Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga pekan lalu, Presiden Mahmud Abbas mengumumkan hukuman baru bagi warga Palestina yang menjual atau menyewakan properti kepada orang Yahudi Israel: penjara seumur hidup dengan kerja paksa. Gara-garanya, pemerintah Palestina di Ramallah kesal oleh kabar mengenai maraknya penjualan rumah di Silwan, kawasan yang bersisian dengan tembok Kota Tua, Yerusalem Timur. Penjualan ini menambah panjang daftar properti orang Palestina yang berpindah ke tangan orang Yahudi Israel, terutama dari kalangan ekstremis.
Pengumuman Abbas menemui "tandingan" sekitar sepekan kemudian. Kantor Perdana Menteri Israel mempublikasikan persetujuan baru bagi pembangunan 1.060 unit rumah di Yerusalem, di luar garis perbatasan sebelum 1967.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu malah khusus berpidato di Knesset (parlemen) mengenai "lampu hijau" bagi proyek baru Israel itu. "Orang Prancis membangun di Paris, orang Inggris membangun di London, orang Israel membangun di Yerusalem. Apakah kita harus melarang orang Yahudi tinggal di Yerusalem karena akan membuat suasana panas?" katanya Senin dua pekan lalu. Yerusalem Timur menjadi rebutan Palestina dan Israel untuk dijadikan ibu kota.
Keesokan harinya, Netanyahu menegaskan lagi pernyataannya: "Kita telah membangun di Yerusalem, kita sedang membangun di Yerusalem, dan kita akan meneruskan pembangunan di Yerusalem."
Dari 1.060 unit yang akan dibangun, 660 unit akan didirikan di Ramot Shlomo dan 400 unit di sebelah selatan, Har Homa. Sebelumnya, pada awal bulan ini, Israel juga mengumumkan rencana pembangunan 2.600 unit rumah di kawasan Givat Hamatos, di tanah pendudukan di pinggiran bagian selatan Yerusalem, dekat Bethlehem.
Anggota senior faksi Fatah, Jibril Rajoub, mengecam rencana itu. "Tindakan sepihak semacam itu bisa jadi menyebabkan sebuah ledakan," katanya. "Israelisasi Yerusalem Timur adalah tindakan paling provokatif bagi kami sebagai orang Palestina, sebagai muslim, sebagai nasrani, sebagai orang Arab." Fatah merupakan faksi terbesar di Organisasi Pembebasan Palestina.
Protes serupa datang dari Amerika Serikat. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika, Jen Psaki, menyatakan Israel tak menciptakan suasana kondusif untuk mencapai apa yang hendak mereka capai: perdamaian dan solusi dua negara. Uni Eropa pun tak diam.
Kekhawatiran itu bukan mengada-ada. Suasana Yerusalem Timur kembali memanas. Setelah seorang rabi ekstremis ditembak, yang berbuntut penembakan warga Palestina oleh polisi, kerusuhan sempat pecah. Pada Kamis dua pekan lalu, Masjid Al-Aqsa di kawasan Kota Tua ditutup. Meski kompleks masjid keesokan harinya dibuka lagi, lelaki dewasa Palestina di bawah umur 50 tahun tetap tak boleh masuk.
Sekitar setengah juta orang Israel kini hidup di tanah pendudukan. Area tanah yang dikuasai ini termasuk Yerusalem Timur seluas kira-kira 6 kilometer persegi, yang tadinya di bawah kekuasaan Yordania, dan 64 kilometer persegi di Tepi Barat.
Jarum jam menunjukkan pukul 2 pagi. Ahmed Qareen masih terjaga. Ia melihat rombongan orang Yahudi Israel dengan kawalan polisi memasuki rumah Hayat. "Tadinya saya pikir ada kaitan dengan hari libur Yahudi," kata warga Silwan ini, akhir September lalu.
Ia keliru. Rombongan itu langsung menempati rumah Hayat. Anak Hayat, Bushra, hanya bisa menyaksikan orang-orang asing telah meninggali rumahnya tanpa bisa mengambil barang-barang miliknya, bahkan popok adik bayinya. Saat kejadian, Bushra sedang menginap di rumah pamannya di bawah, sementara ayahnya juga sedang tak ada. "Kami memiliki dua apartemen di sini, satu disewakan oleh ayah saya, dan kami tinggal di rumah satunya," kata Bushra.
Menurut Hayat, orang-orang asing itu menyatakan sudah membeli rumahnya. "Tapi mereka tak mau menunjukkan dokumen pembelian rumah kepada kami," katanya.
Kini, menurut Ahmed Qareen, ada sekitar 70 keluarga pemukim Yahudi tinggal di daerahnya yang berpenduduk 55 ribu warga Palestina. Perlahan, komunitas Yahudi Israel membesar di Silwan, juga Yerusalem Timur. Bahkan juga di seluruh tanah pendudukan.
Permukiman di Silwan dianggap sebagai bendera penanda permukiman di Yerusalem Timur karena lokasinya yang hampir menyentuh tembok Kota Tua. "Penguasaan unit-unit perumahan di Silwan adalah bagian dari proyek politik Israel untuk meyahudikan kawasan," kata Ahmed al-Ruweidi, penasihat kantor Presiden Mahmud Abbas untuk urusan Yerusalem.
Israel melakukan berbagai cara untuk menguasai kawasan Yerusalem Timur. Yang mula-mula dilakukan adalah membangun permukiman. Kemudian melakukan pengambilalihan lewat individu atau lembaga nonpemerintah. Salah satunya adalah organisasi pemukim Yayasan Kota David, yang juga dikenal dengan nama Elad.
Ada dua cara mereka mendapatkan lahan di Yerusalem Timur, yakni dengan mencaplok ruang terbuka umum dan pengambilalihan rumah warga Arab Palestina. Ada yang dengan dibeli, meski kerap lewat perantara, yang membuat orang Palestina tak sadar dia menjualnya kepada orang Yahudi Israel. Ada pula yang menggunakan dalih karena ditinggalkan.
Warga Silwan lainnya, Zubair al-Rajabi, merupakan contoh orang yang tak sadar menjual rumahnya ke orang Yahudi Israel. Keluarganya sampai memasang iklan di media, yang menunjukkan surat jual-beli yang mencantumkan pembelinya bernama Arab. "Orang-orang menuduh kami tahu siapa pembelinya," katanya. Biasanya, orang yang ketahuan menjual properti kepada orang Yahudi Israel akan terancam oleh komunitas, bahkan pasukan keamanan Palestina.
Dengan alasan rumah ditinggalkan, Israel menggunakan dasar Absentee Property Law. Undang-undang yang terbit pada 1950 ini awalnya menjadi dasar bagi upaya Israel menguasai properti pengungsi Palestina. Menurut undang-undang ini, semua properti milik orang Palestina yang tinggal di luar negara yang baru saja dideklarasikan, Israel, menjadi milik negara. Aturan ini tak langsung digunakan saat perebutan Yerusalem Timur dalam Perang 1967. Tapi, sejak Likud berkuasa pada 1977, aturan ini kerap digunakan untuk menguasai rumah-rumah di Yerusalem Timur, terutama di kawasan muslim di Kota Tua dan Silwan.
Pemerintah Palestina pun melakukan berbagai upaya untuk mencegah lepasnya tanah dan bangunan milik orang Palestina. Penerapan aturan tambahan oleh pemerintah Mahmud Abbas termasuk di antaranya.
Sebenarnya selama ini sudah berlaku peraturan dengan sanksi yang keras. Misalnya undang-undang yang dikeluarkan pada 1979. Berdasarkan undang-undang ini, warga Palestina yang menjual atau menyewakan atau menjadi perantara penjualan atau penyewaan bangunan ke negara lawan bisa dijatuhi hukuman mati.
Di luar itu, Biro Fatwa Agung Palestina ikut terlibat dalam upaya pencegahan penjualan properti kepada Yahudi Israel. Di bawah mufti besar Yerusalem dan Wilayah Palestina, Syekh Muhammad Hussein, biro ini mengeluarkan fatwa berupa larangan penjualan tanah dan bangunan kepada orang Yahudi Israel. Siapa pun yang menjual rumah atau tanahnya kepada orang Israel dengan sukarela dicap sebagai pengkhianat Islam, pengkhianat Tuhan, dan pengkhianat bangsanya. Fatwa ini menyeru rakyat Palestina untuk mengisolasi dan memboikot orang-orang yang menjual tanah atau rumahnya.
Ancaman juga dikemukakan Dewan Revolusioner Fatah. "Para pengkhianat itu ditakdirkan menemui kematian dengan penghinaan," kata juru bicara Fatah, Usamah al-Qawasmi, kepada Wafa News.
Kalau sudah terjadi, dan ternyata ditemukan ada kecurangan dalam transaksi atau penipuan, pemerintah menyediakan pengacara untuk membantu. "Kadang berhasil," kata Khaldoun Barghouti, redaktur koran Al-Hayat al-Jadeeda dan pengamat politik Israel di Ramallah, kepada Tempo.
Selain itu, para pemimpin Palestina mendesak masyarakat internasional untuk membantu. Misalnya, setelah pengumuman Netanyahu, Palestina mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa segera turun tangan. "Israel, penjajah, harus diminta segera membatalkan dan menghentikan seluruh kegiatan pemukiman ilegal di seluruh wilayah pendudukan, termasuk Yerusalem Timur," kata Duta Besar Palestina untuk PBB, Riyad Mansyur.
Namun kebanyakan upaya itu tak membuahkan hasil memuaskan. Misalnya perihal seruan kepada Dewan Keamanan. Tak ada tindakan berarti setelah pertemuan 15 negara anggotanya.
Dalam prakteknya, ancaman hukuman berat pun tak gampang dilaksanakan. "Warga Palestina di Yerusalem tak bisa dihukum oleh pemerintah Palestina," kata Khaldoun Barghouti. Hukum yang berlaku di Yerusalem Timur adalah hukum Israel. Warga Palestina di sana adalah permanent resident Israel. "Jadi praktis pemerintah tidak bisa melakukan apa pun. Hanya mengecam dan menyeru dunia menekan Israel."
Purwani Diyah Prabandari (+972 Magazine, The Jerusalem Post, World Bulletin, The Maana News, Times of Israel)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo