Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=2 color=navy>Korea Selatan</font><br />Rekor Sang Buldoser

Lee Myung-bak menjadi pengusaha pertama yang duduk di kursi Presiden Korea Selatan. Bertekad menjadikan negerinya terkaya ketujuh di dunia.

3 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KITA harus pindah dari era ideologi ke era pragmatisme,” ujar presiden baru Korea Selatan, Lee Myung-bak, dalam pidato pelantikannya, yang dihadiri 50 ribu orang, Senin pekan lalu. Di antara tamu penting yang hadir di plaza Dewan Perwakilan Rakyat itu ada Perdana Menteri Jepang Yasuo Fukuda dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice. ”Kita harus berubah lebih banyak, dan lebih cepat,” demikian kata politikus kelahiran Desa Hirano-ku, Osaka, Jepang, itu. Ayah Lee adalah imigran miskin Korea yang bekerja di sebuah peternakan kota itu sebelum Perang Dunia II.

Jika sudah menyangkut pragmatisme, tak seorang pun meragukan Lee, mantan Wali Kota Seoul (2002-2006) yang kini memimpin Partai Nasional Agung (GNP). Sebagai presiden ke-17 Negeri Ginseng, ia sudah lebih dulu menorehkan ”rekor” dengan menjadi pengusaha pertama di kursi yang biasanya diduduki kalangan militer atau aktivis hak asasi manusia itu.

Reputasinya di bidang usaha memang tak main-main. Sebagai mantan bos besar chaebol (konglomerasi) Hyundai, tempat ia berkiprah selama 27 tahun, Lee memiliki nama julukan yang dikenal seluruh negeri: sang Buldoser. ”Orang-orang menyebut saya sebagai arsitek keajaiban bisnis,” dia menulis dalam otobiografi There Is No Such Thing As Miracle Business. ”Tapi penafsiran saya berbeda. Dunia bisnis nyata berhadapan dengan pelbagai ancaman usaha. Modal sukses saya adalah keyakinan diri dan keberanian. Saya mampu mengubah tantangan menjadi peluang bisnis.”

Kekuatan sang Buldoser ternyata juga terlihat pada pemilu yang hasilnya diumumkan 19 Desember silam. Dengan telak dia meraup 49 persen suara, mengalahkan Chung Dong-young, calon Partai Demokrat Nasional Bersatu (UNDP), yang hanya mampu menyabet 26 persen suara. Adapun calon lain, Lee Hoi-chang, dibuatnya hanya mendapat 15 persen suara.

Perolehan suara Lee yang melebihi 20 persen suara dibanding pesaing terdekatnya adalah ”rekor kedua” karena merupakan sejarah tersendiri sejak Korea Selatan mengadakan pemilu independen yang bebas dari intervensi militer, dua dekade silam. Kemenangan Lee seolah sebuah hadiah karena bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-66, sekaligus hari ulang tahun perkawinannya yang ke-39.

Sisi pragmatisme Lee tecermin lewat rencana ekonomi yang disebutnya sebagai Program 747: 7 persen pertumbuhan ekonomi, 40 ribu dolar pendapatan per kepala, dan posisi nomor 7 sebagai negara terkaya di dunia, dari posisi sekarang di peringkat ke-11. Dia pun melontarkan perlunya ”pragmatisme hubungan antar-Korea”, yang ditujukan untuk Korea Utara. ”Jika negeri itu membatalkan program nuklirnya,” ujar Lee dalam pidato yang sama, ”kita akan membantu dengan menaikkan pendapatan per kepala mereka menjadi US$ 3.000 dalam 10 tahun,” katanya serius. Ini bukan program ringan karena artinya Lee mendongkrak tiga kali lipat pendapatan rakyat Korea Utara. Jika itu terjadi, peringkat Korea Utara sebagai negara terkaya ke-149 dunia juga akan melonjak tinggi, meski tetap terlalu jauh dengan Korea Selatan.

Jalan Lee menuju kursi presiden sesungguhnya tak selempeng yang terlihat. Ia berulang kali dijegal oleh Roh Moo-hyun, presiden yang digantikannya, dari UNDP. Saat diadakan polling awal September 2007 menjelang pemilihan, Lee dengan telak meraup 50 persen suara, lima kali lebih tinggi dari perolehan Roh, yang sebelumnya aktivis HAM populer. Roh lantas melakukan manuver politik dengan mengedepankan sebuah kasus penggorengan harga saham dan penggelapan pajak yang dilakukan mitra bisnis Lee pada 2001.

Setelah Lee lolos dari jebakan licin itu karena pengadilan Korea Selatan menyatakan dia tak terlibat, Roh memanfaatkan sisa dua bulan antara pengumuman pemilu dan pelantikan 25 Februari lalu untuk mengegolkan RUU pembentukan sebuah badan investigasi yang akan menyelidiki kembali keterlibatan Lee. Hebatnya, parlemen oke saja dengan ide Roh dengan perbandingan 160 suara setuju dan 139 menolak. ”Saya tidak takut dengan dibentuknya badan (investigasi) ini,” ujar Lee. Harapan Roh, jika ditemukan indikasi keterlibatan Lee, dia tak bisa dilantik sebagai presiden sehingga kursi penting itu bisa dibidik kembali oleh UNDP.

Tapi rupanya kekuatan badan investigasi pun tak sekokoh buldoser kelahiran Osaka ini, setelah Lee dengan mantap menyampaikan pidato pelantikannya Senin silam itu. Tak terhalangi.

Akmal Nasery Basral (The Chosun Ilbo, The Korea Times, BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus