Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Pencurian</font><br />Pencuri Listrik Itu Bebas

Mahkamah Agung membebaskan penghuni Apartemen ITC Roxy Mas dari tuduhan mencuri listrik. Salah satu landasan hakim adalah Undang-Undang Rumah Susun.

28 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR melegakan itu diterima Aguswandi Tanjung, Jumat dua pekan lalu. Laki-laki 52 tahun ini dinyatakan bebas dari segala dakwaan jaksa yang menyatakan ia mencuri listrik di apartemennya, ITC Roxy Mas, Cideng, Jakarta Pusat.

Putusan bebas itu diketuk tiga hakim agung dalam sidang kasasi pada 26 April lalu. Hakim Atja Sondjaja, I Made Tara, dan Soltoni Mohdally secara bulat menyatakan yang dilakukan Aguswandi mengalirkan setrum dari stop kontak di lorong 7 apartemennya bukan tindakan kriminal.

"Listrik tersebut merupakan milik perusahaan yang menjadi hak bersama penghuni apartemen karena terdakwa telah membayar listrik di unit yang ditempatinya setiap bulan," demikian petikan putusan tersebut.

Turunnya putusan ini otomatis membatalkan putusan dua pengadilan sebelumnya, yang memvonis laki-laki asal Payakumbuh, Sumatera Selatan, itu enam bulan tahanan dengan masa percobaan setahun. "Di tengah kabar buruk reputasi hakim, ternyata masih ada yang berpihak pada keadilan," kata pengusaha warung telekomunikasi ini.

Pada 8 September 2009, Aguswandi ditangkap polisi di apartemennya, ITC Roxy Mas lantai 7 Nomor 08. Saat itu tiga polisi dari sektor Gambir berpakaian sipil dan dua anggota satpam apartemen mengetuk pintu kamarnya malam-malam. Mereka membawa surat penangkapan dengan beberapa foto yang menunjukkan Aguswandi tengah membentangkan kabel sepanjang 15 meter dari stop kontak di selasar lantai tujuh ke kamarnya.

Aguswandi dilaporkan PT Jakarta Sinar Intertrade, pengelola Roxy Mas, mencuri setrum. PT Jakarta Sinar adalah anak usaha PT Duta Pertiwi, yang membangun apartemen itu. PT Duta pada Mei 2009 pernah juga melaporkan Khoe Seng Seng, pembeli toko di ITC Mangga Dua, yang menulis surat pembaca mempertanyakan status tanah tokonya.

Malam itu juga Aguswandi diperiksa dan masuk bui Polsek Gambir. Selama 52 hari dia mendekam di tahanan itu sampai mendapat pengacara dari kantor O.C. Kaligis.

Menurut Aguswandi, dua hari sebelum ditangkap, ia memang menyambungkan setrum dari steker selasar ke kamarnya. Itu dilakukan lantaran sudah dua pekan apartemennya seluas 84 meter persegi gelap karena PT Jakarta Sinar memutus aliran listriknya. "Kami putus karena tiga kali somasi kami tak ia indahkan," kata Hartanto, Manajer Properti PT Jakarta Sinar.

Somasi itu dilayangkan karena Aguswandi tak membayar biaya perawatan gedung sejak Juli 2006. Akumulasi biaya itu mencapai Rp 40 juta. Agus beralasan ogah membayar karena ada kenaikan biaya perawatan yang tak dirundingkan dengan 120 penghuni apartemen.

Pada Januari 2006, PT Jakarta Sinar mengusulkan kepada Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Roxy Mas untuk menaikkan tarif biaya perawatan apartemen dari Rp 7.000 menjadi Rp 8.200 per meter persegi setiap bulan. Sedangkan untuk toko naik dari Rp 41.500 menjadi Rp 55.000 per meter persegi per bulan. Aguswandi punya dua toko di lantai III dan IV seluas masing-masing 16 meter persegi.

Menurut Hartanto, Perhimpunan Penghuni Rumah Susun telah menerima usul itu dan memberlakukan tarif baru. "Pak Aguswandi juga sudah membayar dengan tarif baru, tapi hanya sampai Juni 2006," katanya. Aguswandi beralasan, ia sedang mempertanyakan cara penghitungan dan alasan-alasan kenaikan. "Kami sudah menjelaskan, alasannya ada inflasi, kenaikan upah pegawai, dan beberapa hal lain yang membuat tarif lama tak memadai," kata Hartanto.

Ada 14 orang penghuni di belakang Aguswandi. Tapi satu per satu menyerah setelah bernegosiasi dengan pengelola. Tinggal Aguswandi yang pantang mundur. Ia berkukuh tak mau membayar biaya perawatan karena merasa perhitungannya tak jelas.

Sikap kerasnya itu dijawab PT Jakarta dengan memutus aliran listrik di dua tokonya pada 23 Oktober 2008. "Apa hubungannya listrik dengan biaya servis?" Aguswandi meradang. "Tiap bulan saya bayar listrik dan air. Itu beda urusan dengan biaya perawatan gedung." Tapi protesnya tak digubris.

Ia mencoba bertahan dengan meminta setrum ke toko sebelah. Tapi tak lama. Sebulan kemudian kios warung telekomunikasi di lantai III ia tutup. Tinggal satu toko di lantai 4 yang menjual jasa pengiriman barang, bekerja sama dengan JNE.

Setahun kemudian giliran listrik di apartemennya diputus. Dua pekan Aguswandi bersama istrinya, Heni Ancilla, bertahan tidur dalam gelap. Ia sengaja pulang ke kamar malam hari dan lebih lama bertahan di toko.

Pada 5 Agustus 2009, Jakarta dikejutkan oleh gempa 5,8 pada skala Richter, yang pusatnya ada di Tasikmalaya, Jawa Barat. Semua penghuni apartemen di gedung-gedung penggaruk langit panik, termasuk Aguswandi. Gempa kecil yang susul-menyusul masih terasa di lantai tujuh apartemennya. "Saya makin panik karena di kamar gelap, tak tahu perkembangan berita, dan sewaktu-waktu ada pengumuman evakuasi," katanya.

Ide mengambil setrum dari stop kontak selasar apartemen pun muncul. Ia sambungkan kabel dengan stop kontak empat lubang itu ke kamarnya. Selain untuk menyalakan lampu, setrum itu ia pakai untuk menyalakan televisi untuk menonton berita dan mengisi baterai telepon seluler. Menurut dia, satpam apartemen yang berkeliling memeriksa selasar tiap dua jam tahu apa yang dilakukannya. "Tapi mereka tak menegur," katanya.

Aguswandi menduga tak ada teguran karena pengelola apartemen belum punya bukti untuk menjeratnya. Sebab, esoknya muncul kamera pengawas di atas pintu kamarnya. Kamera itulah yang merekam apa yang dilakukannya dan foto-fotonya dijadikan alat bukti laporan ke polisi. Aguswandi pun digelandang dengan tuduhan mencuri listrik.

Lewat pengacaranya, Aguswandi memprotes penangkapan itu dengan mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi hakim menolak gugatannya dan menilai tindakan polisi Gambir sah karena penangkapan dilengkapi surat tugas.

Aguswandi kian merana karena dalam peradilan kasusnya, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga setuju dengan dakwaan jaksa yang menjeratnya dengan Pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pencurian dengan pemberatan. Di tingkat banding, putusan itu juga dikuatkan. Maka ia pun mengajukan upaya hukum kasasi.

Setahun menunggu, sembari bekerja serabutan dan menumpang di apartemen kerabat di Muara Karang, kabar baik untuk Aguswandi datang. Hakim kasasi menilai pasal 363 itu tak tepat untuk menjerat Aguswandi.

Menurut majelis hakim, mestinya pasal itu disertai dengan pasal 362 tentang pencurian. Alasannya, pencurian dengan pemberatan tak bisa berdiri sendiri.

Selain memakai KUHP, hakim kasasi menyandarkan pertimbangan putusan dengan memakai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Pasal 1 ayat 4 dan 5 undang-undang itu mengatur perihal bagian rumah susun yang menjadi benda milik bersama semua penghuni. Listrik di lorong apartemen, menurut hakim, termasuk lingkup yang dimaksudkan pasal tersebut. Setrum untuk pelanggan, menurut majelis, merupakan milik PT Perusahaan Listrik Negara. Dengan demikian, menyambung atawa memutus alirannya adalah hak PLN.

PT Jakarta Sinar kini pasrah atas sputusan yang membuat Aguswandi berseri itu. "Hakim terlalu menggampangkan persoalan," kata Hartanto. Menurut dia, bukan soal nilai listrik sebesar Rp 375 ribu yang diambil Aguswandi yang jadi pokok persoalan. Aguswandi, ujarnya, telah melanggar kesepakatan dan ketentuan Anggaran Rumah Tangga Roxy Mas yang disusun Perhimpunan Penghuni sendiri.

Pengacara Aguswandi, Slamet Yuono, menilai putusan Mahkamah Agung yang membebaskan kliennya itu sebagai sebuah terobosan hukum. "Ini fenomenal, sebuah terobosan untuk kasus pelayanan publik," katanya. Dengan demikian, kata Slamet, putusan itu akan bisa menjadi sebuah yurisprudensi untuk perkara sejenis.

Bagja Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus