TEKANAN militer Israel tak berkurang, bahkan selama seminggu
barisan tanknya sudah leluasa melewati Jalan Museum ke Beirut
Barat. Aksi militernya mencapai puncaknya pekan lalu dalam
pengeboman udara paling ganas sejak 2 bulan berselang.
Serangan pagi itu menghancurkan paling sedikit 600 rumah di
kawasan Shatila dan pemukiman pengungsi Palestina Burj
al-Barajneh. Pihak PLO menyatakan pada hari (12 Agustus) itu
saja pesawat tempur Israel menjatuhkan 44.000 bom di atas
wilayah Beirut Barat. Kemudian PM Libanon Safik Wazzan
memprotes, tidak bersedia melanjutkan perundingan yang
berlangsung di bawah "pemerasan dan tekanan Israel."
Hari Kamis itu juga kabinet Israel di Tel Aviv bersidang, segera
setelah ada pesan telepon dari Ronald Reagan -- langsung dari
Ruang Oval Gedung Putih. Serangan udara itu "keterlaluan", kata
Presiden Amerika itu. Ia mengancam akan menghentikan misi
perdamaian Philip Habib.
Sesudah itu kabinet Israel memang memutuskan untuk menghentikan
serangan. Tapi sebuah pengumuman resmi Israel menyatakan
keputusan serupa sudah diambil sebelum pesan Reagan diterima.
Namun karena beberapa jam kemudian Israel dikabarkan masih
mengebom, Presiden Reagan terpaksa menelepon Begin kembali.
Sepuluh menit menjelang pukul 5 Kamis petang itu, Raja Fahd dri
Arab Saudi menyatakan keprihatinannya atas nasib Beirut Barat
pada Reagan. Tepat pukul 5, genjatan senjata yang ke-11
dinyatakan berlaku di Beirut Barat, mengakhiri pengeboman yang
berlangsung 11 jam terus-menerus. Begin memberitahukan Reagan 40
menit kemudian mengenai berlakunya gencatan senjata, dan
Presiden AS itu pun lega. Percakapan telepon itu konon diakhiri
dengan ucapan "Menachem, shalom" dari Reagan.
Akibat pengeboman terbesar itu, Polisi Libanon melaporkan 156
orang tewas, 417 lainnya luka-luka di kalangan sipil, sementara
2 prajurit Israel tewas, 41 lainnya cedera. Keesokan paginya (13
Agustus), penduduk yang malang keluar dari persembunyian mereka
hanya untuk menyaksikan kehancuran yang jauh lebih mengerikan
bila dibanding hari-hari sebelumnya. Pemandangan yang meluluhkan
ini dipertajam oleh kesepian mutlak, mungkin sekali karena semua
orang sudah kehabisan kata-kata. Tapi sekali-sekali masih
terdengar perintah Israel lewat pengeras suara, tentu ditujukan
pada semua gerilyawan PLO yang dalam tempo 18 jam wajib melapor.
Seorang juru bicara di Tel Aviv menyatakan PM Begin berharap PLO
sudah meninggalkan Beirut pekan ini. Semua gerilyawan PLO
diperkirakan akan berangkat ke Suriah lewat darat. Dari sana,
baru disebarkan ke negara Arab lainnya, termasuk Irak dan
Yordania. Dalam sebuah wawancara, PM Begin menyatakan pasukan
Suriah juga harus angkat kaki dari Libanon. Pihak Israel sudah
berulang kali mengancam bahwa pasukan mereka belum akan mundur,
kalau pasukan Suriah tidak mundur lebih dahulu.
Pokok soal yang masih mengganjal ialah jadwal kehadiran pasukan
multinasional (terutama dari Prancis, Italia dan Amerika).
Pasukan ini nanti dipersiapkan untuk mengambil-alih posisi PLO
di Beirut Barat. Tapi, menurut juru bicara PLO Jamil Hilal,
Israel cenderung memilih pasukan Libanon, bukan pasukan
multinasional, yang ditugaskan pada awal evakuasi.
Kabinet Israel (15 Agustus) mengajukan syarat baru bagi evakuasi
itu kepada Habib. Antara lain Israel mendesak untuk meneliti
daftar nama teroris (maksudnya gerilyawan PLO) yang akan
meninggalkan Beirut. Kehadiran pasukan multinasional dimintanya
supaya bertugas sesua dengan rencana yang disampaikan pada
semua pihak (artinya, jangan melindungi PLO secara terselubung).
Dan pasukan Suriah di Beirut dan wilayah lain di Libanon
ditegaskannya lagi supaya berangkat bersama PLO.
Kemungkinan Prancis turut serta dalam pasukan multinasional
sebelumnya ditolak oleh Israel. Sesudah terjadi ledakan yang
menewaskan 5 orang Yahudi di Paris awal bulan ini, PM Begin
bukan saja marah besar pada PLO tapi juga serta-merta tidak
mempercayai Presiden Mitterand.
Israel mengotot untuk mendapatkan daftar nama gerilyawan PLO
karena 2.500 gerilyawan -- ini disetujuinya -- akan ditinggalkan
di Beirut tapi mereka dicurigainya kelak melakukan gerakan bawah
tanah. Tapi Israel bersedia menarik mundur pasukannya dari jalan
raya Beirut-Damaskus, agar PLO bisa lewat --diperkirakan dimulai
20 atau 21 Agustus, meski sampai berita ini dicetak belum ada
kesepakatan tentang jadwal kehadiran pasukan multinasional di
Beirut.
PLO sebelumnya menolak usul Israel supaya pasukan multinasional
baru boleh tiba setelah pasukan PLO berangkat. Diduga akan ada
jalan tengah untuk ini, yaitu keberangkatan PLO akan dilepas
oleh pasukan Libanon bersama pasukan multinasional.
Selama Israel melancarkan penghancuran bertahap terhadap Beirut
Barat di Tel Aviv terjadi pula aksi protes bertahap. Sekitar
2.000 orang antiperang (7 Agustus) menghimbau Begin, misalnya,
agar menarik pasukan Israel dari Libanon. Spanduk mereka
bertuliskan, Segera Berunding dengan PLO dan Israel-Palestina:
Dua Negara Untuk Dua Bangsa. Dalam aksi protes terpisah beberapa
kelompok, yang menyebut dirinya Warganegara Menentang Perang,
mulai berpuasa seraya memilih lokasi di seberang kantor PM Begin
di Yerusalem.
Sementara itu Ariel Sharon dicabut wewenangnya khusus yang
menyangkut serangan udara atas Beirut. Menhan Israel itu
bersikeras bahwa serangan itu ditujukan untuk melumpuhkan PLO.
Tapi sesudah telepon Reagan, Sharon sama sekali tidak mendapat
dukungan dalam kabinet.
Walaupun kritik tajam ditujukan padanya, Sharon tanpa segan
bersuara bahwa ia tidak akan mengundurkan diri darikabinet.
Sebaliknya PM Begin yang berulang tahun ke-69 (16 Agustus)
dikabarkan berniat meninggalkan kursi perdana menteri dalam
tempo 2 tahun mendatang. Koran Yedioth Ahronoth memberitakan
bahwa Begin sudah berjanji pada istrinya Aliza untuk "melewatkan
lebih banyak waktu bersamanya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini