GENCATAN senjata ke-5 di Libanon hanya sempat berlangsung 24
jam. Seluruh Beirut kemudian berderak dan terguncang-guncang
kembali oleh gelegar roket dan artileri. Bermula pada gempuran
Israel Selasa pekan silam yang segera dibalas PLO dengan
tembakan mortir dan Katyusha. Pertempuran mereda hari Rabu
selama 12 jam, manakala Israel melonggarkan blokade ke Beirut
Barat.
Tapi sejak Kamis tembak-menembak semakin seru, yang mencapai
puncaknya Ahad lalu. Di Beirut Barat 30 penduduk sipil tewas,
120 orang cedera. Sesudah duel artileri yang dahsyat, kamp-kamp
pengungsi Palestina di Bourj el-Brajneh dan Leilaki mengalami
rusak berat. Tidak diketahui berapa korban yang jatuh di pihak
tentara Israel ataupun gerilyawan PLO. Baru pada Senin awal
pekan ini diberlakukan gencatan-senjata ke-6 yang manfaatnya
kini justru menimbulkan tanda-tanya.
Jauh dari amuk dan kecamuk, di Kairo Menlu Kamal Hassan Ali
menyatakan PLO bersedia meninggalkan Beirut lewat laut, untuk
"menghindarkan kehancuran kota dan mencegah pertumpahan darah
lebih banyak." Pernyataan Menlu Mesir ini segera dibanuh Menlu
Prancis Claude Cheysson. "Belum ada rencana yang pasti," begitu
ucapnya, sedang sumber resmi Israel ataupun PLO masih berdiam
diri.
Upaya perundingan masih terus dilakukan oleh Philip Habib, Elias
Sarkis, Shafik Wazzan dan Fuad Batros. Tapi perundingan sering
kali lesu, dan menyusul lagi tembakan artileri Israel yang
menimbulkan kepulan asap tebal di sekitar Istana Baabda, tempat
perundingan berlangsung.
Sebegitu jauh ada 2 masalah pelik yang belum teratasi lewat
jalur diplomasi. Pertama, hal pemindahan seluruh gerilyawan PLO
ke luar Libanon. Kedua, mengenai pemanfaatan dan penempatan
tentara asing dalam tugas yang berkaitan dengan pemindahan
tersebut.
Butir pertama jadi semakin rumit karena berita tentang evakuasi
PLO semakin simpang-siur. Kabinet Israel diberitakan membalas 9
pokok rencana evakuasi dibawah pengawasan tentara AS, Prancis
dan tentara dari negara lain. Suriah pun sudah menyetujui bila
pasukan PLO mendarat di pelabuhannya, Latakia, sesudah mundur
dari Beirut. Pemindahan akan dilakukan dengan kapal berbendera
PBB. Dari Latakia, kemudian gerilyawan PLO menyebar ke beberapa
negara Arab. Tapi berita terakhir dari Suriah menyatakan, negara
itu menolak kehadiran PLO di wilayah mereka.
Pemerintah Suriah Hafes Assad rupanya bersedia menampung
segelintir pemimpin PLO saja. Sikap yang sama sudah ditegaskan
Mesir awal Juli ini, bahkan lebih terperinci: pintu terbuka
untuk anggota Al-Fatah, tapi tertutup untuk kelompok sayap kiri
PLO.
Butir kedua ialah kemungkinan penempatan pasukan AS dan asing
lainnya dalam rangka evakuasi PLO. AS sudah menawarkan armada
ke-6 dan pasukan marinirnya untuk itu. Menurut Radio Israel
1600 marinir AS akan menduduki pos-pos gerilya, sedangkan PM
Libanon Shafik Wazzan menggariskan kehadiran marinir AS tersebut
haruslah pada saat sebelum atau serentak dengan evakuasi. Jadi
berarti mereka tidak dibebani kegiatan pendudukan setempat di
wilayah Libanon, sesuatu yang dikhawatirkan bisa memancing
krisis baru. Sedangkan pihak lain berpendapat pendudukan
sementara perlu, agar marinir bisa mencegah bentrokan yang
mungkin timbul antara orang Libanon yang Muslim dan yang
Kristen. Ketidaksepakatan dalam soal penempatan itu saja sudah
menghambat perundingan yang semula diduga bisa berhasil lebih
cepat.
Menurut seorang pejabat staf Gedung Putih, Presiden Ronald
Reagan pada prinsipnya setuju pengiriman pasukan marinir AS --
jika diminta Pemerintah Libanon -- sebagai kesatuan penjaga
perdamaian. Tapi Reagan dikatakan amat tidak senang pada blokade
makanan yang kini dilakukan Israel atas Beirut Barat.
Jubir PLO Farouk Khaddoumi yang baru kembali dari Moskow dalam
keterangan persnya Sabtu lalu menyebut adanya 5 tahap dalam
pengunduran PLO. Yaitu dipertahankannya gencatan senjata, tugas
melarikan kelompok-kelompok bersenjata, penempatan pasukan
penjaga perdamaian, penarikan mundur tentara Israel 5-7 km ke
luar Beirut dan penarikan PLO dari Beirut. Khaddoumi menambahkan
PLO bermaksud keluar lewat jalan darat, menuju Suriah.
SEMENTARA itu Presiden Leonid Brezhnev memperingatkan Presiden
Reagan untuk tidak mengirimkan pasukannya ke Libanon dan supaya
jangan tergoda oleh kesempatan politis apa pun juga. Dari tempat
peristirahatannya di semenanjung Krim, Brezhnev menganjurkan
supaya AS dengan segenap daya mencegah invasi Israel. Pesan yang
dinilai samar-samar ini disampaikan kepada Reagan yang kebetulan
pula sedang beristirahat di California.
Dalam keadaan yang serba tidak pasti ini, Israel pekan silam
membuka pameran senjata PLO, hasil rampasan perang. Pelbagai
ukuran tank, amphibi, peluncur roket dan Kalashnikov
diperagakan, hampir semua buatan Uni Soviet. PLO yang tidak mau
ketinggalan memperagakan berbagai pecahan senjata yang ditemukan
di Libanon. Ini memperkuat tuduhan PLO bahwa Israel telah
menjatuhkan cluster bomb buatan AS yang daya pemusnahnya amat
tingi.
Dari AS diperoleh kabar bahwa bom semacam itu memang dijual pada
Israel hanya untuk pertahanan. Tapi bom yang dapat meledak
secara ganda itu telah menghancurkan pemukiman penduduk sipil
di Beirut Barat.
Apakah dengan tekanan-tekanan Israel itu, nasib Arab Palestina
sudah tergilas ke titik nadir? Dari stasiun radio Uni Soviet
dalam siaran berbahasa Arab sejak 15 Juni terdengar panggilan
putusasa, "Hai Arab di mana kamu?" Panggilan ini diulang kembali
oleh kantor berita Tass. Perang Libanon sudah berlangsung 5
pekan, tapi perkembangan nampak semakin menyulitkan bagi PLO.
Keadaan lebih memburuk karena sampai sekarang sekutu Arab tidak
melakukan sesuatu yang kongkrit untuk membantu Arafat dkk.
Mengapa? Kesalahan mungkin terletak pada PLO yang pada tahun '68
memproklamasikan diri mereka sebagai gerakan revolusioner. Ini
membangkitkan kecurigaan di kalangan negara Arab moderat, mulai
dari Arab Saudi, negara Teluk sampai Marokko. Al-Fatah, kelompok
terbesar dan paling moderat dalam tubuh PLO dengan Arafat
sebaai tokohnya, ternyata tidak mampu menggulung kelompok sayap
kiri yang ekstrim dan memang lebih cocok dijuluki teroris.
Partisipasi mereka banyak merugikan PLO dan perjuangan Arab
Palestina secara tidak langsung. Dengan cacat semacam itu, sulit
menjalin hubungan akrab, walaupun dengan negara seperti Suriah,
Yordania, Irak.
PLO menolak tunduk pada Suriah padahal suplai dan basis latihan
mereka ada di sana. Tahun 1970, Yordania bentrok dengan PLO.
Dalam peristiwa Black September yang terkenal itu, Raja Husein
menghajar mereka yang nyata-nyata berusaha menyerobot
wilayahnya. Irak sakit hati juga pada PLO karena kutukannya atas
perang Irak melawan Iran, padahal ini akibat tekanan Suriah yang
bersahabat dengan Iran. Dukungan PLO pada rezim Khomeini juga
memperlebar jarak PLO dengan Arab Saudi, Kuwait dan Negara
Teluk. Libya juga tidak akrab dengan PLO karena organisasi ini
juga tidak siap untuk menerima kepemimpinan Khadafi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini