Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir sebulan lamanya dokumen pengajuan izin badan usaha bandar udara oleh PT Angkasa Transportindo Selaras (ATS) berada di meja Bambang Tjahjono. Namun Direktur Bandar Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan ini belum juga menggoreskan pena untuk menyetujui permohonan anak usaha Lion Group itu.
Rupanya, Bambang masih menunggu putusan hukum yang pasti. Ia menuturkan, dokumen pengajuan izin diterima sekitar akhir September lalu—jeda sekitar dua bulan sejak dibacakannya putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor MA 688K/Pdt/2013 pada 16 Juli lalu.
Putusan kasasi itu memenangkan ATS dalam gugatannya atas Induk Koperasi TNI Angkatan Udara (Inkopau) dan Angkasa Pura II (AP II). Angkasa Transportindo dinyatakan berhak menjadi pengelola tunggal dan memanfaatkan aset negara berupa lahan seluas 21 hektare di Bandar Udara Halim Perdanakusuma.
Selaku badan usaha milik negara yang telah mengelola Halim selama 30 tahun, Angkasa Pura tidak bisa menerima putusan itu. Mereka tidak mau Halim lepas dari tangan pemerintah dan jatuh ke swasta begitu saja. "Kami masih punya upaya hukum lain untuk mempertahankan Halim," kata juru bicara Angkasa Pura II, Achmad Syahir.
Syahir berkukuh Angkasa Pura II memiliki posisi hukum yang lebih kuat untuk mengelola Halim. Sebab, Surat Persetujuan Bersama Kepala Staf TNI Angkatan Udara dengan Direktur Jenderal Perhubungan Udara yang diteken pada 1997 menyatakan Angkasa Pura II dapat menggunakan area tanah pangkalan TNI AU dengan evaluasi setiap lima tahun sekali tanpa diatur batas waktunya. "Tapi entah kenapa jadi ditafsirkan seperti kontrak yang bisa berakhir setiap lima tahun sekali."
Bambang Tjahjono menuturkan, pengelolaan Halim langsung didelegasikan Kementerian Perhubungan kepada Angkasa Pura II sejak 1997. Begitu diserahkan, perjanjian antara TNI AU dan AP II lebih bersifat bisnis. Kementerian Perhubungan pun tidak bisa campur tangan lagi.
Masalah mulai timbul pada 2002. Saat itu, TNI AU dan Angkasa Pura II gagal mencapai titik temu dalam evaluasi kontrak. "TNI AU meminta perbaruan dan peninjauan ulang beberapa ketentuan, tapi tidak bisa dipenuhi oleh Angkasa Pura II," ujar Bambang.
Kemudian, setahu Bambang, karena kesepakatan tak kunjung dicapai, akhirnya TNI AU meminta izin Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertahanan untuk menyerahkan konsesi pengelolaan Halim kepada pihak lain. "Hingga akhirnya pada 2005 ATS masuk ke Halim melalui Inkopau. Itu yang kami tahu," katanya.
Seorang mantan pejabat tinggi negara yang pernah terlibat langsung upaya penyelesaian sengketa perebutan Halim mengungkapkan ada campur tangan pejabat penting di balik masuknya anak usaha milik pengusaha Rusdi Kirana ini.
Ia menceritakan, sejak 2002, perundingan antara TNI dan Angkasa Pura II sebenarnya tidak pernah putus. Pertemuan diadakan beberapa kali oleh kedua belah pihak untuk memperbarui perjanjian. Namun, di tengah proses yang berjalan, tiba-tiba Lion Group masuk pada 2005 melalui Inkopau.
Setelah Inkopau menjalin kesepakatan dengan ATS, baru proses persetujuan diurus pada 2006. Pengajuan izin diajukan kepada Panglima TNI, Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perhubungan. Penasaran, akhirnya dia menyambangi Kementerian Perhubungan. "Mereka bilang kebijakan itu dari atas, Pak Djoko Suyanto waktu itu," ucapnya.
Saat itu, Djoko menjabat Panglima TNI. Sebelumnya, ia Kepala Staf TNI Angkatan Udara. Lepas dari jabatan Panglima TNI pun Djoko masih memiliki pengaruh karena diangkat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pada 2009. "Ya, sudahlah jelas masalah jadi panjang begini," tuturnya.
Inkopau, kata dia, digunakan oleh TNI sebagai celah untuk menyuburkan ladang bisnis mereka. Sebab, berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, tentara dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis. Maka mereka memanfaatkan Inkopau untuk bisa mendatangkan tambahan fulus melalui skema bagi hasil.
Dari pemanfaatan lahan di Halim, Angkasa Transportindo akan menerima 80 persen dan sisanya masuk ke Inkopau. Penerimaan tersebut masih di luar biaya sewa dan kompensasi yang beragam, dari mobil hingga rumah dinas yang wajib dipenuhi Lion Group kepada Inkopau selama perjanjian berlangsung, yaitu 25 tahun. "Lebih untung dibandingkan dengan AP II," ucap mantan pejabat tersebut.
Lion Group membantah jika disebut masuk ke Halim karena ada campur tangan Djoko Suyanto. Kuasa hukum Lion Group, Harris Arthur Hedar, menyatakan semua proses dijalankan sesuai dengan prosedur yang berlaku. "Tidak ada intervensi Panglima TNI atau apa pun. Kami masuk secara resmi dan sesuai dengan aturan," kata Harris.
Harris menuturkan, proses dilakukan sejak 2004. Saat itu, Inkopaulah yang mendekati dan menawarkan Lion Group untuk menyewa lahan di Halim Perdanakusuma. Hingga akhirnya, pada 10 Februari 2006, ATS menandatangani nota kesepahaman (MOU) dengan Inkopau.
Sejak MOU diteken, Lion Group sudah membayar segala macam kewajiban kepada Inkopau hingga senilai Rp 17 miliar. Pembayaran itu terdiri atas kontribusi tahunan, biaya sewa untuk negara, dan kompensasi lain sesuai dengan permintaan Inkopau. Tapi, hingga saat ini, Lion Group belum juga bisa mengelola Bandara Halim. "Kalau ada dukungan, semestinya kami sudah bisa kelola Halim. Ini kan tidak. Kami juga rugi di sini," ujar Harris.
Bantahan juga disampaikan oleh Djoko Suyanto. Ia menegaskan tidak ikut campur tangan dan tak memiliki peran apa pun soal masuknya Lion Group ke Halim Perdanakusuma melalui Inkopau pada 2006. "Tidak ada," jawabnya dalam pesan pendek kepada Tempo.
Selasa siang pertengahan Oktober lalu, Edward Sirait menjelaskan rencana pengembangan Bandara Halim. Di hadapan puluhan wartawan di Hotel Best Western, Cawang, Direktur Umum Lion Group itu mengungkapkan rencana investasi sebesar Rp 5 triliun jika Halim beralih ke tangan mereka. "Dananya seratus persen dari internal kami," ujarnya. Lion Group akan menggandeng PT Adhi Karya untuk membangun monorel dan taxiway buat mempermudah akses menuju bandara.
Angkasa Pura II, yang juga rival Lion, pun unjuk suara. Direktur Utama AP II Tri Sunoko mengingatkan Lion Group bahwa proses hukum belum berakhir. AP II masih memiliki upaya hukum, yakni pengajuan permohonan peninjauan kembali. Ia pun yakin Halim tidak akan diambil alih dari tangan mereka. "Dasar kami itu penugasan pemerintah. Kami berakhir jika aturannya dicabut," kata Tri.
Angkasa Pura II, Achmad Syahir menambahkan, juga telah menyuntikkan Rp 60 miliar untuk membuka Halim menjadi bandara komersial pada 2013. Tahun depan rencananya investasi dikucurkan lagi hingga Rp 103 miliar untuk meningkatkan fasilitas bandara. "Investasi itu memang terlihat kecil jika dibanding rencana Lion Group. Tapi itu justru angka yang wajar, karena lahan operasi memang tidak luas dan bukan milik kami," ujar Syahir.
Dia justru mempertanyakan rencana investasi Lion Group sebesar Rp 5 triliun untuk renovasi dan perluasan bandara hingga 100 ribu meter persegi. Sebab, putusan Mahkamah Agung hanya menyebutkan soal pengelolaan lahan seluas 21 hektare.
Pengamat badan usaha milik negara, Said Didu, juga menyampaikan masalah pengalihan Halim ke Lion bukan sekadar masalah pengelolaan dan pengembangan bandara kepada swasta, yang memang dibolehkan oleh Undang-Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009. "Ini bukan masalah monopoli atau memberikan kesempatan yang sama kepada swasta," ucapnya. "Ini soal pangkalan utama militer kita yang berisiko jatuh ke swasta."
Menurut Said, memberikan kesempatan yang sama kepada swasta untuk mengelola bandara bukan berarti melepaskan pangkalan militer utama. Lion, kata dia, dipersilakan mengelola atau membangun bandara di Indonesia selama di sana tidak ada aset dan kepentingan negara yang harus dilindungi. "Kalau mereka mau punya bandara, kenapa mesti Halim? Kenapa tidak membangun baru saja?"
Sejak Halim mulai beroperasi komersial pada awal tahun, lonjakan jumlah penumpang di sana menjadi potensi yang layak dipertimbangkan. Angkasa Pura II mencatat, sepanjang semester pertama 2014, Halim mampu memfasilitasi penerbangan untuk 533.027 penumpang. Jumlah ini naik dua kali lipat ketimbang realisasi sepanjang tahun lalu. "Diperkirakan hingga akhir tahun ini bisa satu juta penumpang dan lebih banyak lagi tahun depan," ujar Achmad Syahir.
Lonjakan jumlah penumpang terjadi sejak masuknya maskapai penerbangan Citilink ke Halim. Apabila Halim dikelola oleh Lion, nasib penerbangan swasta yang sudah masuk ataupun mulai melirik Halim untuk operasi komersialnya pun turut menjadi tanda tanya. Kuasa hukum Lion Group, Harris Arthur Hedar, menyatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan masuknya Angkasa Transportindo. Menurut Harris, dalam hal ini, ATS hanya menuntut haknya, yang lama tidak direalisasi, dipenuhi oleh Inkopau.
ATS, kata dia, juga paham bahwa Halim adalah lahan milik negara. Maka segala hal terkait dengan pengembangan bandara nantinya juga akan dilakukan dengan meminta izin regulator lebih dulu. "Kami juga bersedia duduk bersama TNI ataupun AP II untuk menyelesaikan dan mencari solusinya bersama."
Apabila izin ATS untuk mengelola Halim nanti turun, Lion Group juga tidak menutup pintu kerja sama dengan maskapai lain untuk beroperasi di Halim. "Tidak akan dilarang, kan sudah ada aturannya."
Pihak Citilink, sebagai satu-satunya maskapai swasta yang kini beroperasi di Halim, juga mengaku belum tahu langkah perusahaannya ke depan apabila Halim jatuh ke tangan Angkasa Transportindo. "Perlu pertimbangan. Yang pasti akan kami kedepankan aspek bisnis tanpa melupakan kepentingan negara dalam pertahanan," ucap juru bicara Citilink, Benny Siga Butarbutar.
Gustidha Budiartie, Faiz Nasrillah, Maria Yuniar, Angga Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo