Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lupakan gambaran narapidana berbaju werkpak biru sedang bekerja di bengkel atau mengetam kayu. Itu kuno. Sekarang bayangkan mereka dengan celana jins dan kemeja rapi sedang menyimak kuliah pakar untuk mengejar gelar sarjana hukum.
Ini lebih pas karena sesuai dengan kondisi yang dilihat Tempo di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, Jumat sore dua pekan lalu. Saat itu, beberapa napi ”seleb” yang kerap tampil di layar kaca berada di sana, seperti Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana kasus pembunuhan aktivis Munir, dan Eurico Guterres, mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi yang dihukum karena pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur.
Sejak pertengahan Desember lalu, pendidikan strata satu telah masuk Lembaga Pemasyarakatan Cipinang saat Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK) membuka kelas jauh di penjara terbesar di Tanah Air itu. Ide membuka tempat kuliah di hotel prodeo sebenarnya untuk memberikan kegiatan kepada narapidana yang berpendidikan tinggi, yang jumlahnya terus meningkat sejak digalakkannya pemberantasan korupsi. Kegiatan yang disiapkan di penjara, seperti kursus pertukangan atau paket belajar tingkat A, B, dan C, sudah tidak pas untuk mereka. Akibatnya, para narapidana elite ini pun mengalami kejenuhan luar biasa.
Salah satunya Rahardi Ramelan, mantan narapidana kasus korupsi Bulog. Pendiri yayasan Narapidana Indonesia itu lalu mencari bentuk kegiatan yang lebih tepat untuk teman-temannya di penjara. Bersama sesama mantan narapidana Mulyana W. Kusumah dan Sihol Manulang—pesakitan dalam kasus korupsi pengadaan kotak suara Komisi Pemilihan Umum—Rahardi mengajak UBK menggelar perkuliahan di Cipinang.
Gayung bersambut. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mendukung ide mereka. Ruang serbaguna di lantai 2 penjara Cipinang pun berubah menjadi tempat kuliah selama empat jam setiap Jumat dan Sabtu sore hingga malam. Satu semester bisa ditempuh dalam empat bulan, sehingga dalam waktu tiga setengah tahun, mahasiswa akan meraih gelar sarjana.
Untuk angkatan pertama, terdaftar 84 mahasiswa—36 di antaranya petugas penjara Cipinang dan 5 orang dari penjara Bekasi. Narapidana beken yang tercatat sebagai mahasiswa di kampus Cipinang antara lain terpidana kasus Bank Mandiri, E.C.W Neloe dan I Wayan Pugeg, mantan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Theo F. Toemion, bankir Dicky Iskandar Dinata, dan Ferry Surya Prakasa—terpidana pembunuh Alda.
Kuliah akhir pekan ini jelas pembunuh waktu yang ampuh. Apalagi suasana perkuliahan di kampus Cipinang cukup santai. Mahasiswa bisa menyimak uraian dosen sambil merokok, menenggak kopi, atau mengangkat kaki di atas kursi. Beberapa mahasiswa juga bisa meninggalkan ruang kelas untuk sekadar mengobrol di luar. Waktu jeda antarmata kuliah dimanfaatkan para mahasiswa untuk berbagi makanan. Mereka juga mengumpulkan uang kas untuk membeli kopi.
Namun banyak juga yang serius mengikuti kuliah, seperti Pollycarpus dan Eurico Guterres, yang duduk anteng Jumat pekan lalu. Pollycarpus tampak bertanya soal kenaikan harga kedelai dan daging impor kepada Drs Soenarto, MM, MBA, Pembantu Rektor II UBK, yang mengajarkan kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi. ”Semua ilmu pengetahuan saya suka,” kata mantan pilot Garuda ini.
Eurico bahkan hampir tidak pernah absen kuliah. ”Saya ingin mengetahui pasal-pasal yang dituduhkan kepada saya, apakah benar atau tidak. Setelah tahu, saya ingin memberikan kesadaran kepada keluarga dan lingkungan,” kata Eurico, yang dihukum 10 tahun penjara oleh Mahkamah Agung sejak 13 Maret 2006.
Untuk itu, Eurico telah membekali diri dengan berbagai diktat tentang ilmu hukum. Kerabatnya juga mendukung upayanya untuk menambah ilmu. Ia mengaku punya cukup banyak waktu untuk membaca diktat dan buku catatan. ”Mau ke mana lagi? Kan, saya di sini terus,” ujar Eurico, yang masuk kelas sambil menenteng ransel layaknya mahasiswa.
Beberapa mahasiswa lain mengaku ikut kuliah hanya untuk mengisi waktu luang, seperti dikatakan mantan Direktur Investasi PT Jamsostek Andy R. Alamsyah, yang masuk bui karena kasus korupsi. ”Daripada otak menganggur,” katanya kepada Iqbal Muhtarom dari Tempo.
Layaknya perkuliahan di kampus, peserta juga mengikuti ujian tengah semester dan akhir semester. ”Hasil ujian tengah semester memuaskan,” kata Soenarto, yang menjamin tidak ada rekayasa nilai. Menurut dia, mahasiswa di Cipinang berbeda dengan muridnya di kelas reguler. ”Mereka lebih interaktif dan suka diskusi, jadinya kami tidak hanya kuliah satu arah,” ujarnya.
Tentu kuliah ini tidak gratis. Agar bisa mengikuti kuliah, mahasiswa mengeluarkan Rp 1,75 juta untuk biaya pendaftaran. Biaya kuliah per bulan Rp 350 ribu. Pada saat registrasi, mereka merogoh kocek untuk formulir Rp 100 ribu. ”Ya, mana ada sekolah yang gratis,” kata Eurico. Uang sekian rupanya bukan masalah untuk para napi elite ini. Khusus untuk narapidana tak mampu, diberikan beasiswa yang berasal dari tahanan kaya atau sumbangan donatur.
Beberapa peserta, seperti Neloe dan Andy Alamsyah, ikut memberikan bantuan uang. Neloe membiayai tiga orang dan Alamsyah membantu dua orang. ”Kita subsidi silang. Organisasi mencari donor, tapi dana tidak diberikan penuh kepada penerima beasiswa,” kata Rahardi. Saat ini, dana beasiswa terkumpul sekitar Rp 165 juta. Selain untuk narapidana, beasiswa diberikan kepada petugas penjara.
Langkah baik penjara Cipinang ini kemudian diikuti Rumah Tahanan Salemba, Jakarta. Kuliah perdana diadakan pada Kamis pekan ini, yang diikuti 40 orang—15 di antaranya petugas rumah tahanan itu. Menurut Kepala Rumah Tahanan Salemba Bambang Sumardiono, kelas akan berlangsung pada pukul 13.00-16.00 setiap Jumat dan Sabtu.
Di Salemba, uang pendaftaran hanya Rp 1,5 juta karena ada subsidi dari UBK. Terpidana kasus narkotik, Efrajim, 42 tahun, termasuk yang beruntung menerima beasiswa. Lulusan universitas swasta di Jakarta ini bertekad lulus sebagai sarjana hukum meskipun akan bebas pada pertengahan Maret mendatang. ”Nanti saya pas keluar (penjara), pas UAS (ujian akhir semester),” kata Efrajim, yang akan melanjutkan kuliahnya di kampus reguler.
Kuliah di penjara seperti yang diadakan di Cipinang itu sebenarnya bukan yang pertama kali. Dua tahun lalu, di Nusakambangan juga digelar perkuliahan hukum. Namun, menurut Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Untung Sugiono, umur kuliah tidaklah panjang karena kurangnya peminat dan minimnya dosen.
Untung berharap program sekolah hukum di Jakarta akan terus berjalan. ”Kalau di Jakarta bisa berjalan, kami akan mendorong kota-kota besar lain, seperti Medan dan Bandung, untuk melakukan hal yang sama,” katanya.
Meski tujuan awal pembukaan fakultas hukum ini adalah memberikan kegiatan kepada tahanan intelek, pendidikan di penjara ternyata terbukti efektif untuk mencegah mantan narapidana melakukan kejahatan lagi. Menurut sebuah penelitian di Texas, Amerika Serikat, dari semua eks napi yang diberi pendidikan hingga setingkat diploma 3, yang kembali melanggar hanya 13,7 persen. Jumlah ini makin ciut seiring dengan naiknya pendidikan napi. Dari semua mantan napi yang mendapat pendidikan S-1, yang kembali melanggar hanya 5,6 persen, dan tidak ada napi yang kembali melakukan kejahatan setelah mereka mengikuti pendidikan S-2.
Dengan demikian, pemeo yang mengatakan penjara adalah tempat untuk meningkatkan kualitas kejahatan bisa berubah menjadi tempat untuk menaikkan kualitas manusia.
Martha Warta Silaban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo