Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

'Lapangan Tahrir' di Puerta del Sol

Rakyat Spanyol turun ke jalan memprotes pemerintah. Semangat revolusi Mesir menjadi inspirasi.

21 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seratusan orang bergerak dari kawasan kelas pekerja San Blas menuju lapangan Puerta del Sol di Kota Madrid, Sabtu dua pekan lalu. Di sepanjang perjalanan sejauh 7,2 kilometer itu, mereka tak henti-hentinya meneriakkan slogan, seperti ”Dari utara ke selatan, dari timur ke barat, perjuangan berlanjut berapa pun ongkosnya”.

Mereka terus berteriak ditingkahi dentuman gendang yang ditabuh sekelompok orang. Di bawah terik matahari awal musim panas, mereka perlahan berjalan sembari membentangkan plakat bertulisan ”Ini bukan krisis, ini kebohongan. Kami tidak akan membayar utangmu”.

Di sepanjang perjalanan, ribuan orang yang tinggal di sekitar rute ikut bergabung. Semakin mendekati lapangan di pusat Kota Madrid itu, jumlahnya membengkak menjadi lebih dari 35 ribu orang.

Setelah merambat sekitar empat jam, barisan dari timur ibu kota Spanyol itu bersatu dengan tiga kelompok lain di lapangan tersebut. Mereka mengawali unjuk rasa tiga hari memperingati setahun gerakan rakyat, yang tersebar luas di Spanyol.

Media lokal dan internasional ­menjuluki mereka, pendukung gerakan protes ­rakyat ini, Indignados, ”orang-orang yang ­marah”. Mereka membentuk gerakan sosial yang plural. Dalam aksi itu, mereka meluapkan kemarahan kepada pemerintah, para pemilik modal kuat, dan teknokrat yang mengendalikan Spanyol dan Uni Eropa.

Gerakan ini dipicu oleh kebijakan penghematan yang dinilai tak berpihak kepada rakyat. Seorang warga San Blas yang ikut berunjuk rasa, Israel, 30 tahun, mengatakan langkah penghematan itu membuat rakyat Spanyol makin sengsara.

Spanyol tenggelam dalam krisis ekonomi beberapa tahun terakhir. Kondisinya tak lebih baik daripada Yunani, Portugal, atau Irlandia. Krisis telah mengubur masa keemasan Spanyol pada 1990-2000-an, ketika angka pertumbuhan negara itu spektakuler.

Ditopang sektor pariwisata dan konstruksi, perekonomian Spanyol tumbuh sekitar empat persen per tahun. Tujuh juta lapangan kerja tercipta dan harga properti melonjak. Angka pengangguran turun drastis dari 24,1 persen pada 1994 menjadi 8,3 persen pada 2007.

Meski harga-harga melambung karena Spanyol bergabung dengan zona euro pada 2001, rakyat negeri itu menikmati kemakmuran. Spanyol masuk sebagai salah satu negara terkaya di dunia.

Namun fondasi ekonominya tak kukuh. Pada 2008, krisis keuangan dunia ikut menghantam Spanyol. Pemerintahan Partai Sosialis, yang dipimpin Perdana Menteri José Luis Rodríguez Zapatero, membuat kebijakan penghematan yang mengecewakan pemilihnya.

Krisis menghancurkan mayoritas rakyat Spanyol. Angka pengangguran melonjak drastis dalam empat tahun terakhir, menyentuh level 24,4 persen, separuhnya anak muda di bawah 25 tahun yang terdidik. Banyak dari mereka bergelar sarjana dan masih tinggal bersama orang tuanya.

Harga-harga terus meroket, sedangkan gaji mandek. Biaya hidup nyaris setara dengan biaya hidup di negara-negara maju Eropa. Padahal gaji rata-rata pekerja Spanyol hanya setengahnya dari negara-negara itu. Pasar bebas membuat penduduk kesulitan mendapatkan pekerjaan dengan gaji 1.000 euro per bulan. Dengan gaji buruh, mereka sulit mencari rumah layak di kota besar, seperti Madrid.

Krisis juga melanda bidang politik. Dengan manajemen yang amburadul, Partai Sosialis gagal memenangi pemilihan umum pada November 2011. Mereka kalah telak dari Partai Popular. Malangnya, dalam waktu kurang dari setahun berkuasa, partai sayap kanan ini mengambil kebijakan lebih keras ketimbang pendahulunya. Mereka memotong tunjangan kesehatan, pendidikan, dan layanan lain. Mereka juga memperbarui peraturan perbu­ruhan, yang mengizinkan majikan memecat pekerjanya hampir tanpa pesangon.

Setelah diktator Francisco Franco meninggal pada 1975 dan lahirnya demokrasi sesuai dengan konstitusi 1978, Spanyol hidup dalam periode kebebasan, yang bahkan tak pernah terlihat sejak era republik pada 1930.

Namun sebagian besar rakyat percaya masa transisi menuju demokrasi adalah urusan yang belum selesai. Banyak skandal korupsi melibatkan anggota dua partai terbesar, yakni Partai Sosialis, yang anti-Franco, dan Partai Popular, yang didanai menteri pada era Franco dan didirikan para ahli warisnya.

Banyak orang berpikir warisan kediktatoran masih bertahan dalam kehidupan politik Spanyol. Inilah yang memicu lahirnya gerakan Democracia Real Ya, demokrasi nyata sekarang juga.

Organisasi kecil ini menggalang ­unjuk rasa di seluruh negeri menggunakan ­Facebook dan jejaring sosial lain sejak 15 Mei 2011. Mereka menamai gerakan ini 15M; tanpa pemimpin, hierarki, atau program. Mereka terorganisasi di perkumpulan-perkumpulan yang populer di masyarakat, dan semua orang boleh ambil bagian.

Mereka turun ke jalan melawan penghematan. Massa membanjiri Puerta del Sol laksana unjuk rasa rakyat Mesir di Lapangan Tahrir, Kairo. Mereka mendirikan tenda-tenda di lapangan itu. Unjuk rasa berlangsung selama tiga pekan di beberapa kota di luar kendali Democracia Real Ya.

Para pengunjuk rasa itu datang dari berbagai latar belakang politik, sosial, dan demografi. Namun tujuan mereka sama, yakni menuntut pemerataan kesejahteraan, menyingkirkan hambatan-hambatan demokrasi, partisipasi lebih dalam politik, dan diakhirinya hegemoni dua partai besar. Bahkan banyak dari mereka berbicara tentang perlunya ”transisi kedua”.

Tahun lalu Indignados gagal menyepa­kati sasaran atau tuntutan bersama. ”Ini bukan revolusi yang dipimpin sebuah partai politik, yang ingin mengambil alih kekuasaan sekaligus mengubah tatanan masyarakat,” ujar Víctor Sampedro, profesor di Universitas Rey Juan Carlos di Madrid. Menurut dia, masyarakatlah yang ingin berubah sendiri.

Gerakan ini tetap hidup hingga kini meski menghilang dari ingar-bingar pemberitaan media massa. ”Faktanya, sampai sekarang perjuangan 15M lebih jelas ketimbang yang diperjuangkan para politikus,” kata Sampedro. Sebab, 15M berhasil membangun jaringan kekuatan publik yang memperbaiki kota dan membangun dialog.

Akibat krisis dan pengangguran, ribuan orang Spanyol tak mampu membayar hipotek rumah. Akibatnya, bank menyita rumah mereka. Malangnya, ketika harga rumah melambung, para pemilik rumah tetap harus membayar hipotek ke bank, bahkan setelah rumahnya disita.

Gerakan ini memberi bantuan hukum dengan bernegosiasi dengan bank dan mencegah pengusiran. Biasanya mereka berkumpul dalam jumlah besar di sekitar rumah untuk mencegah bank, hakim, dan polisi mengusir penghuni rumah.

Sejak 2007 hingga 2011, terjadi sekitar 300 ribu kasus pengusiran. Sejauh ini Mimbar untuk Warga Korban Hipotek (PAH)—nama gerakan itu—berhasil menghentikan 228 pengusiran di seluruh negara.

Indignados meminta pemerintah mengubah undang-undang, sehingga korban pengusiran tak berkewajiban membayar hipotek setelah kehilangan rumah. Sejauh ini pemerintah telah mengeluarkan rekomendasi tak mengikat agar bank mengikuti praktek itu.

Salah seorang yang aktif dalam gerakan PAH adalah Aida Quintana, perempuan asal Ekuador yang telah tinggal selama 12 tahun di Spanyol. Ia bergabung dengan perkumpulan San Blas. ”Orang Spanyol dan Ekuador telah dibujuk bank untuk meneken kredit yang hampir tidak mereka pahami,” ujar juru bicara PAH ini.

Dia mengatakan Presiden Ekuador Rafael Correa bergerak cepat mengantisipasi tekanan atas warganya di Spanyol. Pemerintah Ekuador membuat undang-undang yang mencegah bank-bank Spanyol di Ekuador mengambil alih properti warganya yang tak mampu membayar hipotek di Spanyol.

Gerakan ini juga bergerak di bidang lain, seperti mengorganisasi pusat kebudayaan, koperasi, dan seminar, bahkan menanam sayur-mayur di kebun-kebun di dalam kota. Mereka juga berdialog dengan partai politik, serikat buruh, dan organisasi lain. ”Aset dan nilai utama gerakan ini adalah mengumpulkan orang berlatar belakang berbeda untuk berdebat tentang isu-isu politik dan sosial,” kata anggota perkumpulan San Blas, José González, 56 tahun.

Dua pekan silam, mereka kembali ke titik awal untuk merenungkan masa depan gerakan ini. Mereka berdebat sengit soal tujuan gerakan ini. Namun tahun ini pemerintah tak mengizinkan mereka berkemah lagi di Puerta del Sol.

Carlos Sardiña Galache (Madrid)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus