Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Selamat Jalan Bang Ali

Ali Sadikin memimpin pembangunan spektakuler, tertib pemerintah, menumbuhkan demokrasi diantara staf. Ia sukses karena terbuka, tegas, sederhana. Tetap pejuang biarpun sudah swasta. (nas)

18 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Ada, ada yang ditakuti dari Ali Sadikin itu. Apa? Ali Sadikin itu orang yang keras. Bung Karno, 28 April 1966 SEBELAS tahun kemudian, orang yang disebut Bung Karno "keras" itu masih tetap keras. Ia masih bisa berteriak "goblog" kepada pembantunya yang berbuat salah - dengan kemarahan yang termashur itu. Dan ia masih seperti mendera dirinya sendiri dalan bekerja. Hari-hari terakhir masa jabatannya (akan habis menjelang akhir Juni ini - lebih cepat dari dugaan semula) ia lalui seolah-olah ia masih akan tetap ditugaskan di sana. Sampai di kantor jam 6.30 pagi. Kembali ke rumah jam 14.00 atau setengah tiga. Kemudian mulai jam 17.00 bekerja lagi di rumah termasuk menerima tamu - hingga jauh malam. Ia juga masih memilih olahraga yang keras. Bukan sesuatu yang bisa dilakukan sambil jalan, melainkan latihan kesegaran jasmani di ruang khusus di Balai Kota tingkat 4. Latihan berlangsung sampai satu jam, antara lain dengan mengayuh ergo-cycle. Hal ini dilakukannya dua kali seminggu, di samping berenang di kolam renang di rumahnya atau terkadang, di tempat lain. Sekali-sekali ia main sepakbola. Dua pekan yang lalu misalnya ia jadi kiper - posisi yang kurang cocok dengan semangatnya yang gelisah. Tapi dengan umur 50 tahun, fisiknya tak urung toh berubah. Berkat latihan dan disiplin dirinya (ia tak merokok), ada yang pernah menaksir bahwa kondisinya lebih muda 10 tahun dari umurnya. Namun rambutnya jelas menipis. Kerut di dahinya lebih kentara. Ia nampak lebih berat, meskipun tidak pernah gendut (77 kg dengan tinggi 1.78 m). Semua itu menyebabkan ia lebih nampak angker atau berwibawa. Yang membantu Ali Sadikin, selain keluarga yang tenang, barangkali juga sifatnya yang spontan, yang meledak dalam marah dan ketawa. Ia tak diam menahan perasaan. Tapi siapa yang tidak di"makan" oleh tugas selama sebelas tahun, dengan kota yang setegang Jakarta? Sadikin bukan perkecualian. Ia mulai dari tidak tahu apa-apa sama sekali tentang kota. Ketika Bung Karno, Presiden pertama dulu menunjuknya jadi Gubernur, isterinya - dokter gigi Nani Sadikin tertawa karena merasa aneh, bahwa suaminya dapat tugas itu. Tapi pengalamannya sebagai komandan dalaun ketentaraan toh ternyata berguna. Terutama dalam mengatur kembali organisasi pemerintahan daerah. Dan agaknya di sinilah prestasi Ali Sadikin yang terutama yang justru selama ini tidak terlihat. Seperti kata seorang pembantunya: "Bagi banyak orang luar kepemimpinan Ali Sadikin ditandai oleh kejutan-kejutan dan pembangunannya yang spektakuler. Tapi bagi kami yang di dalam ada hal yang lebih penting lagi ia meletakkan dasar tertib pemerintahan yang sebelumnnya belum ada". Pembangunan yang spektakuler, selain menyebabkan ia dipuji tapi juga menyebabkan ia dicela -- dan contohnya amat banyak tentang itu. Juga ucapan-ucapannya, sering mengandung humor tapi terlalu blak-blakan, sering menyebabkan ia menambah jumlah musuh. Tapi agaknya apa yang dilakukannya dalam organisasi pemerintahan daerah sukar untuk dibantah manfaatnya-juga setelah ia tidak ada di kantor gubernuran nanti. Soetjipto Wirosardjono, Kepala Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan DKI Jakarta, dalam tulisannya dalam majalah Prisma baru-baru ini menyebut beberapa pembaharuan yang dilakukan Ali Sadikin secara diam-diam di situ:  Ia mengakhiri dualisme. Sebelumnya, dalam pemerintahan daerah terdapat dua perangkat yang secara strukturil terpisah. Yang satu adalah perangkat pemerintahan pusat (lazimnya disebut: pamongpraja). Yang lain adalah perangkat otonom. Yang pertama merupakan aparat Departemen Dalam Negeri, bertugas menjalankan fungsi pemerintah umum di daerah. Yang kedua adalah aparat pemerintah daerah, berfungsi melaksanakan tugas yang sudah dilimpahkan kepada daerah. Dalam waktu kurang dua bulan setelah pelantikannya, Sadikin membereskan ini - dengan doktrin hanya ada satu perangkat pemerintah daerah. Dengan adanya perubahan itu, "saya misalnya, tak merasa jadi orang pusat", kata Hafiz Fatchurachman. Asisten Sekwilda DKI yang waktu itu kedudukannya menempatkan dia sebagai orang pusat yang bekerja di pemerintah daerah. Semangat seperti itu tak timbul lengan sendirinya. Sebab pengelolaan kepegawaian, dari seleksi, pengangkatan, penempatan penggajian, jenjang karir dan semua aturan kepegawaian bersumber pada satu paket kebijaksanaan, yang berlaku baik untuk pegawai yang berstatus pusat maupun daerah.  Ia mempelopori adanya "badan perencanaan daerah". Ali Sadikin sudah membentuk Badan Perencanaan Pembangunan sejak 19 Juni 1968. Baru enam tahun kemudian, Bappeda ini berlaku untuk daerah-daerah lain, berkat Keputusan Presiden tahun 1974. Bappeda itu kini berfungsi sebagai staf perencanaan dari gubernur kepala daerah. Tapi waktu Sadikin memulainya, dasarnya lebih luas dari sekedar pejabat: untuk mengembangkan keikut-sertaan masyarakat, wakil pelbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat dimasukkan. Badan ini pun jadinya bukan cuma diisi oleh birokrasi pemerintah daerah.  Ia membagi wewenang kepada mereka yang di bawahnya. Sampai Juni 1966, para kepala perwakilan pemerintahan umum di tiga wilayah Jakarta yakni para bupati -- tidak dilengkapi dengan wewenang yang cukup. Wewenang pengelolaan pemerintahan terpusat di tangan gubernur. Sadikin mengubah ini. Dilakukan "dekonsentrasi teritorial dan fungsionil", dengan membentuk wilayah administratif "kota", kecamatan dan kelurahan. Itu, tentu saja, cuma beberapa hal pokok yang dilakukannya. Yang lebih penting agaknya bahwa ia mulai tidak dengan sikap seorang petugas yang terhimpit oleh peraturan. "Saya lebih suka menyebutkan dia juga sebagai entrepreneur", kata Hafiz, ketika ditanya tidakkah perobahan yang dilakukannya di tahun 1966 itu melanggar Undang-Undang yang ada. Dengan kata lain, Sadikin bisa dikatakan mendahului perubahan peraluran -- yang kemudian memang sering terjadi. Mungkin itulah sebabnya, dengan sifat "keras"nya itu, ia bisa nampak seperti mau memaksa pergantian ketentuan. Soetjipto memberi contoh: ada aturan bahwa dari pungutan pendapatan tanah daerah dapat 40%, pusat 40%. Sadikin bilang "tidak". Pusat 20% saja. Caranya, kata Soetjipto, "dengan membuktikan bahwa logikanya lebih genah, lebih adil". Tidak semua kepala daerah, tentu saja, berani begitu. Ali Sadikin sendiri pernah mengatakan, bahwa kelebihannya untuk berkata blak-blakan kepada pusat adalah karena ia salah satu perwira ABRI yang paling senior. Sikap demikian juga diharapkannya bisa jadi semacam "pendidikan demokrasi", karena tak serta merta mengiyakan bahwa yang dikatakan oleh atasan mutlak benar (lihat: wawancara, hal. 15). Tapi agaknya orang di "pusat" tak selamanya senang. Soegiharto, Ketua Fraksi Karya di DPR, misalnya menyuarakan perasaan itu dengan mengecam sikap Sadikin. Bagi para pembantunya, sikap Bang Ali punya dasar. Kata ajudannya, Chris Hutapea, ucapan Ali Sadikin "sebetulnya dimaksudkan untuk memancing reaksi", sedang "sebelumnya sudah dilakukan usaha yang cukup lama". Soetjipto punya penjelasan yang agak lain. Menurut "etik kekaryaan" memang "maki-maki harus dilakukan di dalam", namun Ali Sadikin juga dididik dalam pasukan komando. Dalam saat-saat tertentu, ia menggunakan "terapi kejutan". Kita bikin kejutan, kita juga harus tahu konsekwensinya, begitu katanya. Setelah itu ia mengukur kekuatannya: kira-kira ia bisa terus dengan rencananya atau tidak. Ada juga yang tidak bisa terus. Ir. Wardiman dari Biro II DKI, menunjuk misalnya ide "defisit aktif". Ali Sadikin memperkenalkan ini: prinsipnya, penerimaan 100 sementara pengeluaran 120, dengan kekurangannya dicarikan gantinya oleh DKI sendiri. Pusat tidak mengizinkan ini, karena bisa ditiru oleh daerah lain, sementara defisitnya belum tentu benar. Betapapun Sadikin masih suka mencoba menawar. Tapi lebih dari ke Marinirannya, ia juga nampaknya memang suka adu argumentasi. Ketika suatu kali Arief Budiman (kini di Universitas Harvard) dianggapnya "mengacau" di Gelanggang Remaja, Ali Sadikin dalam suatu kesempatan melantik anggota Dewan Kesenian (a.l. Arief termasuk yang dilantiknya) langsung mengecam Arief. Dan langsung dari podium ia menantang: "Rief, jawab Rief!" Arief memang kemudian mendebatnya, dan Gubernur melayaninya, dan antara keduanya tak ada perasaan dongkol lagi. Tak mengherankan bila kaum intelektuil, para tukang kritik itu, terutama mahasiswa, merasa ada kecocokan dengan Sadikin. Mereka diam-diam mengagumi orang ini, orang yang tak takut dan tidak sakit hati bila dibantah. Mungkin itulah sebabnya Ali Sadikin, yang diangkat oleh Sukarno dan pernah dicurigai sebagai unsur "Orde Lama" oleh para muda di kampus UI, kemudian terasa dekat bagi mereka. Diakui atau tidak, sumbangannya dalam meredakan beberapa peristiwa demonstrasi mahasiswa ialah karena ia tidak dianggap apriori memusuhi dan mencurigai mereka. Dan itu amat penting kiranya bagi sebuah ibukota. Ibukota negeri-negeri berkembang biasanya mengandung "arus bawah" yang suka beroposisi. Di Jakarta misalnya, di tahun 1966-1967, demonstrasi anti Bung Karno paling keras terjadi. Sebab sementara orang di daerah masih menganggap sang pemimpin bagaikan setengah dewa, di Jakarta segala gosip yang ganas berkecamuk -- dan fakta-fakta yang buruk memang dengan lebih mudah terpaparkan tentang para bapak dan ibu pembesar. Kontras kehidupan dalam kota yang penuh persaingan ini juga menyebabkan rasa tak puas mudah terbit - meskipun tidak disuarakan oleh pers, seperti halnya di zaman Orde Lama dulu, di mana pers dibungkam. Bagaimana Ali Sadikin menghadapi ini? Mungkin sikapnya yang gemar adu argumentasi itu cocok untuk tidak melihat gejala "oposisi-oposisi"-an itu sebagai ancaman - apalagi ia nampaknya cukup populer. Tapi mungkin juga filsafat kepemimpinannya menolong. Dalam pidatonya di Manila waktu menerima Hadiah Magsaysay 31 Agustus 1971, ia menyatakan bahwa gubernur yang baik adalah "gubernur yang sepenuhnya menempatkan dirinya sebagai seorang kepala pemerintahan daerah, dari mana pun dia berasal dan afiliasi politik apapun yang dia anut". Baginya, "menempatkan diri sebagai seorang gubernur juga berarti meletakkan kepentingan umum di atas kepentingan golongan atau korps". Dan agaknya kritiknya kepada tiga kontestan sekaligus di waktu pemilu yang baru lalu - meskipun ia ikut dalam rapat umum Golkar - merupakan pelaksanaan dari prinsipnya. Ia nampaknya berusaha benar, untuk bersetia kepada sikap fair. Kepada TEMPO yang mengkritiknya ia pernah berkata, bahwa tidak fair kalau dia tak diberi kesempatan membela diri dan membantah kritik. Ia sendiri membaca sejumlah besar koran dengan lahap, dan dengan kecepatan yang mengagumkan ("Mungkin dia belajar teknik baca cepat", kata seorang pembantunya). "Pak Ali seolah-olah diperintah koran", kata Humas DKI Syariful Alam. Waktu sarapan ia baca koran, di jamjam kantor awal ia baca koran -- dan mencoret-coret dengan spidol merah apa saja yang harus diperhatikan, dan diperbaiki, oleh anak buahnya. Sedikitnya sehari 20 penerbitan yang ia "garap" begitu. Tapi adakah ia bersedia menerima kritik dari bawahannya? Beberapa pembantu dekatnya mengatakan "ya". Ia setidaknya menciptakan iklim untuk itu, meskipun - kata Soetjipto - bagi bawahannya yang berlatarbelakang "feodal", kesempatan yang ada itu jarang dipergunakan. Ir. Piek Muljadi, Ketua Bappeda DKI, atau Hafiz, biasa saja bila harus menunjukkan mana sikap Sadikin yang "tidak konsisten" dengan garisnya sendiri. Seperti suasana di rumahnya, di mana para pembantu rumahtangga nampak cukup bebas borsikap, bawahan Sadikin menyataksn bahwa hubungan mereka dengan Pak Ali tidak banyak bersuasana rikuh. Dulu waktu Bang Ali baru duduk jadi Gubernur mereka punya acara keliling bersama, menginap di rumah daerah pinggiran, dan di situlah mereka saling kenal dengan intim. Tiap Rabu juga ada acara minum kopi dan omong-omong bebas. Yang mungkin tidak banyak terdengar ialah justru suara dari kalangun DPRD. Tapi menurut Hafiz, hal ini disebabkan karena UU yang ada menentukan begitu rupa, hingga hubungan antara Pemerintah DKI dengan DPRDnya ibrat suami istri. Setiap kali persoalan diselesaikan di dalam. Nampaknya memang soalnya kemudian terserah kepada kwalitas para anggota DPRD. Tapi kiranya asas semacam itu agak kurang konsisten dengan "pendidikan demokrasi yang diniatkan Ali Sadikin. Toh rakyat di luar ingin tahu juga bahwa anggota DPRD mereka menyuarakan suara hati mereka, dan pemerintah daerah mau mendengarkan. Itu tidak berarti bahwa benturan antara anggota DPRD dengan Ali Sadikin tak pernah terjadi. Pengalaman Haji Hartono Mardjono SH. angota DPRD dari fraksi PPP misalnya cukup jelas. Dalam sidang pleno 1972 ia menkritik ketidak-beresan pembangunan terminal bis Rawamangun. Ali Sadikin marah besar kepadanya. Di muka sidang lenkap, tapi setolah hadirin lain diminta ke luar. Sadikin menyerang Hartono konon sembari menghantam podium. Hurtono yang waktu itu sudah hampir saja meninggalkan sidang, kemudian menegtahu bahwa Ali Sadikin bisa jadi baik. Sadikin mengirim Desun agar Hartono menemuinya. Mereka berbicara selama 5 jam. Dan menurut seorang pembantu Sadikin. Hartono adalah salah seorang anggota DPRI yang dihormati Bang Ali. Hartono sendirl tak pernah sowan ke rumah Sadikin, dan Sadikin sendiri tak menuntut agar ia disowani. "Hubungan kami tetap zakelijk", kata Mardjono kepada TEMPO. Maka seraya ia memuji Ali Sudikin, bahwa orang ini tak punya sikap munailk, bila jadi tauladan bagi masyarakatnya dan "sulit dicari gantinya", ia jugu menambahkan kritik. Ali Sadikin kadang-kadang terlalu mengutamakan strategi, hingga penyalahgunaan wewenang oleh bawahannya terasa seperti dibiarkan. Tak berarti ia tak pernah menindak anak buahnya. Tapi Sadikin pun punya batas - dan juga kesalahan, tentu saja. Mungkin penglepasannyu dari kursi penjabat Kepala Daerah pada saat ini justru merupakan alamat baik baginya, sebelum harum namanya hilang dari Jakarta yang terus berubah. Sebelum orang lupa mengenang jasa besar yang telah dilakukannya. Sewaktu kita dengan kagum melih berkata seperti harapan orang yang melantiknya dulu - "dit heeft Ali Sadikin gedaan, inilah perbuatan Ali Sadikin".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus