Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Serangan Si Penumpang Gelap

Kelompok-kelompok jihad dari luar Suriah mulai masuk. Mereka berperang melawan Assad untuk mencapai kepentingannya.

21 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUBANG sedalam tiga meter masih menganga di pinggir jalan lingkar selatan Kota Al-Qazzaz, Suriah. Rongsokan mobil berserakan di sana-sini, dinding gedung sepuluh lantai milik intelijen Palestina rata dengan tanah, dan beberapa gedung di kanan-kirinya rusak berat.

Sabtu dua pekan lalu, dua bom bunuh diri seberat 1 ton yang diletakkan di mobil meledak pada waktu bersamaan di Kota Al-Qazzaz dan Damaskus, membuat 55 orang sipil tewas dan 372 luka-luka. Inilah serangan terbesar paling destruktif sejak awal pemberontakan antipemerintah Presiden Suriah Bashar al-Assad, 14 bulan lalu.

”Kekerasan semakin mengerikan,” kata Kepala Misi Pemantau Perserikatan Bangsa-Bangsa di Suriah, Mayor Jenderal Robert Mood, Sabtu dua pekan lalu, seraya melontarkan gagasan untuk melibatkan dunia internasional lebih luas. Assad, yang memandang kekerasan belakangan ini sebagai masalah dalam negeri, kontan menentang.

Bom bunuh diri yang direncanakan untuk memberangus konvoi pasukan Assad ini merupakan bagian dari rangkaian serangan bom yang menggerogoti gencatan senjata buah prakarsa PBB. Gencatan itu ditandatangani pemerintah dan oposisi Dewan Nasional Suriah pada 12 April lalu. Pemerintah membantah telah melanggar kesepakatan itu dan menuding ”orang ketiga” sebagai pelaku peledakan bom bunuh diri. ”Untuk memperkeruh suasana ketika keamanan dan stabilitas mulai berjalan,” kata Perdana Menteri Adel Safar.

Beberapa hari setelah kejadian, kelompok garis keras yang menamakan diri Jabhat al-Nusra li Ahl Ash-Sham menyatakan bertanggung jawab atas bom bunuh diri dua kota itu—juga beberapa serangan sebelumnya. ”Hentikan pembantaian Anda (Assad) terhadap orang-orang Sunni. Jika tidak, Anda akan menanggung dosa dari Alawit dan akan membahayakan Anda, insya Allah,” begitu bunyi suara anggota Al-Nusra dalam tayangan video yang diunggah di dunia maya. Suriah negeri dengan mayoritas penduduk Sunni tapi diperintah oleh minoritas Syiah Alawit.

Kelompok itu mulai beraksi pada awal tahun ini. Serangan pertama menargetkan militer di Idlib, tidak jauh dari perbatasan Turki, pada Januari lalu. Tak berbeda dengan Al-Qaidah, untuk menarik simpatisan muslim, mereka sering kali mendokumentasikan serangan. Gaya penyerbuan mereka juga mirip gaya Al-Qaidah. ”Semua ciri serangan Al-Qaidah ada. Saya menduga Al-Qaidah Irak mulai memperluas jaringannya ke Suriah,” kata James Clapper, Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat.

Al-Nusra tak sendiri. Brigade Al-Baraa Ibnu Malik juga membentuk batalion jihad yang siap melakukan serangan bunuh diri. Kelompok ini secara terbuka menunjukkan keterkaitan dengan Al-Qaidah melalui penggunaan bendera kelompok teroris itu, sambil menyatakan bahwa mereka juga bagian dari Tentara Pembebasan Suriah. Al-Baraa Ibnu Malik pernah berjihad saat konflik di Irak pada 2005 dan serangan di Yordania.

Sebuah laporan Long War Journal memaparkan Al-Qaidah telah masuk ke Suriah pada akhir 2008, melalui jalur di wilayah timur Suriah. Kelompok ini mulai membangun infrastruktur setelah pasukan keamanan Amerika Serikat memporak-porandakan kekuatannya di Irak. Al-Qaidah membangun markas di Kota Sukkariya, yang hanya berjarak lima kilometer dari perbatasan Irak. Pemimpin senior Al-Qaidah asal Pakistan, Syekh Issa al-Masri, masuk pada Juni 2009 untuk mendampingi Abu Khalaf, komandan senior Al-Qaidah di Suriah. Ia mendapat tugas mengelola jaringan di Suriah, bahkan mengatur keluar-masuknya pejuang asing, uang, dan senjata. ”Saat itu, jaringan di timur Suriah hanya melakukan teror di Irak,” kata pejabat intelijen Amerika Serikat.

Pejabat Irak membenarkan hijrahnya para pejuang—salah satunya Al-Qaidah—ke Suriah. Menteri Dalam Negeri Irak Adnan al-Asadi menuturkan telah mendapat laporan tentang keluarnya milisi garis keras Irak. Beberapa pemimpin kelompok Sunni di Irak telah mengisyaratkan dukungan mereka terhadap pemberontakan. Kelompok dengan mudah melintasi perbatasan yang bocor di antara kedua negara. Seorang syekh mengatakan ia telah mengirim lebih dari US$ 300 ribu atau setara dengan Rp 2,7 miliar dan ratusan pucuk senjata untuk membantu Sunni di Suriah.

Dalam tayangan video pada 11 Februari lalu, pemimpin Al-Qaidah, Ayman al-Zawahiri, mendukung pemberontakan melawan pemerintahan Assad. Zawahiri mengajak muslim di Turki, Irak, Yordania, dan Libanon bangkit berperang dengan uang, pendapat, informasi, dan apa saja. Menurut dia, Turki, Liga Arab, dan negara Barat tak bisa dipercaya memperbaiki masa depan Suriah. Meski memberi dukungan, Al-Qaidah memiliki tujuan yang menyimpang dari harapan pejuang Suriah. Berbeda dengan oposisi yang menjanjikan pemerintah sekuler dengan tetap memberi jaminan perlindungan untuk Alawit dan kaum minoritas, Kristen dan Kurdi, Al-Qaidah berencana mendirikan negara Islam, seperti yang diperjuangkan di Irak.

”Untuk mendirikan negara yang membela muslim dan membebaskan dataran Golan, menggelar spanduk kemenangan atas bukit-bukit, merebut Yerusalem,” ujar sang syekh.

Pernyataan ini memicu gelombang jihad ke Suriah. Bukan hanya milisi Irak, kelompok jihad juga masuk dari Libanon. Mereka adalah jihadis yang pernah terlibat dalam konflik di Irak dan Afganistan. Abdel-Ghani Jawhar, seorang milisi jihad asal Libanon, tewas di Kota Qusayr, Suriah, yang berjarak lima kilometer sebelah utara dari perbatasan. Penyebabnya, bom yang disiapkan untuk membunuh musuh meledak sebelum dipatik. Ia pernah meledakkan bom mematikan dengan sasaran tentara Libanon pada 2008. Al-Hayat, surat kabar Yordania berbasis di London, menyebutkan hijrah jihadis ke Suriah juga terjadi. Aparat keamanan Yordania telah menangkap Abdullah Qabbaa, ahli bahan peledak, bersama delapan jihadis ketika mencoba menyeberang ke perbatasan Suriah. Bahkan, belum lama ini, mujahid asal Yordania lainnya tewas dalam bentrokan dengan pasukan Suriah.

Mengingat adanya beberapa wilayah di perbatasan Suriah-Irak yang tak dijaga militer, sebenarnya orang luar Suriah bisa dengan mudah masuk. Lubang-lubang ini telah memicu masuknya persenjataan untuk kelompok pemberontak dari tanah Jazirah, bantuan dari Iran untuk militer Suriah dan pejuang dari Libanon. ”Banyak penyusup masuk dari timur, utara, dan selatan,” kata Kepala Bidang Penerangan, Sosial, dan Budaya Kedutaan Besar Republik Indonesia di Suriah, Iskandar Sukmadi, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Kelompok oposisi membantah memiliki hubungan dengan kelompok jihad. Oposisi menuding justru pemerintah yang berperan dalam serangan itu. Pemerintah memiliki kepentingan untuk mencegah pengunjuk rasa dan mengusir pemantau dari PBB. Kelompok tentara pembebasan Suriah menyatakan tak terlibat. Mereka berdalih tak mampu membuat bom dengan daya ledak sebesar itu. ”Bom itu bukan serangan pejuang oposisi,” kata Kepala Tentara Pembebasan Suriah Jenderal Mustafa al-Sheikh.

Oposisi mendesak peran internasional masuk ke Suriah. Dalihnya, kondisi rakyat semakin memprihatinkan. Harga bahan kebutuhan pokok melonjak hingga dua kali lipat. Sebagian besar penduduk tidak memiliki uang setelah adanya perang. Mereka pun terancam kekurangan makanan jika negara Barat dan Liga Arab memberlakukan embargo yang ketat.

Eko Ari Wibowo (CNN, BBC, Blog of Long War Journal, USA Today)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus