INI mungkin resensi film. Atau ini mungkin sebuah catatan buat
mereka yang sudah (atau mau) melihat The cagle Has Landed.
Seperti The Day of The Jackal film ini mempergunakan pola
suspens yang sama. Keduanya berkisah tentang suatu usaha yang
kita sudah tahu bakal gagal. The Jackal merencanakan membunuh De
Gaulle. The Eagle hendak menyergap Churchill. Kedua tokoh
sejarah itu toh menurut catatan sampai mati ternyata tak pernah
dibunuh atau diculik. Dengan kata lain, kedua cerita rekaan
(fiction) itu adalah kisah tentang kesia-siaan, kecuali jika
buku sejarah harus diubah.
Bahwa mereka ternyata memikat juga, mungkin karena sesuatu yang
kadang kita lupakan: kwalitas jagoan justru tidak menarik dari
segi keberhasilannya. Mungkin sukses hanyalah sebuah
anti-klimaks -- bahkan hasil sampingan. Ke-jagoan-an bisa
sepenuhnya berarti ikhtiar yang habis-habisan, titik. Dalam The
Jackal bahkan proses ikhtiar itu hampir merupakan
segala-galanya. Film ini berakhir nyaris tanpa wajah. Tak ada
sosok yang menyolok Sejarah harus membisu, karena sang cerita
harus bergabung kembali dengan kenyataan.
Mungkin itu bedanya dengan The Eagle. Sutradara John Sturges
menampilkan Michael Caine (sebagai perwira paratrup Jerman yang
ditugasi menyergap Churchill), Donald Sutherland (sebagai
nasionalis Irlandia yang membantu Jerman), dan Robert Duvall
(sebagai perwira intel yang merencanakan operasi). Siapa yang
bisa melupakan mereka?
Barangkali karena amanat The Jackal, melalui tokoh detektif
Perancis yang sederhana dalam tugas menyelamatkan De Gaulle itu,
ialah bahwa pahlawan tidak perlu. Pelaksanaan tugas, biar pun
begitu besar, tetap kewajiban rutin belaka. Sementara itu
barangkali John Sturges ingin bicara, bahwa tugas berat memang
tidak mesti melahirkan pahlawan, tapi mengujinya -- justru
melalui hal yang biasa: hubungan kemanusiaannya dengan orang
lain. Maka Michael Caine dan Robert Duvall pun jadi
pahlawan-pahlawan . . .
Pahlawan? Tidakkah film ini merupakan propaganda bagi
militerisme Nazi Jerman? Tidakkah film ini layak ditolak,
seperti halnya film tentang Jenderal Rommel, The Desert Fox,
yang di tahun 1950-an dicoba ditolak di sini, karena dianggap
memuji-muji seorang perwira tinggi Nazi?
Rasanya tidak. Michael Caine di sini ditampilkan seperti untuk
menunjukkan, bahwa militerisme adalah satu hal, tapi
keprajuritan adalah hal lain. Di musim dingin di dekat Warsawa
ia menemui nasib yang kejam tapi tak hendak diingkarinya:
kolonel yang angkuh ini, yang pernah menerima bintang Pour le
Merite yang disematkan sendiri oleh Hitler mencoba menolong
seorang wanita Yahudi yang tengah diburu sepasukan Jerman lain.
Tidak dengan sendirinya ia seorang simpatisan Yahudi. Tapi
mungkin ia bukan orang yang bisa menerima kenyataan -- mungkin
juga karena keangkuhannya -- bahwa tentara Jerman harus melawan
kaum wanita dan anak-anak, yang cuma "bersenjata payung". Ia
adil, tapi sikap membangkangnya menyebabkan ia harus dihukum.
Dalam film ini pun Robert Duvall harus mati, begitu diketahui
bahwa rencana yang disusunnya tak berhasil. Bukan sebagai
hukuman, tapi untuk menghapus jejak kesalahan atasan. Dan ia
dibawa ke dermaga. Tanda jasanya masih berkilat di cuaca dingin
muram itu. Lalu bedil menggelegar. Burung-burung camar terkejut.
Langit kemudian sepi. Adakah dia berseru, Heil Hitler?
Mungkin tidak. Mungkin ia juga mengetahui sudah, seperti kita,
bahwa sistem politik yang melingkunginya pada akhirnya tidak
menyediakan tempat bagi keperwiraan. Jenderal Rommel juga
kemudian diperintahkan untuk minum racun, ketika Hitler percaya
pada fitnah bahwa pahlawan perang ini ikut berkomplot akan
menggulingkannya. Sang Fuhrer tidak ada lagi yang menjaganya
dari suatu keputusan yang salah. Ia sendirian, dan betapa rapuh
pemerintahannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini