MENJELANG jam 5 pagi, suasana di sekitar kereta api Intercity
yang dibajak teroris-teroris RMS di desa Glimmen, Belanda Utara
masih senyap. Mendadak sontak, tepat lima menit sebelum pukul
lima raungan delapan pesawat pemburu pancargas Starfighter milik
AU Kerajaan Belanda - yang menyambar serendah pohon cemara
mengoyak keheningan dan kegelapan di sana. Itulah tanda mulainya
serangan 120 marinir Belanda membebaskan 51 sandera yang sudah
19 hari tertahan di bawah ancaman senapan 8 pemuda dan seorang
pemudi RMS.
Hanya dalam waktu seperempat jam, mereka berhasil dibebaskan
para marinir yang menyerbu di bawah lindungan tabir asap
Starfighter dan 13 mobil lapis baja marsose, setelah memecah
dinding gerbong dengan bom plastik dan berondongan peluru
senapan otomatis. Enam pembajak tewas - di antaranya Max
Papilaya, 27 tahun, yang diduga pemimpin operasi itu, dan sang
pemudi, Nona Hansina Otosea, 21 tahun. Seorang lagi luka berat
karena tertembak perut dan dadanya. Dua pembajak lainnya
menyerah, ketika para marinir datang membebaskan para sandera.
Dua sandera yang ngotot ingin melihat serbuan marinir dari
jendela kereta api- begitu alasan yang dikemukakan seorang
perwira marinir Belanda -- mati konyol. Satunya masih nona, 19
tahun. Satunya lagi seorang pria, 40 tahun. Toh jenazah kedua
korban itu sampai keesokan harinya belum dikembalikan pada
keluarganya karena di rumahsakit Groningen sedang diperiksa
peluru siapa yang telah merenggut nyawa mereka: peluru RMS, atau
peluru Marinir Belanda. Puluhan sandera lainnya ada yang segera
pulang ke rumah, tapi tak sedikit yang perlu dipulihkan dulu
kesehatannya - terutama goncangan mental mereka - di rumahsakit.
Keempat guru sekolah yang masih tertinggal di sekolah di
Bovensmilde lebih beruntung nasibnya. Rupanya mereka sudah
mengharapkan pembebasan di Sabtu dinihari itu. Sehingga
semalaman mereka bergadang. Penyerbuan sekolah dasar itu cuma
makan waktu 5 menit, oleh pasukan anti-huruhara yang dibantu
empat kendaraan lapis baja yang membentur tembok gedung dengan
dahsyatnya. Seorang pemuda KMS yang mencoba lari ditangkap dan
dipukuli sampai babak belur. Keempat pembajak di sekolah dasar
itu -- yang seminggu sebelumnya terpaksa melepaskan semua anak
sekolah gara-gara 'virus muntaber misterius digiring ke mobil
tahanan setelah dilucuti semua pakaian luarnya. Rambut kribo
mereka tak luput 'digeledah'.
Jalan Buntu
Boleh dikata, pemerintah Belanda cukup lama sabar menahan diri
untuk tak menggunakan kekerasan. Namun sebaliknyapun dapat
dikatakan, bahwa taktik ulur waktu yang dilancarkan dari
Krisiscentrum di Assen memungkinkan segala persiapan dilakukan
untuk aksi militer itu. Mulai dari pemasangan perlengkapan
pengintai elektronis - kamera televisi jarak jauh dan alat
pendengar di bawan gerbong yang dipasang marinir Belanda di
malam hari, tekanan-tekanan psikologis, sampai pada pembinaan
opini publik di Belanda agar mau menerima kontra-teror itu.
Untuk berunding dengan para pembajak di kereta api, kedua pihak
juga sudah menyetujui perantaraan dua orang tokoh tua yang masih
disegani pemuda-pemuda itu: Ny. Josina Soumokil, 64 tahun, janda
'presiden' RMS kedua yang memegang wasiat suaminya untuk
meneruskan perjuangan RMS dari Belanda dan dr Hasan Tan, 54
tahun, bekas menteri urusan sosial dalam 'kabinet' Manusama
sampai tahun 1974. Sesudah peristiwa Wassenaar tahun 1970,
dokter paru-paru kelahiran Ambon itu mengusulkan supaya
pemimpin-pemimpin pemuda RMS dimasukkan dalam kabinet Manusama.
Tapi Manusama menolak, sehingga dr Tan - seorang bekas aktivis
mahasiswa Islam di Leiden - keluar dari kabinet, dan kembali
menitikberatkan kerjanya memperbaiki kesehatan minoritas Maluku
di Belanda.
Dua kali kedua tokoh tua itu berunding dengan Max Papilaya dan
kawankawannya di gerbong VIP kereta api Intercity itu. Dan baru
setelah operasi Sabtu pagi itu selesai mengamankan para sandera,
keduanya mau memberikan keterangan pers bahwa perantaraan mereka
sudah menumbuk jalan buntu. Makanya kabinet Joop den Uyl --
koalisi partai sosialis dan aliansi kristen demokrat yang
berhasil mendapat kepercayaan rakyat Belanda lagi dalam pemilu
25 Mei lalu -- memutuskan untuk melakukan operasi kilat itu. Dua
jam setelah drama 19 hari itu berakhir melalui corong radio PM
Belanda itu menyebutkan usaha pembebasan para sandera dengan
kekerasan itu sebagai suatu "kekalahan". Namun apa boleh buat.
Wibawa hukum harus ditegakkan - terutama setelah hasil pemilu
yang lalu menunjukkan pergeseran suara ke kanan (golongan agama
paling tidak senang anarki begini). Dan tuntutan para teroris di
kereta api yang didukung sayap radikal Pemuda Masyarakat di
luaran -pemutusan hubungan diplomatik dan ekonomi dengan
Indonesia -- terlalu berat bagi Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini