Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru sepekan lewat, darah tertumpah di beberapa sudut Provinsi Narathiwat. Tapi bekas-bekas kekerasan itu tampaknya sudah pupus; jam malam telah dicabut; warga setempat kembali sibuk dengan kegiatan sehari-hari; jumlah polisi mulai menyusut. Sebagian aparat yang datang dari luar Narathiwat telah mengepak ransel, kembali ke pos masing-masing. Pemakaman massal terhadap 80 lebih korban pembantaian Tak Bai di Thailand Selatan juga telah usai. Hidup kembali berjalan dengan tenang.
Sejatinya, di balik ketenangan itu dendam penduduk masih terus menyala laksana api dalam sekam. Banyak yang belum dapat menerima tindakan aparat Thailand menembak mati enam warga muslim. Mereka ditembak saat unjuk rasa bersama ribuan warga lain di luar markas polisi di Desa Tak Bai pada Senin pekan lalu (baca Tempo 1 November, Setumpuk Tubuh di Bawah Matahari). Sekitar 1.200 orang ditangkap dan dilemparkan ke dalam truk dengan posisi menelungkup.
Hasilnya, lebih dari 80 pengunjuk rasamereka rata-rata muslimmenjadi korbanumumnya mati lemas setelah ditumpuk bagai karung beras selama enam jam perjalanan. Menempuh 120 kilometer, para "penumpang truk" itu diangkut dari Tak Bai di Provinsi Narathiwat ke pangkalan militer di Provinsi Pattani. Tragedi ini mengundang kecaman dari berbagai penjuru dunia. Di Jakarta, Kedutaan Thailand didemo sejumlah orang. Di Malaysia, mantan perdana menteri Mahathir Mohamad menegaskan: "Ini akan menjadi seperti isu Palestina."
Insiden Tak Bai menambah panjang rangkaian baku hantam antara gerilyawan muslim dan tentara Thailand. Peristiwa berdarah itu terus mengipasi kemarahan masyarakat muslim yang sudah lama mengeluhkan diskriminasi Bangkok terhadap mereka. "Kini orang-orang kian geram dengan cara militer memperlakukan mereka," kata Zubaidah Dorloh, 37 tahun. Adik laki-lakinya, Razee Dorloh, 22 tahun, adalah salah satu yang mati lemas di bak truk.
Wilayah selatan Thailand praktis terus memanas sejak 1970-an selama hampir dua dekade. Sempat mereda pada era 1990-an setelah pemerintah berjanji lebih memperhatikan wilayah itu. Tapi pergolakan kembali marak karena janji-janji dari ibu kota tak kunjung terwujud. Sejak awal tahun ini, misalnya, Thailand Selatan memanas lagi dan makan korban sekitar 430 orang. "Kami kembali hidup dalam ketakutan," kata Zubaidah.
Ketakutan itu dipicu antara lain oleh situasi darurat militer di Narathiwat. April lalu, militer Thailand nekat menyerbu masjid di Pattani. Penyerbuan terjadi justru setelah Wakil Perdana Menteri Chavalit Yongchaiyudh mengeluarkan perintah agar semua pihak menahan diri dalam konflik di selatan. Serbuan militer pada April itu menewaskan 32 separatis, kebanyakan remaja yang minim senjata.
Harus diakui, kericuhan di wilayah Selatan menjadi salah satu duri dalam daging bagi pemerintahan Thanksin. Sampai-sampai, pekan lalu, Raja Thailad Bhumibol Adulyadej turun tangan meminta pemerintah lebih melunakkan pendekatan terhadap wilayah selatan yang mayoritas penduduknya muslim. Pertikaian di selatan ini bukan kisah kemarin petang. Awalnya harus dilihat ke 100 tahun silam ketika Raja Siam mencaplok kerajaan Islam Pattani ke dalam wilayahnya. Kerajaan itu lebih memiliki persamaan dengan saudara mereka di Malaysia di selatan ketimbang mayoritas penganut Buddha di utara. Yang jelas, Pattani dan Malaysia sama-sama muslim.
Karena itu, berkembang kecurigaan bahwa kaum separatis Islam berada di balik berbagai serangan teror di Thailand Selatan. Kelompok yang kerap mendapat tudingan adalah Organisasi Pembebasan Pattani Bersatu (PULO), Barisan Revolusi Nasional (BRN), dan Gerakan Mujahidin Islam Pattani (GMIP). Namun, hingga saat ini tak satu pun yang mengaku bertanggung jawab atas berbagai aksi teror di wilayah selatan.
Alhasil, sebagian kalangan intelektual berpendapat konflik berdarah di selatan meruyak karena pemerintah tidak mengakomodasi kebutuhan komunitas setempat. Umpamanya, skema pinjaman yang dimaksudkan untuk mendorong pembangunan relatif tidak dinikmati dalam wilayah-wilayah muslim Thailand. Thailand Selatan juga tak mengecap boom ekonomi beberapa tahun terakhir. Semua kekecewaan ini menjadi lahan subur bagi benih radikalisme di antara para pemuda muslim. "Para pemuda amat membutuhkan pekerjaan. Jika menganggur, mereka dengan mudah termakan hasutan orang lain," kata Kepala Desa Tak Bai, Mohd. Noor.
Pernyataan itu senada dengan kesaksian Yakareeya Yusof, seorang warga Tak Bai yang ikut unjuk rasa pada Senin lalu dan ditangkap aparat. "Mulanya hanya beberapa warga desa yang pergi ke markas polisi untuk meminta pembebasan enam orang yang ditahan. Belakangan, para pengunjuk rasa berdatangan dari luar Narathiwat, bergabung," katanya. "Para pemicu insiden itu adalah orang-orang yang sama di belakang pembantaian di Masjid Krue Se," ujar Elias Jaafar, warga setempat. "Tak mungkin masyarakat Narathiwat yang menginginkan pertumpahan darah ini."
Jejak-jejak darah di Tak Bai sudah mengering, tapi pergolakan di Thailand Selatan tampaknya masih jauh dari akhir.
Wuragil (BBC, SMH, WPost)
Golok Melawan Senapan Mesin
Kerusuhan di wilayah selatantempat kaum minoritas muslim Thailandmulai muncul pada era 1970-an, ketika separatis muslim mulai menggerakkan aksi-aksi menentang Bangkok. Dua dekade berlalu, kerusuhan sempat mereda. Hal itu terjadi setelah Bangkok berjanji akan menyalurkan lebih banyak dana pembangunan dan memastikan ada perwakilan komunitas muslim yang lebih proporsional dalam politik dan pemerintahan. Namun, janji itu tak kunjung terwujud. Thailand Selatan terus berteriak karena diskriminasi dan kemiskinan yang lebih menonjol dibanding wilayah lain di negeri itu. Maka, kekerasan demi kekerasan kembali melanda wilayah itu. Berikut konflik yang pecah Thailand Selatan selama 2004, sejak Januari hingga Oktober.
4 Januari 2004: Sejumlah gerilyawan menyerang depot militer di Narathiwat. Empat tentara tewas, 18 sekolah dibakar, 400 pucuk senapan serbukebanyakan jenis M-16dirampas.
Januari-Maret: Perdana Menteri Thaksin Shinawatra merespons serangan itu dengan memberlakukan darurat militer dan mengerahkan pasukan tambahan ke Narathiwat. Lebih dari 100 orang tewas karena saling serang antara tentara dan gerilyawan muslim. Ada 36 bangunan milik pemerintah yang dibakar. Najmuddin Umar, anggota Partai Thai Rak Thai (partai pendukung Thaksin) yang beragama Islam, dituding sebagai dalang kerusuhan 4 Januari.
28 April: Gerilyawan melancarkan serangan terhadap markas dan pos polisi di Provinsi Pattani. Sekitar 108 gerilyawan tewas. Di pihak polisi, jatuh lima korban nyawa. Para gerilyawan sempat berlindung dalam Masjid Krue Se, tapi polisi tetap menyerang mesjid.
Mei-September: Bom meledak di tiga kuil Buddha. Seorang rahib di dibunuh, kepala desa dan hakim ditembak mati. Bangkok membatalkan rencana pembicaraan damai dengan separatis muslim.
25 Oktober: Pembantaian Tak Bailebih dari 80 orang tewas.
26 Oktober: Gerilyawan separatis menyerukan pembumihangusan Bangkok.
28 Oktober: Terjadi serangan bom di luar sebuah bar di Narathiwat. Tiga tewas, 20 orang luka-luka.
29 Oktober: Dua bom meledak di Yala. Seorang polisi tewas, 19 luka-luka.
30 Oktober: Seorang polisi ditembak mati di Pattani.
31 Oktober: Serangan sporadis menewaskan lima warga di Narathiwat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo