Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARU lima hari 26 siswa dari Sekolah Toyama, Jepang, datang ke Christchurch untuk belajar bahasa Inggris. Siapa sangka mereka meregang nyawa di negeri orang. Selasa pekan lalu, gedung Canterbury Television (CTV), tempat mereka belajar bahasa Inggris bersama murid-murid lain dari Cina, Thailand, dan Singapura, ambruk digoyang gempa.
”Sampai saat ini saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya hanya merasakan kepedihan mendalam,” ujar Rolando Cabunilas, 34 tahun, pekerja tambang dari Filipina. Dia masih menunggu kabar tentang keberadaan istrinya, Ivy Jane, 33 tahun, salah satu peserta program bahasa yang terperangkap di CTV.
Sejak sebulan yang lalu, Institute of Geological and Nuclear Science (GNS) di Lower Hutt, Selandia Baru, sudah mencatat adanya pergerakan gempa. Sebelum gempa besar mengguncang Christchurch, GNS sudah sering mencatat adanya gempa berkekuatan 5,9 skala Richter di wilayah Taupo, bagian utara Selandia Baru.
Sayangnya, pemerintah Selandia Baru menganggap gempa di wilayah bagian utara itu tidak begitu besar, dan tidak mempersiapkan peringatan dini soal gempa. Akibatnya, Selasa pekan lalu, gempa berkekuatan 6,3 skala Richter telah memporak-porandakan wilayah Christchurch.
Malangnya, gempa terjadi tepat pukul 12 siang, saat warga sedang sibuk beraktivitas. Ribuan bangunan runtuh dan menimpa penduduk yang ada di dalamnya. GNS mencatat, hingga Jumat pekan lalu, masih terjadi gempa susulan berkekuatan 3,3 skala Richter, sebanyak 38 kali.
Hingga pekan lalu, sudah 98 orang ditemukan tewas di bawah runtuhan gedung. ”Kami yakin masih banyak korban yang terperangkap di bawah reruntuhan gedung, mungkin ada sekitar 300 orang,” kata Menteri Pertahanan Sipil John Carter, Kamis pekan lalu.
Dari jumlah itu, baru 76 jenazah yang dapat diketahui identitasnya. Banyak jenazah belum bisa diungkap identitasnya, karena kondisinya hancur. ”Ini operasi yang membutuhkan banyak sekali penyelamatan. Jika kami menemukan tubuh yang tidak lengkap, kami akan terus mencarinya,” ujar Kepala Kepolisian Daerah Christchurch Inspektur Dave Cliff.
Korban paling banyak terperangkap di gedung CTV; Holy Cross Chapel, dekat Chancery Lane; dan gedung CBD Christchurch. Kebanyakan yang terperangkap di CTV adalah warga negara asing yang sedang belajar bahasa. Kabar terakhir menyebutkan 21 siswa Cina yang berasal dari Provinsi Guangdong juga hilang di gedung ini.
Sementara itu, bangunan yang mengalami kerusakan paling parah adalah pelabuhan Lyttelton. Ini terjadi karena pelabuhan itu terletak sangat dekat dengan pusat gempa, yang berada di kedalaman 50 kilometer sebelah tenggara laut Selandia Baru.
Christchurch kini laksana kota mati. Sistem pengairan dan listrik lumpuh hingga 80 persen. ”Air tetap mengalir di sebagian wilayah, tapi kebanyakan sudah tercemar,” ujar seorang relawan gempa, Mayor Bob Parker. Akibatnya, pemerintah harus menyediakan 14 tangki air bersih setiap hari, yang digunakan warga untuk minum, mandi, dan mencuci.
Agen pemasok listrik terbesar Selandia Baru, Orion, menyatakan baru bisa memberikan 75 persen pasokan listrik ke Christchurch, itu pun tidak setiap hari. ”Akan memakan waktu berminggu-minggu untuk memperbesar pasokan listrik, apalagi ke daerah yang paling parah,” ujar Roger Sutton, Direktur Orion.
Menurut perhitungan lembaga auditor keuangan JP Morgan, kerugian yang diderita akibat gempa diperkirakan mencapai US$ 16 miliar atau Rp 150 triliun. Dari jumlah kerugian itu, paling banyak diderita oleh perusahaan asuransi, yaitu US$ 12 miliar.
Hingga pekan lalu, tim penyelamat masih memfokuskan pertolongan terhadap warga yang masih hidup. Demi menyelamatkan nyawa, tim penyelamat harus memotong kaki seorang pria berusia 52 tahun di teras gedung Pyne Gould Corporation dan membawanya ke rumah sakit terdekat di Waikato.
Para korban selamat diungsikan ke beberapa tempat, seperti Burnside High, Stadion Cowles, dan Stadion Pioneer. Di Hagley Park banyak sekali warga asing yang mengungsi. Kebanyakan dari mereka adalah turis yang tempat menginapnya hancur oleh gempa.
Setelah melihat keadaan di kantong-kantong pengungsian ini, Menteri Pembangunan Sosial Paula Bennett memutuskan menambah dan menyediakan tempat yang lebih baik bagi para korban di Christchurch. ”Terlebih melihat besarnya curah hujan ke depan yang tidak dapat diprediksi,” ujar Bennett saat mengunjungi The Hagley Park.
Cheta Nilawaty (AP, New Zealand Herald, NHK, Xinhua, earthquake.usgs.gov)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo