Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Cambuk dan Pulangkan Saja

1 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Proses pengadilan bagi imigran ilegal, selain jadi masalah bagi negeri asalnya seperti Indonesia atau Filipina, juga sangat merepotkan Malaysia. Sebagai tindak lanjut dari Akta Imigrasi No. 115 Tahun 2002, yang diberlakukan di negeri tetangga itu sejak Agustus lalu, ratusan pekerja gelap—orang Malaysia menyebutnya pendatang haram—harus dijebloskan ke penjara atau tempat penampungan sementara (TPS). Padahal penjara di sana juga padat dengan para terhukum alias narapidana. Menurut satu sumber di pemerintahan Malaysia yang dikutip oleh surat kabar Berita Harian, tak kurang dari 29 ribu tahanan memenuhi 22 penjara dan TPS di seluruh Malaysia. Padahal total daya tampung penjara itu maksimum 23 ribu orang. Bayangkan, betapa sesaknya penjara dan TPS karena masih harus menampung ratusan buruh migran gelap yang ditangkap dan menunggu deportasi ataupun harus menjalani proses pengadilan yang makan waktu tidak sebentar. Tingkat hunian penjara yang begitu tinggi tentu saja memprihatinkan para pejabat Malaysia. Deputi Menteri Dalam Negeri, Datuk Chor Chee Heung, meng-usulkan agar para imigran ilegal segera dihukum cambuk dan sesudah itu langsung dideportasi. Seperti diketahui, Akta Imigrasi baru itu menetapkan hukuman maksimal bagi imigran ilegal adalah penjara lima tahun, denda 10 ribu ringgit, dan cambukan rotan enam kali. "Menurut pendapat saya, tidak ada gunanya menahan mereka berlama-lama. Yang penting mencambuk mereka dan kemudian mendeportasi," ujar Datuk Chor. "Kami khawatir penjara yang ada tidak bisa menampung mereka," tuturnya kepada Berita Harian. Rasa cemas Datuk Chor itu bisa dipahami karena, jika hukuman lima tahun tetap harus dijalani, semua penjara di Malaysia akan dijejali penghuni sampai tahun 2007 yang akan datang. Bahwa pemberlakuan Akta No. 115 telah menyebabkan penjara Malaysia penuh sesak, itu tentu tidak diperhitungkan oleh pemerintah di negeri jiran tersebut. Selain itu, anggaran penjara juga melonjak sehingga jatah makanan bagi tahanan terpaksa dikurangi. Hal ini diungkapkan oleh Odjo Djobari, Wakil Konsul RI di Kinabalu. "Rata-rata diberikan kurang dari tiga kali," ujar Odjo. Para tahanan di Kinabalu ini ditangkap di hutan, perkebunan, atau di pabrik-pabrik. Mereka dijebloskan ke penjara sambil menunggu untuk dideportasi. Kendati statusnya bukan penjara, TPS juga berfungsi sebagai tempat penahanan TKI ilegal yang akan dideportasi atau akan diadili. Jika pasti akan diadili, mereka segera dipindahkan ke penjara. TPS sudah ada sejak dulu dan memang menjadi tempat penahanan para imigran gelap. Namun, menurut beberapa warga Indonesia di Kinabalu, banyak dari mereka yang ditahan di TPS bertahun-tahun. Mereka adalah imigran yang terlibat tindak kejahatan dan menunggu proses hukum. Bagi orang luar, khususnya warga asing, sulit mengetahui bagaimana kondisi sebenarnya di dalam penjara atau di TPS. Orang luar sulit masuk. Petugas dari kedutaan atau konsulat Indonesia juga tidak bisa datang begitu saja. Mereka harus lebih dulu mengantongi izin. Itu pun tidak bebas meninjau keadaan penjara. Tak mengherankan bila mereka tidak tahu pasti berapa jumlah orang Indonesia di semua penjara dan TPS di Malaysia. Selain tak mudah dikunjungi, TKI yang disekap dalam tahanan atau menunggu giliran untuk diadili harus menyadari bahwa belum tentu mereka mendapat bantuan penuh dari KBRI. Menurut Duta Besar Indonesia, Hadi A. Wayarabi Alhadar, kedutaan tak bisa melakukan banyak hal untuk membela warga Indonesia karena dana tidak cukup tersedia. Dalam penilaian Duta Besar Hadi, Rp 1 miliar dari pemerintah hanya cukup untuk menyewa pengacara selama dua bulan. Di Malaysia, tarif pengacara rata-rata 3.000 ringgit. Sejauh ini pihak kedutaan telah menyewa tiga pengacara di Kinabalu, tiga di Johor, dan empat di Kuala Lumpur. Mereka tampaknya akan bekerja keras karena harus membela begitu banyak TKI ilegal di pengadilan. Sampai pekan lalu ada 108 buruh migran ilegal yang menunggu proses pengadilan—sebagian besar warga Indonesia—dan dalam waktu dekat jumlah itu tentu masih akan bertambah. Purwani D. Prabandari dan Y. Tomi Aryanto (TNR/Serawak)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus