Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

"hai arab, di mana kamu"

Evakuasi PLO semakin simpang siur. AS menawarkan armada ke-6 dan marinirnya untuk rencana evakuasi tersebut. uni soviet keberatan, sedang sekutu arab tidak melakukan sesuatu yang nyata untuk membantu PLO.(ln)

17 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GENCATAN senjata ke-5 di Libanon hanya sempat berlangsung 24 jam. Seluruh Beirut kemudian berderak dan terguncang-guncang kembali oleh gelegar roket dan artileri. Bermula pada gempuran Israel Selasa pekan silam yang segera dibalas PLO dengan tembakan mortir dan Katyusha. Pertempuran mereda hari Rabu selama 12 jam, manakala Israel melonggarkan blokade ke Beirut Barat. Tapi sejak Kamis tembak-menembak semakin seru, yang mencapai puncaknya Ahad lalu. Di Beirut Barat 30 penduduk sipil tewas, 120 orang cedera. Sesudah duel artileri yang dahsyat, kamp-kamp pengungsi Palestina di Bourj el-Brajneh dan Leilaki mengalami rusak berat. Tidak diketahui berapa korban yang jatuh di pihak tentara Israel ataupun gerilyawan PLO. Baru pada Senin awal pekan ini diberlakukan gencatan-senjata ke-6 yang manfaatnya kini justru menimbulkan tanda-tanya. Jauh dari amuk dan kecamuk, di Kairo Menlu Kamal Hassan Ali menyatakan PLO bersedia meninggalkan Beirut lewat laut, untuk "menghindarkan kehancuran kota dan mencegah pertumpahan darah lebih banyak." Pernyataan Menlu Mesir ini segera dibanuh Menlu Prancis Claude Cheysson. "Belum ada rencana yang pasti," begitu ucapnya, sedang sumber resmi Israel ataupun PLO masih berdiam diri. Upaya perundingan masih terus dilakukan oleh Philip Habib, Elias Sarkis, Shafik Wazzan dan Fuad Batros. Tapi perundingan sering kali lesu, dan menyusul lagi tembakan artileri Israel yang menimbulkan kepulan asap tebal di sekitar Istana Baabda, tempat perundingan berlangsung. Sebegitu jauh ada 2 masalah pelik yang belum teratasi lewat jalur diplomasi. Pertama, hal pemindahan seluruh gerilyawan PLO ke luar Libanon. Kedua, mengenai pemanfaatan dan penempatan tentara asing dalam tugas yang berkaitan dengan pemindahan tersebut. Butir pertama jadi semakin rumit karena berita tentang evakuasi PLO semakin simpang-siur. Kabinet Israel diberitakan membalas 9 pokok rencana evakuasi dibawah pengawasan tentara AS, Prancis dan tentara dari negara lain. Suriah pun sudah menyetujui bila pasukan PLO mendarat di pelabuhannya, Latakia, sesudah mundur dari Beirut. Pemindahan akan dilakukan dengan kapal berbendera PBB. Dari Latakia, kemudian gerilyawan PLO menyebar ke beberapa negara Arab. Tapi berita terakhir dari Suriah menyatakan, negara itu menolak kehadiran PLO di wilayah mereka. Pemerintah Suriah Hafes Assad rupanya bersedia menampung segelintir pemimpin PLO saja. Sikap yang sama sudah ditegaskan Mesir awal Juli ini, bahkan lebih terperinci: pintu terbuka untuk anggota Al-Fatah, tapi tertutup untuk kelompok sayap kiri PLO. Butir kedua ialah kemungkinan penempatan pasukan AS dan asing lainnya dalam rangka evakuasi PLO. AS sudah menawarkan armada ke-6 dan pasukan marinirnya untuk itu. Menurut Radio Israel 1600 marinir AS akan menduduki pos-pos gerilya, sedangkan PM Libanon Shafik Wazzan menggariskan kehadiran marinir AS tersebut haruslah pada saat sebelum atau serentak dengan evakuasi. Jadi berarti mereka tidak dibebani kegiatan pendudukan setempat di wilayah Libanon, sesuatu yang dikhawatirkan bisa memancing krisis baru. Sedangkan pihak lain berpendapat pendudukan sementara perlu, agar marinir bisa mencegah bentrokan yang mungkin timbul antara orang Libanon yang Muslim dan yang Kristen. Ketidaksepakatan dalam soal penempatan itu saja sudah menghambat perundingan yang semula diduga bisa berhasil lebih cepat. Menurut seorang pejabat staf Gedung Putih, Presiden Ronald Reagan pada prinsipnya setuju pengiriman pasukan marinir AS -- jika diminta Pemerintah Libanon -- sebagai kesatuan penjaga perdamaian. Tapi Reagan dikatakan amat tidak senang pada blokade makanan yang kini dilakukan Israel atas Beirut Barat. Jubir PLO Farouk Khaddoumi yang baru kembali dari Moskow dalam keterangan persnya Sabtu lalu menyebut adanya 5 tahap dalam pengunduran PLO. Yaitu dipertahankannya gencatan senjata, tugas melarikan kelompok-kelompok bersenjata, penempatan pasukan penjaga perdamaian, penarikan mundur tentara Israel 5-7 km ke luar Beirut dan penarikan PLO dari Beirut. Khaddoumi menambahkan PLO bermaksud keluar lewat jalan darat, menuju Suriah. SEMENTARA itu Presiden Leonid Brezhnev memperingatkan Presiden Reagan untuk tidak mengirimkan pasukannya ke Libanon dan supaya jangan tergoda oleh kesempatan politis apa pun juga. Dari tempat peristirahatannya di semenanjung Krim, Brezhnev menganjurkan supaya AS dengan segenap daya mencegah invasi Israel. Pesan yang dinilai samar-samar ini disampaikan kepada Reagan yang kebetulan pula sedang beristirahat di California. Dalam keadaan yang serba tidak pasti ini, Israel pekan silam membuka pameran senjata PLO, hasil rampasan perang. Pelbagai ukuran tank, amphibi, peluncur roket dan Kalashnikov diperagakan, hampir semua buatan Uni Soviet. PLO yang tidak mau ketinggalan memperagakan berbagai pecahan senjata yang ditemukan di Libanon. Ini memperkuat tuduhan PLO bahwa Israel telah menjatuhkan cluster bomb buatan AS yang daya pemusnahnya amat tingi. Dari AS diperoleh kabar bahwa bom semacam itu memang dijual pada Israel hanya untuk pertahanan. Tapi bom yang dapat meledak secara ganda itu telah menghancurkan pemukiman penduduk sipil di Beirut Barat. Apakah dengan tekanan-tekanan Israel itu, nasib Arab Palestina sudah tergilas ke titik nadir? Dari stasiun radio Uni Soviet dalam siaran berbahasa Arab sejak 15 Juni terdengar panggilan putusasa, "Hai Arab di mana kamu?" Panggilan ini diulang kembali oleh kantor berita Tass. Perang Libanon sudah berlangsung 5 pekan, tapi perkembangan nampak semakin menyulitkan bagi PLO. Keadaan lebih memburuk karena sampai sekarang sekutu Arab tidak melakukan sesuatu yang kongkrit untuk membantu Arafat dkk. Mengapa? Kesalahan mungkin terletak pada PLO yang pada tahun '68 memproklamasikan diri mereka sebagai gerakan revolusioner. Ini membangkitkan kecurigaan di kalangan negara Arab moderat, mulai dari Arab Saudi, negara Teluk sampai Marokko. Al-Fatah, kelompok terbesar dan paling moderat dalam tubuh PLO dengan Arafat sebaai tokohnya, ternyata tidak mampu menggulung kelompok sayap kiri yang ekstrim dan memang lebih cocok dijuluki teroris. Partisipasi mereka banyak merugikan PLO dan perjuangan Arab Palestina secara tidak langsung. Dengan cacat semacam itu, sulit menjalin hubungan akrab, walaupun dengan negara seperti Suriah, Yordania, Irak. PLO menolak tunduk pada Suriah padahal suplai dan basis latihan mereka ada di sana. Tahun 1970, Yordania bentrok dengan PLO. Dalam peristiwa Black September yang terkenal itu, Raja Husein menghajar mereka yang nyata-nyata berusaha menyerobot wilayahnya. Irak sakit hati juga pada PLO karena kutukannya atas perang Irak melawan Iran, padahal ini akibat tekanan Suriah yang bersahabat dengan Iran. Dukungan PLO pada rezim Khomeini juga memperlebar jarak PLO dengan Arab Saudi, Kuwait dan Negara Teluk. Libya juga tidak akrab dengan PLO karena organisasi ini juga tidak siap untuk menerima kepemimpinan Khadafi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus