Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Luka Lama yang Kembali Menganga

Malaysia, Indonesia, dan Filipina nyaris tercemplung ke dalam konflik baru. Pemulangan imigran ilegal dari Malaysia dan hukuman berat yang mengancamnya menjadi pemicu.

1 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA bekas luka dalam hubungan Indonesia-Malaysia yang masih terpatri dalam ingatan warga dari dua negara bertetangga ini. Hanya, tak ada yang menduga bahwa bekas luka yang sudah mengatup itu kini menganga kembali. Dan menjalarkan rasa sakit yang kian sulit diatasi. Coba saja, pekik "ganyang Malaysia" tiba-tiba membelah angkasa Jakarta, sekitar 35 tahun setelah "upacara perdamaian" merukunkan kembali hubungan Indonesia dan Malaysia. Guncangan yang tak kurang mengenyakkan juga terjadi di Filipina—tetangga Malaysia di utara. Tuntutan klaim atas Sabah kembali nyaring disuarakan di negeri sampaguita itu. Bahkan tuduhan ethnic cleansing juga diarahkan ke Malaysia oleh seorang senator Filipina. Kalau letupan emosional itu tak segera bisa diredam, Malaysia lama-lama bisa "terjepit" dan kerukunan ASEAN yang "sakral" itu sewaktu-waktu bisa buyar. Tak pelak lagi, pemicu kemarahan itu adalah Malaysia, yang memberlakukan Akta Imigrasi Nomor 115 Tahun 2002. Akta itu menetapkan bahwa semua tenaga kerja asing yang datang dan bekerja secara ilegal di negeri itu harus dihukum dan diusir setelah lebih dulu dikenai denda 10 ribu ringgit dan sabetan cambuk sebanyak enam kali. Pengusiran alias deportasi sebenarnya sudah merupakan hal yang biasa, tapi hukum cambuk itu memang luar biasa. Buruh migran gelap yang mencari sesuap nasi di Malaysia terdiri atas berbagai bangsa, tapi buruh Indonesia memang paling besar jumlahnya. Diperkirakan ada 600 ribu imigran ilegal dari Indonesia (TKI) yang mengadu nasib di tengah penduduk Malaysia yang jumlahnya hanya 22 juta jiwa itu. Nomor dua terbanyak adalah Filipina, sedangkan buruh asal India dan Pakistan, misalnya, tidak seberapa. Mereka juga diganjar hukum cambuk, tapi New Delhi dan Islamabad tidak bersuara lantang seperti Indonesia dan Filipina. Namun, syukurlah, sejauh ini yang terjadi barulah perang kata-kata. Pada mulanya adalah sang politisi terkemuka, Amien Rais, yang dalam sebuah pernyataannya telah dengan keras mengecam hukuman penjara dan cambuk rotan tersebut. Menurut Amien, hukum cambuk itu tidak manusiawi dan menghina bangsa Indonesia. Kemudian terjadi insiden penangkapan warga Malaysia di Medan. Pernyataan Amien dan insiden Medan langsung disambut Menteri Luar Negeri Malaysia Syed Hamid Albar dengan seruan agar warga Malaysia tidak bepergian ke Indonesia kecuali bila perlu benar. Selain menyesali Amien Rais, Syed Hamid Albar meminta Indonesia lebih keras berusaha agar mampu memberikan pekerjaan bagi warganya. Sindiran ini jelas sudah "kebablasan", tapi ada lagi "serangan balik" yang tak kurang keras dari Datuk Nur Jazlan, anggota Komite Eksekutif Pemuda UMNO. "Dia hanya mau jadi presiden," ujar Nur Jazlan, mengejek Amien Rais. Namun bukan tak ada yang sependapat dengan Amien perihal hukum cambuk itu, di antaranya pengacara mantan deputi perdana menteri Anwar Ibrahim, Pawancheek B. Marican. "Saya setuju dengan Amien Rais. Kami malu," ujar Marican bersimpati. Setelah insiden Medan, massa Laskar Merah Putih melakukan pembakaran bendera Jalur Gemilang di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Dan itu semakin memanaskan Kuala Lumpur. Namun suasana panas itu belum "membakar" pucuk pemerintahan kedua negara. Pokoknya, segala sesuatu masih sangat terkendali. Perdana Menteri Mahathir Mohamad kabarnya tidak akan mengajukan protes ke Indonesia. Presiden Megawati Sukarnoputri telah pula meminta agar semua pihak tenang dan tidak memperburuk masalah. Departemen Luar Negeri Indonesia juga tidak terbawa larut dalam konflik kata-kata tersebut. "Dari awal Departemen Luar Negeri tidak ingin memperbesar masalah ini. Kita ingin berkonsentrasi pada masalah intinya," ucap Marty Natalegawa, juru bicara Departemen Luar Negeri. Menyikapi nasib buruh dan hukum cambuk memang harus dingin dan bijak. Entakan berang dan marah-marah tidak akan memecahkan masalah. Yang juga patut dikecam adalah ketidakmampuan pemerintah Indonesia dalam menangani ratusan ribu warganya yang harus keluar dari Malaysia, di samping ratusan lainnya yang mendekam dalam penjara di seluruh Malaysia (lihat Cambuk dan Pulangkan Saja). Menurut Konsul Jenderal RI di Kinabalu, Muhammad Sukarna, setidaknya ada 80 ribu TKI ilegal berada di Sabah dan Sarawak. Lalu 25 ribu orang lagi masih tertahan di Nunukan, Kalimantan, dalam kondisi mengenaskan. Makanan tidak cukup, sarana kesehatan kurang, serta fasilitas mandi-cuci-kakus jauh dari memadai. Sementara itu, sudah 24 orang termasuk bayi meninggal di sana. Sedangkan LSM Kopbumi sampai Jumat pekan silam mencatat, tak kurang dari 50 orang yang meninggal dan tiap hari ada saja yang terserang depresi. Walaupun situasinya begitu buruk, menurut Irsyafly Rasoel, konsul di Kantor Penghubung Konsulat Jenderal RI di Kuching, setiap hari ada sekitar 50 orang yang kembali masuk ke Malaysia tanpa dokumen yang benar. Mereka masuk lewat jalan-jalan tikus. Tindakan ini jelas menimbulkan masalah baru, padahal pemulangan ratusan ribu orang saja belum tertangani dengan baik. Itu lain dengan buruh ilegal asal Filipina, yang ditangani secara sistematis oleh pemerintahnya. Manila bukannya memprotes soal hukum cambuk, tapi tidak bisa menerima perlakuan buruk dari pihak Malaysia atas warganya sebelum dideportasi. Manila naik berang, apalagi ada kabar tiga anak meninggal dalam perjalanan dari Sabah menuju Bongao, Tawi-Tawi, karena dehidrasi. Departemen Luar Negeri Filipina langsung memanggil Duta Besar Malaysia, Mohamad Taufik. Menanggapi protes ini, pemerintah Kuala Lumpur berjanji akan melakukan investigasi. Sementara itu, Presiden Gloria Macapagal-Arroyo memutuskan untuk mengunjungi Bongao, Tawi-Tawi, lokasi penampungan sementara warga Filipina yang dideportasi dari Malaysia. Gloria juga meminta mantan presiden Fidel Ramos merundingkan masalah imigran ilegal ini dengan Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Filipina memang cekatan dan efektif menangani masalah ini. "Kita tidak punya format yang baik seperti Filipina," ujar pengamat sosial Alfitra. Filipina telah lama memiliki Overseas Workers, badan yang khusus mengurusi warganya yang bekerja di berbagai negara. Sedangkan Indonesia, menurut seorang sumber di Departemen Luar Negeri, sedang merintis lembaga sejenis itu. Maret lalu, departemen ini membuka Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia. Merekalah yang akan mengurusi pekerja dan institusi Indonesia di negara lain. Purwani D. Prabandari, Y. Tomi Aryanto (TNR/Sarawak).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus