Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kapal cepat Jet Raider beringsut merapat di pelabuhan internasional Ferry Batam Center. Tidak seperti penumpang lain yang langsung mencegat taksi, belasan orang dibawa ke penampungan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Sekupang, Batam, Minggu lalu. "Awak harus menanti kapal lagi," kata Supriadi, TKI asal Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Supriadi terpaksa bermalam menanti kapal yang akan membawanya ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, esok hari. Perjalanan panjang masih harus dilaluinya. Dari Jakarta dia akan meneruskan perjalanan darat menuju Surabaya kemudian dilanjutkan sampai Lombok. Istrinya, Siti Azizah, yang berada di sampingnya, beberapa kali mengusap air mata.
Setahun bekerja di Malaysia, ringgit yang mereka kumpulkan belumlah seberapa. Sebagai buruh bangunan, Supriadi mendapat imbalan 800 ringgit (sekitar Rp 1,9 juta) setiap bulan. Adapun Azizah, yang bertugas menyediakan makanan dan minuman bagi buruh-buruh lain, hasilnya hanya separuh gaji suaminya. Di kampung mereka hanya akan menjadi buruh tani. Sementara dua anaknya—yang tertua baru kelas dua SMP—masih membutuhkan banyak biaya.
Azizah masih ingat harapan yang menggumpal saat mereka meninggalkan rumah. Hanya dengan mengantongi sepasang paspor tanpa izin kerja, mereka berangkat menemui teman-teman Supriadi yang lebih dulu bekerja di Kuala Lumpur. Kini status sebagai pengangguran terbayang. Ancaman pemerintah Malaysia yang akan mengusir pekerja ilegal asal Indonesia membuat mereka miris.
Awalnya pengusiran akan dilakukan pada September lalu. Rencana itu mundur setelah pemerintah Indonesia meminta penangguhan hingga hajatan pemilihan umum rampung. Sepulang Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri H. Abdullah Badawi, mengahadiri pelantikan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, Malaysia membuka Program Pengampunan Ramadan. Sedangkan Operasi Nyah—untuk mengusir pekerja ilegal—baru akan dimulai pada Januari 2005.
Selama program pengampunan, polisi Malaysia tidak akan mengejar-ngejar pendatang yang tidak punya dokumen resmi, asalkan secara sukarela mereka pulang kampung dengan mengurus surat perjalanan laksana paspor (SPLP) dari kantor perwakilan negara mereka di Malaysia. "Supaya mereka bisa pulang ke kampung halaman menjelang Hari Raya Idul Fitri," kata Menteri Keselamatan Dalam Negeri Malaysia Dato' Azmi Khalid, di kantornya di Putrajaya, Kamis pekan lalu. Masa pengampunan itu batasnya hingga 14 November nanti.
Kabar program pengampunan itu disiarkan di berbagai media cetak dan televisi. Supriadi, yang mendengar info dari teman senasibnya, bergegas menuju ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur untuk mengurus SPLP. Hari-hari pertama masa pengampunan, suasana KBRI memang masih sepi. Dia tak banyak protes saat petugas menagih biaya pengurusan 150 ringgit (sekitar Rp 360 ribu) untuk dia dan istrinya. Padahal biaya resmi hanya 40 ringgit per surat. Baginya, biaya siluman sudah biasa dibayarnya sebagai pendatang ilegal.
Tapi, Selasa lalu, Kedutaan Indonesia mulai sibuk dan semrawut. Para TKI yang turun dari taksi langsung disambut calo. "Sudah ada poto? Mari poto dulu! Mau buat SPLP sehari selesai?" Biaya pengurusan pun melambung. Foto kilat yang biasanya hanya seharga 10 ringgit melonjak hingga 15 ringgit. Adapun pengurusan SPLP sehari selesai tarifnya dipatok 150 hingga 200 ringgit. Belum lagi tiket angkutan kapal yang dibeli di kompleks KBRI seharga Rp 63 ribu ternyata tidak berlaku saat di pelabuhan. Mereka harus membeli lagi tiket seharga Rp 90 ribu.
Anehnya, para pejabat di kedutaan seakan menutup mata. "Saya tidak melihat itu," kata atase perhubungan KBRI, Abadi Sastrodiyoto, menampik. Menurut Abadi, mereka sudah berusaha memudahkan TKI dengan memanggil agensi perusahaan pengangkutan feri untuk menjualkan tiket di kedutaan. Abadi berjanji akan berusaha menertibkan jika memang ditemukan adanya percaloan.
Menurut pihak Kedutaan Indonesia hingga Jumat pekan lalu, kedutaan sudah mengeluarkan sekitar 60 ribu lembar SPLP. Itu hanya sebagian kecil dari TKI di sana yang jumlahnya 700 ribu orang TKI ilegal. Artinya hanya sedikit yang memanfaatkan masa pengampunan. Pemerintah Indonesia memperkirakan hanya separuh di antara pekerja ilegal yang memanfaatkan pengampunan.
Supriadi termasuk rombongan pertama yang datang dalam sepekan lalu. Bersama sekitar 3.000 TKI, mereka masuk melalui 12 pelabuhan dan jalur darat di Entikong, Kalimantan Barat. Setelah mendapat SPLP dia langsung menuju Pelabuhan Stulang Laut, Johor, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Batam.
Penyambutan di Tanah Air lebih terurus, seperti yang terjadi di Tanjung Priok, Selasa lalu. Puluhan TKI yang baru turun dari Kapal Ciremai langsung dijemput bus yang kemudian mengantarkan mereka hingga ke daerah masing-masing. Menteri Perhubungan Hatta Radjasa mengatakan, pemerintah telah menyiapkan 13 ribu armada bus untuk mengangkut mereka. Angkutan ini disiapkan bagi TKI yang berasal dari Sumatera dan Jawa.
Untuk operasi penjemputan ini pemerintah menyiapkan dana Rp 140 miliar. "Tetapi sekarang di luar prediksi," kata Menteri Hatta. Ribuan bus itu masih banyak menganggur karena TKI yang pulang tidak sebesar jumlah yang diramalkan. Hal serupa juga terjadi pada angkutan laut. Lima kapal perang TNI angkatan laut yang siap membantu pengangkutan TKI hingga kini masih bersandar.
Mengapa TKI menunda kepulangannya? Sebagian besar mereka menanti gaji yang belum terbayar. Rekan-rekan Supriadi yang bekerja sebagai buruh bangunan menunggu gaji hingga akhir pekan ini. Buruh perkebunan baru dibayar awal pekan depan. Masalah lain, para majikan sering mempermainkan pekerja ilegal dengan menunda pembayaran gaji. Akibatnya, TKI harus memilih pulang tanpa membawa uang atau tetap bertahan sambil menanti razia pada Januari nanti.
Budi Wibawa, koordinator di Migrant Care, organisasi yang peduli terhadap pekerja lintas negara, khawatir pemerintah kurang siap menampung gelombang kepulangan TKI. Dia mencontohkan pengalaman buruk pemulangan TKI dua tahun lalu. Saat itu Malaysia baru mengusir 277 ribu TKI ilegal, tapi sudah jatuh korban 80 orang TKI meninggal. Mereka juga sempat telantar di Nunukan, Kalimantan Timur, karena kurang siapnya pemerintah menangani banjir pengungsi TKI ini.
Ketidaksiapan itu juga terlihat dalam usaha mengirim kembali tenaga kerja ke Malaysia. Pemerintah punya program—di antara sejumlah program—mengembalikan kembali pekerja ilegal ke Malaysia dengan dilengkapi dokumen resmi. Masalahnya, jumlah yang legal tak sebanyak yang ilegal. "Malaysia mengaku hanya akan membuka lowongan untuk 50 ribu pekerja," kata Budi.
Menteri Tenaga Kerja Fahmi Idris menyatakan akan berusaha mengembalikan 500 ribu TKI agar bisa kembali bekerja di Malaysia. "TKI kita pasti masih dibutuhkan," kata Fahmi saat mengunjungi KBRI di Malaysia, Selasa lalu.
Harapan Supriadi melambung tinggi begitu mendengar optimisme Fahmi Idris. Namun dia tidak yakin istrinya bisa ikut untuk kembali bekerja di Malaysia. Pekerja yang lain, seorang buruh bangunan, Warjiyanto asal Madiun, mengaku kapok. Selama lima bulan di Malaysia dia hanya mendapat tiga bulan gaji. Itu pun tak pernah utuh diterimanya. Setiap bulan dia harus membayar uang keamanan agar tidak dirazia. "Cukup sekali ini sajalah," katanya kesal sambil berjanji tak akan kembali.
Warjiyanto dan Supriadi adalah kisah klasik tentang pekerja ilegal di Malaysia yang tak kunjung beres, entah sampai berapa Menteri Tenaga Kerja perlu berganti.
Agung Rulianto, T.H. Salengke (Kuala Lumpur), Rumbadi Dalle (Batam), Sunudyantoro (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo