Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

"Arafat Hanya Simbol"

8 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiba di Jakarta dua pekan silam, Syekh Muhammad Seyam langsung disibukkan oleh sederet kegiatan pada sejumlah komunitas Islam di Indonesia. Riwayat dan pengalaman yang melekat pada mantan imam besar Masjid Al-Aqsha Yerusalem ini memang sayang untuk dilewatkan begitu saja. Cambangnya yang lebat seputih asap seakan menjadi penanda perjalanan hidupnya yang telah menginjak 69 tahun.

Seyam menyaksikan dan mengikuti dari dekat kelahiran intifadah—babak dua—di Masjid Al-Aqsha. Pemicunya adalah tindakan Ariel Sharon yang memaksa masuk ke Al-Aqsha pada 28 September 2000. Sejak itu gelombang demi gelombang perlawanan diciptakan Palestina untuk menjawab tekanan Israel. "Untuk mempertahankan kesucian Masjid Al-Aqsha, kami tidak peduli berapa nyawa lagi yang akan melayang," ujarnya kepada Tempo.

Syekh Seyam pernah empat tahun (1984-1988) menjadi imam besar dan khatib di masjid tersebut. Peran itu dia jalankan seiring dengan tugasnya sebagai dosen di Universitas Islam Gaza. Di kota ini Seyam dibesarkan setelah orang tuanya terusir dari Desa Al-Jora pada 1948. Belakangan, doktor sastra arab dari Universitas Al-Azhar Kairo ini sempat pula menjadi Rektor Universitas Islam Gaza.

Ketika Otoritas Palestina hasil Perjanjian Oslo 1993 terbentuk, Arafat sempat memintanya masuk kabinet. Seyam menolak tawaran itu. "Ada perbedaan prinsip meski kami berteman akrab," dia memberikan alasan kepada Tempo. Tapi Seyam setuju membantu Arafat untuk ikut menilai personel yang masuk kabinet. Dua pekan lalu, di sela-sela acaranya yang padat, dia menerima wartawan Tempo Darmawan Sepriyossa dan Zac-harias Wuragil untuk berbincang.

Berikut ini petikannya:

Saat bertugas sebagai imam besar Al-Aqsha, apa saja pengalaman Anda berhadapan dengan militer Israel?

Hampir saban hari serdadu Israel memantau dan memeriksa seluruh bagian masjid dengan ketat. Kami diinteli secara berlebihan sampai sekarang. Pada setiap Jumat di bulan Ramadan, Masjid Al-Aqsha biasa dipenuhi sekitar 250 ribu umat. Tetapi sejak Jumat dua pekan lalu, mereka (Israel—Red.) hanya mengizinkan muslim yang telah berusia 60 tahun yang boleh bersalat Jumat di situ. Kami marah tapi tak berdaya karena mereka bersenjata lengkap. Namun, menurut saya, cara itu hanya akan terus mengobarkan intifadah.

Adnan Al-Ghoul, pimpinan Brigade Izzudin Al-Qassam, gugur oleh roket Israel dua pekan lalu. Apakah ini akan berpengaruh pada perjuangan Palestina?

Tentu ada, terutama dari sisi psikologis. Tetapi, sebagaimana kematian-kematian pimpinan pergerakan sebelumnya, kematian ini tidak akan membuat kami putus asa dan kendur.

Bagaimana pandangan Anda terhadap Yasser Arafat dan Otoritas Palestina?

Kami bersyukur memiliki pemerintahan. Tapi kami melihat pemerintahan ini masih didominasi mereka yang kurang memiliki integritas dan kurang jujur. Wajar jika banyak yang kurang percaya pada pemerintah dan akhirnya memilih berjuang dengan prinsip, keyakinan, dan cara yang berbeda dengan Otorita Palestina.

Anda tidak mendukung kepemimpinan Yasser Arafat?

Yang saya tentang dari Arafat adalah sistem, konsep, dan cara perjuangannya untuk Palestina. Secara pribadi, kami berteman karib.

Kira-kira berapa banyak warga Palestina yang berseberangan dengan Otoritas Palestina dalam cara perjuangan?

Kalau ada jajak pendapat tentang ini, kemungkinan 40 persen anak muda akan memilih Arafat, 40 persen memilih Hammas. Sisanya mungkin netral.

Kesehatan Arafat dikabarkan memburuk. Apa yang Anda dengar tentang kondisinya akhir-akhir ini?

Kesehatan Arafat akhir-akhir ini memang amat menurun. Itu bukan semata-mata karena penyakit, tetapi karena usianya memang sudah sepuh.

Kira-kira siapa yang akan menggantikan Arafat bila ia meninggal?

Saat ini sudah ada dewan yang beranggotakan Ahmad Qorei, Mahmud Abbas, dan Salim Za'nun. Ketiganya yang akan menempati posisi yang ditinggalkan Arafat. Sejatinya, dua tahun terakhir Arafat juga tak bekerja apa pun karena blokade (Israel—Red.). Semua administrasi negara dijalankan orang lain, dan dia hanya menjadi simbol.

Menurut Anda, apa cara terbaik mengatasi konflik dengan Israel?

Jika hak warga Palestina dikembalikan. Sekarang, kami hanya punya Tepi Barat dan Jalur Gaza. Wilayah itu cuma sekitar 22 persen dari tanah air kami yang sebenarnya. Dua wilayah itu masih juga dicaplok Israel sekitar 40 persen.

Tidak bisakah warga Palestina hidup berdampingan dengan orang Israel?

Sebelum mencaplok Palestina, mereka datang dari berbagai negara. Amerika, Rusia, dan banyak negara Eropa, Afrika. Kembalikanlah mereka ke sana. Soal hidup berdampingan bagi kami tak ada masalah. Kami menerima pembagian menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1948, meski pembagian itu merugikan. Bagian kami hanya tanah tandus. Tapi lihat, justru Israel yang melanggar pembagian itu. Jadi, ibaratnya, Israel itu masuk rumah kami, merampoknya. Lalu saat kami mau tinggal di dapur pun, mereka berupaya mengusir. Jadi, bagaimana mungkin kami bisa hidup bersama?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus