia. Pertumbuhan ­meningkat, sementara di semua negara Asia Tenggara lainnya malah turun. Cadangan devisa meningkat, defisit kecil, penerimaan pajak dan ekspor meningkat. Pemerintah bekerja baik sekali, nilai tukar rupiah me­nguat. Yang terakhir ini dianggap semua orang sebagai hal bagus. Tapi tak ada yang mengantisipasi angka pengangguran yang meningkat. Ini sisi buruk dari kenaikan nilai tukar. Orang suka dengan berita baik. Padahal kenyataannya sejak krisis moneter 1997, dengan semua data ini, artinya 22 juta manusia Indonesia menjadi pencari kerja baru. Cuma 5,5 juta dari mereka yang mendapat pekerjaan yang betul-betul pekerjaan.

Angka itu mengkhawatirkan, ya?

Ya, karena 17 juta orang lainnya adalah tanda tanya. Sebanyak 3,5 juta dari mereka dianggap ke luar negeri oleh statistik. Mereka menjadi TKI, sebagian besar tak punya keahlian, menjadi pembantu. Dari 14 juta orang itu yang betul-betul penganggur adalah 4 juta. Sisanya saya pikir yang mereka kerjakan bukanlah pekerjaan.

Maksud Anda, mereka tergolong ­penganggur tertutup?

Sebagian dari mereka menjadi pe­tani penggarap. Padahal pekerjaan ini sudah tenggelam, karena lahan pertanian semakin sempit. Di Cina dan India, jumlah orang yang bekerja di pertanian sudah menurun. Sebelum krisis di Indonesia, pekerja di sektor ini juga semakin sedikit. Mereka miskin dan tak berpendidikan, jadi tak bisa punya pekerjaan bagus, tapi juga tak mungkin menganggur karena tak bisa mendapat makanan. Mereka mengeroyok sepetak tanah yang bukan milik mereka untuk ditanami. Perhatikan jumlahnya, dulu mereka bertiga untuk sepetak tanah, sekarang berempat. Mereka dibayar oleh pemilik tanah.

Ada contoh lain?

Ada yang menjadi pengemis atau tukang semir sepatu di perkotaan. Dulu, kalau kita lihat dalam satu wilayah kecil, ada tiga tukang semir, sekarang empat. Jumlah sepatu tetap, tapi pekerja semirnya bertambah. Ini membagi pendapatan namanya. Ini bukan pekerjaan, lebih mirip gotong-royong karena orang tak mungkin tak bekerja.

Ini yang disebut antropolog Clifford Geertz sebagai involusi dan membagi kemiskinan….

Ya, sama. Dulu mereka memang hanya bekerja di sektor pertanian, tapi sekarang mereka memiliki berbagai pilihan kerja sektor informal. Orang yang melihat statistik akan bilang, oh ya, mereka sudah dapat pekerjaan. Tapi prinsip pekerjaan tak ada di sana. Produktivitas sangat rendah atau malah nol, tak ada nilai tambah. Mereka cuma konsumsi, tak ada produksi yang sebenarnya. Mereka juga tak gembira, tapi tak bisa apa-apa.

Sektor industri Indonesia telah gagal?

Ya, terutama bila dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis moneter. Saat itu ada pertumbuhan 5,5 juta pekerjaan baru setiap tahun. Setelah itu, cuma 1 juta di sektor manufaktur saja.

Apa penyebab kegagalan itu?

Indonesia adalah negara dengan ekonomi berbiaya tinggi. Infrastruktur yang payah, itu baru satu yang membuat ekonomi biaya tinggi. Industrialis butuh sehari penuh untuk satu kali pengiriman dan kembali dari pabrik ke pelabuhan karena jalanan dan jembatan yang buruk. Mestinya, kalau jalan bagus dan pengiriman sesuai dengan kapasitas, paling tidak bisa empat kali bolak-balik. Belum lagi aliran listrik di pabrik sering mati, sehingga butuh diesel. Ini sangat tidak efisien. Ada pelajaran yang bagus dari Cina. Mereka menanam modalnya sangat banyak di bidang infrastruktur. Sekarang infrastruktur di Cina daratan sangat bagus. Setiap dua setengah tahun ada pelipatgandaan hasil ekspor mereka. Di Indonesia, tak cuma ekspor yang menderita, tapi juga produk manufaktur yang bersaing dengan produk asing.

Belum lagi kalau bicara korupsi....

Bukan cuma korupsi, juga kebijakan buruh yang berbiaya tinggi, dan iklim investasi yang payah. Ada satu cerita pada saat Wakil Presiden Jusuf Kalla ingin menaikkan nilai ekspor 20 persen per tahun. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menjawab, ”Pak, enggak bisa, karena banyak yang mesti dibenahi di luar wewenang saya: infrastruktur, korupsi, kebijakan perburuhan.” Kalla bilang, ”Jangan kasih saya alasan itu. Dari dulu juga begitu, tapi kita bisa meningkatkan ekspor 30 persen per tahun.” Mari menjawab lagi, ”Tapi dulu tak ada serikat pekerja, dan perlakuan terhadap buruh sangat tak manusiawi.”

Mengapa Anda menyebut kenaikan nilai tukar rupiah tidak bagus?

Selama ini orang menganggap rupiah yang menguat adalah tanda yang bagus. Tapi, mari bandingkan dengan 1980-an, saat industri Indonesia booming. Saat itu gaji buruh naik setiap tahun 4-5 persen. Tapi rupiah juga melemah 4-5 persen, sehingga gaji buruh masih dianggap murah untuk ukuran ekspor dan manufaktur yang bersaing dengan impor. Tapi sekarang? Rupiah menguat setiap waktu.

Bukankah nilai tukar rupiah stabil?

Tahun lalu 1 dolar Rp 11.500, sekarang Rp 9.000. Artinya menguat 25 persen dalam setahun ini. Konsekuensinya, harga buruh lebih mahal buat eksportir dan orang yang berkompetisi dengan impor. Kalau ekspor, pendapatan Anda dalam dolar, sementara pengeluaran untuk gaji, listrik, dan sebagainya dalam rupiah. Kalau rupiah menguat setiap waktu, artinya kan uang yang Anda terima semakin rendah nilainya. Semakin rupiah menguat, nilai kompetisi produksi Anda semakin rendah. Apa yang terjadi di Indonesia sekarang disebut Dutch disease. Saat Belanda menemukan gas alam, mereka mengekspornya besar-besaran sehingga nilai tukar mereka meningkat tajam.

Maksudnya?

Saat itu produk manufaktur dan pertanian Belanda tak lagi bisa berkompetisi di luar negeri. Jadi, mereka kaya karena gas, tapi jumlah penganggur­ membengkak. Pada saat gas habis, miskinlah mereka. Tapi kenapa rupiah menanjak terus nilainya? Karena ada aliran dana jangka pendek yang besarnya sekitar US$ 30 miliar per bulan. Para pelakunya terutama orang asing, tapi juga ada orang Indonesia, meminjam yen kepada bank di Jepang, dengan bunga 2 persen. Kemudian membeli saham BUMN atau surat utang dari pemerintah dengan rupiah, mendapat bunga sampai 9 persen. Artinya, mereka untung 7 persen dan tak ada risiko, karena ini duit pemerintah Indonesia. Dari sinilah kemudian mereka membayar utangnya dalam bentuk yen.

Dalam jangka panjang situasi ini bisa menjadi masalah besar?

Tidak, dalam jangka pendek seperti 1998. Ini tetap jadi masalah, karena lebih murah meminjam di luar daripada di Indonesia. Jadi, kalau mau ekspansi, mereka akan meminjam ke luar, pemerintah atau swasta. Tapi, kalau nanti rupiah terdepresiasi seperti 1998, masalah mungkin muncul.

Apakah situasi ini bisa memicu krisis politik baru?

Tidak sekarang karena pada bulan mendatang ada panen raya. Harga beras akan turun. Buat orang miskin, tidak soal berapa duit yang mereka punya, tapi berapa liter beras atau makanan lain yang bisa mereka beli. Oke, tahun ini selamat, tapi tahun depan? Setiap tahun akan semakin parah, karena ada dua juta angkatan kerja yang menganggur. Berulang terus, sementara tak ada lapangan pekerjaan baru. Di lain pihak, rupiah terus menguat dengan alasan tadi, sehingga eksportir tak mendapat nilai lebih setiap tahun. Ini sangat salah. Akhirnya pabrik akan tutup karena harga buruh dan opera­sional meningkat setiap tahunnya.

Bukankah ekonomi Indonesia lebih digerakkan oleh konsumsi domestik ketimbang ekspor?

Ini yang namanya fashion ekonomi, mirip fashion pakaian. Rok, ­misalnya, kadang pendek, kadang panjang. Pada suatu masa, pertumbuhan ekonomi terjadi karena konsumsi, masa yang lain karena ekspor. Indonesia mirip Cina, yang menumbuhkan kemampuan beli domestiknya. Tapi mereka juga mengembangkan ekspor untuk mengimbangi. Di Indonesia, kemampuan ekonomi tak dipakai untuk membeli produk Indonesia, tapi impor. Sehingga impor meningkat. Duit orang miskin bukan untuk membeli produk, tapi nasi. Artinya, ekspor padi lebih rendah, di lain pihak impor kedelai meningkat, karena orang Indonesia makan tempe.

Bukankah dengan cadangan devisa yang meningkat, gejala ini masih aman?

Tapi akan bertahan berapa lama? Cina punya cadangan devisa sampai US$ 2,5 triliun. Artinya, kalau konsumsi saja yang mereka lakukan tanpa ekspor, bisa bertahan sampai 20 tahun. Tapi kan mereka mengimbangi­nya dengan peningkatan ekspor. Indonesia bisa begitu? Bagaimana kalau duit US$ 30 miliar itu tiba-tiba ditanam di luar negeri, tak kembali ke Indonesia? Cina malah menargetkan pertumbuh­an sampai 8 persen, India 6 persen.

Di sini pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,5 persen....

Kenapa cuma segitu? Semestinya lebih. Dulu pertumbuhan ekonomi Indonesia tinggi, padahal cuma bergantung pada minyak. Sekarang ekonomi Indonesia lebih bervariasi, semestinya bisa lebih berkompetisi dengan negeri lain. Apalagi negeri lain sudah menyediakan market, misalnya Cina. Kenapa Cina bisa tumbuh sebelas, sepuluh persen, dan itu biasa buat mereka. Padahal Indonesia lebih punya sumber daya alam, dan kualitas sumber daya manusianya bagus. Semestinya target pemerintah 8 persen, itu lumrahnya.

Menurut Anda, elite Indonesia bisa mengubah perspektif ekonominya?

Saya tak ahli politik. Tapi mari lihat Cina. Dulu tingkat korupsi di Cina tergolong parah, sekarang mereka maju dengan menekan korupsi. Kota dekat tempat saya tinggal, Boston, dulunya korup. Tiga wali kotanya masuk penjara karena korupsi. Sekarang Indonesia sedang bersih-bersih, dan masyarakat Indonesia lebih dewasa ketimbang Amerika. Tandanya, sewaktu Susilo Bambang Yudhoyono dipilih pertama kali, Amerika malah memilih Bush untuk kedua kalinya (tersenyum).

Anda sudah membicarakan masalah ini dengan para ahli ekonomi Indonesia?

Saya sudah bicara dengan Chatib­ Basri, Raden Pardede, Mari Pangestu, Sri Mulyani. Saya juga bicara dengan bekas wakil presiden Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie. Saya katakan kepada Jusuf Kalla, ”Tolong, Pak, gandakan pe­ngeluaran buat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Ini akan menghasilkan pekerjaan buat 25 juta orang.”

Anda mestinya berbicara juga dengan Boediono. Dia ahli ekonomi….

Boediono memang ahli ekonomi, tapi soal mengubah cara pandang, apa dia punya power itu? Saya kira tidak… (tersenyum). Ada yang lebih punya power selain dia.

Anda sudah berbicara dengan Presiden Yudhoyono?

Saya belum sempat berbicara dengan­nya. Tapi yang lebih penting yang saya lakukan adalah mempengaruhi opini­ publik, termasuk media. Saya berbica­ra dengan yang mau mendengar. Sela­ma publik masih berpikir rupiah yang kuat tanda ekonomi kuat, akan sulit mengubah perspektif Indonesia.

Bagaimana pendapat Anda tentang bailout, seperti Bank Century?

Saya tak paham tentang kebijakan perbankan dan aturan main di Indonesia. Soal bailout membuat dua orang yang mestinya mengurus ekonomi jadi tak bisa berbuat banyak. Saya tak yakin mereka punya waktu dan energi untuk pusing soal Century ini. Jangan setiap kali ada kebijakan yang salah dianggap kriminal. Bila demikian, tak ada yang mau membuat kebijakan. Ini juga akar masalah infrastruktur yang payah di Indonesia. Tak ada yang mau membuat keputusan, takut salah, takut dituduh korupsi.

GUSTAV FRITZ PAPANEK

Tempat dan tanggal lahir: Wina, Austria, 12 Juli 1926

Karier:

  • Presiden Boston Institute for Developing Economics
  • Profesor Emeritus Bidang Keuangan di Universitas Boston
  • Presiden Lembaga Penelitian Harvard University Development Advisory Service, Peneliti untuk Bank Dunia.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus