Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dan Ibnu Khaldun pun Tersenyum

Enam belas bulan setelah menjadi negara demokrasi, Tunisia menjadi tuan rumah Hari Kemerdekaan Pers Dunia. Pemerintah baru memang telah terpilih, tapi perubahan konstitusi masih dirancang. Kendaraan lapis baja pun masih berjaga-jaga di tengah kota, tapi kehidupan boleh dikata sudah kembali normal. Berikut ini laporan Bambang Harymurti, yang berkunjung ke negeri berpenduduk sebelas juta orang itu awal bulan lalu.

21 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Patung Ibnu Khaldun berdiri tegak di sebuah taman di tengah Kota Tunis. Sosok kebanggaan warga Tunisia ini seolah-olah tak peduli terhadap empat kendaraan lapis baja yang di parkir di dekatnya, di atas taman kecil yang dilingkari kawat berduri. Tapi bukan hanya pelopor ilmu sejarah ini yang cuek. Penduduk kota yang berlalu-lalang di jalan protokol Ave Habib Bourguiba itu pun ternyata sama sikapnya.

Cuma saya dan dua wartawan asing lain yang terpukau oleh pemandangan ini. Kami berhenti untuk mengambil gambar. Mungkin karena kami bertiga wartawan dari negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kombinasi patung Ibnu Khaldun dengan kendaraan militer dan kawat berduri di kawasan yang menjadi pusat revolusi penggulingan pemerintahan Zine el-Abidine Ben Ali, yang telah berkuasa selama 23 tahun, ini terasa amat menarik.

Bayangkan, Ibnu Khaldun antara lain dikenal sebagai pencetus teori jatuh-bangunnya sebuah rezim pemerintahan. Negara sekuler seperti Tunisia telah diramalkannya akan jatuh bila para pemimpin pemerintahannya terlalu lama berkuasa dan semakin menikmati hidup bermewah-mewah hingga harus membiayai gaya hidup mahalnya itu dengan mengambil hak rakyat. Ramalannya itu menjadi kenyataan 16 bulan lalu.

Pencetusnya adalah maraknya kemarahan yang telah mencapai ubun-ubun dan membuat Mohamed Bouazizi membakar diri di depan kantor kecamatan, 17 Desember 2010. Pemuda 26 tahun itu, yang telah bertahun-tahun menganggur, mencoba mengubah nasib dengan ber­jualan sayur di tepi jalan di kawasan turis Sidi Bouzid, sekitar setengah jam dari Tunis. Bukan untung yang diperoleh, gerobak jualannya malah disita petugas ketertiban kota. Upayanya memperoleh kembali barang miliknya itu ke kantor pemerintahan kota sia-sia, dan lelaki ini pun menyiramkan sebotol bensin ke tubuhnya, lalu membakar diri.

Aksi nekat ini segera tersebar melalui Internet di negeri yang memang sepertiga penduduknya mempunyai akses ke dunia cyber itu. Protes pun marak dan awalnya ditindak keras oleh petugas keamanan dengan gas air mata dan peluru tajam. Tapi kaum muda yang hampir sepertiganya penganggur itu malah tambah marah dan Presiden Zine el-Abidine Ben Ali pun terpaksa kabur ke Arab Saudi bersama keluarganya pada 14 Januari tahun lalu.

Keruntuhan rezim otoriter Tunisia ini pun memicu munculnya ”Revolusi Melati” di dunia Arab. Gerakan demokrasi marak di Mesir dan menjatuhkan rezim Mubarak. Suriah dan Bahrain pun terguncang walau pemerintahannya tak sampai jatuh seperti di Libya dan Yaman. ”Gerakan kami memang terinspirasi oleh teman-teman di Tunisia,” kata Tawakkol Karman, peraih Hadiah Nobel Perdamaian, yang berasal dari Yaman. Penahanan wartawati berusia 32 tahun inilah yang menjadi pencetus gerakan rakyat di negerinya hingga memaksa pemerintah membebaskannya setelah mengerangkengnya selama 36 jam.

Tawakkol Karman hadir di Tunis saat perayaan Hari Kemerdekaan Pers Dunia dirayakan di istana kepresidenan, 3 Mei lalu. Saat diminta memberi sambutan, wanita cantik itu memulainya dengan mengajak para peserta menyanyikan lagu kebangsaan Tunisia, Humat al-Hima (”Pembela Tanah Air”), karena lagu ini ternyata telah menjadi nyanyian wajib bagi semua aktivis demokrasi di Jazirah Arab.

Bait-bait nyanyian ini memang menggugah semangat. Dibuat seorang penyair Suriah kelahiran Mesir bernama Mostafa Saadeq al-Rafe'ie pada 1930, nyanyian ini memang bertema pembebasan. Coba simak bait akhirnya: ”Ketika rakyat merebut kedaulatannya, nasib pasti akan berubah, penindasan akan sirna, belenggu akan lepas”. ”Lagu ini selalu kami nyanyikan saat berunjuk rasa,” kata Tawakkol Karman, ”karena kemerdekaan rakyat memang harus kita pertahankan.”

Presiden Tunisia Moncef Marzouk langsung menyalami Tawakkol Karman di akhir sambutan. Mantan Presiden Komisi Hak Asasi Arab ini pun langsung menyatakan, ”Kalau harus memilih antara kemerdekaan yang kacau dan tirani yang terorganisasi, saya jelas memilih kemerdekaan.” Politikus yang pernah dipenjara ini agaknya terpengaruh oleh konsep Ibnu Khaldun yang menyatakan kejatuhan sebuah rezim yang mapan biasanya ­diikuti kekacauan, lalu akan muncul rezim baru yang akan menertibkannya, kemudian rezim itu berkuasa lama, menjadi suka kemewahan, lalu menindas rakyat untuk mempertahankan kenikmatannya, dan akhirnya akan dijatuhkan dalam kekacauan baru.

Kekacauan memang masih mendera Tunis semenjak runtuhnya rezim lama. Enam bulan setelah demokrasi bergulir, kantor berita BBC melansir sedikitnya 107 pemuda Tunis mencoba bunuh diri dengan meniru pola Mohamed Bouazizi. Sebagian meninggal dan sebagian lagi tertolong tapi cacat seumur hidup. Mohamed Bouazizi juga tak langsung wafat. Ia sempat dirawat dua minggu. Hampir semua didorong oleh rasa putus asa karena telah menganggur terlalu lama.

Tingginya angka pengangguran ini memang kasatmata. Di sepanjang Ave Habib Bourguiba yang indah dan penuh kafe di kedua sisi jalannya, ribuan anak muda terlihat di mana-mana. Sebagian duduk-duduk di tangga bangunan dan sebagian lagi menyeruput kopi di kafe-kafe di atas trotoar jalan. Pemandangan ini tak susut di hari kerja, ketika kebanyakan orang sedang masuk kantor atau menuntut ilmu. Kantor statistik pun mencatat sekitar 30 ribu penduduk beremigrasi ke luar Tunisia selama enam bulan setelah revolusi bergulir.

Revolusi memang telah memukul sektor pariwisata dengan telak. Negeri yang biasa menerima turis Eropa yang jumlahnya sampai 70 persen penduduk asli ini sekarang terlihat lengang. Ditambah lagi perekonomian Eropa pun sedang galau. Akibatnya, pemasukan yang berasal dari kiriman jutaan warga Tunisia di Eropa juga mengering.

Tapi itu bukan berarti tak ada harapan. Pemerintah Tunisia kini dibantu banyak negara dalam upaya menyita harta kekayaan Ben Ali dan keluarganya di mana-mana. Pemerintah Swiss, misalnya, telah membekukan rekening bernilai jutaan dolar dan menyita sebuah pesawat terbang mewah yang diduga milik keluarga Ben Ali. Lembaga Transparency International di Prancis memperkirakan nilai aset mantan penguasa Tunisia ini sekitar US$ 10 miliar.

Kemewahan gaya hidup keluarga Ben Ali memang mencolok mata. Ini sempat tergambar dari kawat rahasia seorang Duta Be­­sar Amerika Serikat yang dibocorkan WikiLeaks tahun lalu. Sang Duta Besar men­ce­ritakan pengalamannya diundang makan malam di rumah putri Ben Ali, yang menyediakan yogurt beku yang diterbangkan langsung dari Eropa, dan tentang seekor harimau peliharaan yang setiap hari harus diberi makan empat ekor ayam hidup.

Saya menyaksikan sisa-sisa kemewahan ini saat mengendarai taksi dari pusat kota ke hotel di wilayah wisata di La Marsa, di tepi pantai Laut Mediterania. Di sepanjang jalan, sopir taksi kami, yang mengaku bernama Abdul, sibuk menunjuk berbagai lokasi milik keluarga Ben Ali. Di sepanjang jalan selama hampir 45 menit itu, boleh dikata semua hotel dan properti mewah adalah milik keluarga penguasa. Ada yang khusus untuk berdisko dan ada juga yang dilengkapi pelabuhan mewah tempat kapal pesiar mereka bersandar.

Bahkan, saat tiba di Hotel Karthago Le Palace, baru kami tahu hotel mewah di tepi pantai yang menjadi acara konferensi ini pun hasil sitaan dari keluarga Ben Ali. Dan di sebelah hotel ini ada lagi bangunan yang mirip hotel mewah tapi tampak tak terurus. ”Itu istana Qadhafi, yang memang berteman baik dengan Ben Ali,” kata Abdul.

Ben Ali di Tunisia, Qadhafi di Libya, Mubarak di Mesir, dan Ali Abdullah Saleh di Yaman adalah sosok ironi. Mereka pemimpin negara Arab yang lupa pada ajaran Ibnu Khaldun. Bagaimana dengan pemimpin Arab yang lain? Barangkali ini saatnya membaca kembali Muqaddimah, karya akbar filsuf Tunisia itu, yang masih relevan 15 abad kemudian.

Saya pun menatap kembali patung Ibnu Khaldun dan memperhatikan bibirnya. Ternyata ia tersenyum.

Bambang Harymurti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus