HASAN, 57, gelandangan. Di daerah Pekalongan, tempat asalnya,
Hasan masih punya rumah yang kini ditempati kedua orang tuanya.
Dia sendiri yang mengaku sudah 15 tahun menjadi gelandangan di
Jakarta, punya dua isteri. Yang satu dengan dua anak tinggal di
Pekalongun. Yang satu lagi tanpa anak, sama-sama di Jakarta.
Syukur katanya ketika tahu Ali Sudikin akan diganti. Tapi
gelandangan yang pernah kena pembersihan dan mendekam di LPK
Cipinang selama dua bulun itu berkata pula: Saya tahu, kalau
banyak orang macam saya di jalan-jalan, Jakarta akan kelihatan
kotor. Tapi cari kerjaan juga susah sih di sini, katanya.
Karena itu Hasan walaupun tiduk suka Ali Sadikin, belakangan dia
bilang: Diganti nggak diganti bukan urusan saya. Tapi kalau
ditanya apa suya betah atau tidak tinggal di Jakarta, saya
bilang betah. Sebab biar kerja susah saya toh masih bisa makan.
Maksudnya, Hasan yang kini mengumpulkan kertas bekas itu bisa
hidup dari sana. Sehari rata-rata dapat 10 kg. Dengan harga Rp
100 per kilo, maka bisa diperoleh uang sebesar Rp 100. Dari
jumlah itu, Rp 20 disisihkan sebagai tabungan.
S. Bagio, pelawak. Tinggal di Jakarta selama 17 tahun lebih,
pelawak yang sering main film itu menilai Ali Sadikin sebagai
orang yang sudah. "Tapi dia bertindak itu dengan tujuan yang
baik", katanya.
Pelawak asal Purwokerto itu menganggap masalah penggusuran dan
bebas becak itu wajar. Tindakan aparat DKI kepada mereka itu
perlu. "Ditindak secara sadis saja mereka masih bandel. Lihat
tukang beca, sudah diberi tahu itu tidak boleh toh masih mencoba
melanggar juga", katanya. Lanjut Bagio: Kalau sudah berani
tinugal di Jakarta lantas bila rumahnya kena potong untuk
pembangunan jalan, ya mesti terima saja. Toh itu untuk
kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan Ali Sadikin. "Masa
di samping bangunan megah ada gubuk reyot, ya wajar dong kalau
Bang Ali memindahkan gubuk itu ke pinggiran", ujar Bagio.
Bagio juga menilai Ali Sadikin sukses. Gubernur itu sudah bisa
menampung segala kepentingan masyarakat. "Yang seniman puas,
yang Jawa puas, yang Padang puas, yang Batak puas, yang Arab
puas, dan yang Cina pun puas terhadap kebijaksanaan Ali
Sadikin". Itulah sebabnya Bagio agak pusing juga mencari orang
yang pantas jadi penggantinya. "Tapi dari nama-nama yang ditulis
di koran, saya cenderung Pak Rusmin barangkali cocok menjadi
pengganti Ali Sadikin", katanya.
Maya Puspa, Ketua Himpunan Wadam (Hiwad). Ali Sadikin banyak
menolong para "wadam", ketika kaum minoritas itu dianggap rendah
oleh masyarakat. Dulu, sering kalau ada operasi pembersihan,
para wadan dikejar-kejar. Tapi sekarang sudah jauh berkurang.
Karena himpunan itu memang sudah mendisiplinkan anggotanya untuk
tidak nongkrong di jalan-jalan lewat jam 1 malam. Agar tidak
mengganggu pemandangan.
"Saya sedih dan menyesali Ali Sadikin kenapa dia cepat diganti".
ujar Maya yang memiliki tubuh tinggi besar itu. Ali Sadikin yang
digambarkannya sebagai pejabat yang disiplin, tegas, tak pandang
bulu dan yang tak tercemar oleh korupsi itu, menurut Ketua
Hiwad, merupakan orang pertama yang memperhatikan masih wadam.
Hanya ada permintaan hiwad yang sampai kini belum memperoleh
jawaban. Yaitu permintaan lokalisasi sementara bagi wadam untuk
melakukan operasinya, seperti yang kini sudah dimiliki "wts".
"Tapi mudah-mudahan Ali Sadikin naik lagi sebagai gubernur",
ujar Maya.
Rendra, penyair & dramawan, Ia menilai Ali Sadikin memiliki enam
sifat kepemimpinan. Antara lain, tidak dipengaruhi oleh
kepentingan pribadi, bisa menghargai inisiatif, mengerti
kepentingan rakyat, memiliki sifat perwira dan ksatria, tidak
mencari wibawa tapi diberi wibawa oleh rakyat.
Ali Sadikin, lanjut Rendra, tidak takut dan tak pernah menutup
dirinya dari kritik, Meskipun sering menjawab kritik dengan
keras. Enam sifat kepemimpinan yang dimiliki gubernur yang akan
turun itu, tidak ada duanya di Indonesia. Dan Rendra ragu apakah
pengganti Ali Sadikin ada yang bisa memiliki sifat-sifat tadi.
Malahan "saya pesimis", kataya, karena sepanjang gejala-gejala
yang nampak, Angkatan 45 tidak pernah mendidik diri sendiri
ataupun mendidik anak-anaknya dengan sifat-sifat itu".
Namun kebijaksanaan Ali Sadikin dengan menjadikan Jakarta
sebagai kota metropolitan, tidak disetujui Rendra, karena dengan
begitu, Jakarta menjadi sarana penumpuan kekuatan kapitalis yang
akan menghisap kekayaan Indonesia.
Tapi tentang gelandangan, penggusuran dan banjir, menurut Rendra
itu bukan kesalahan Ali Sadikin. "Gelandangun itu kan tidak
pernah diundang All Sadikin ke Jakarta, katanya. Gelandangan itu
datang dari daerah dan desa yang jatuh miskin akibut cara
pembangnan yang salah. Pembangunan di daerah dan desa itu hanya
menguntungkan modal asing, pedagang kaya dan petanl kaya. Tapi
pendapat saya ini hanya sebagai pengamat lho, sebab saya bukan
politikus, kata Rendra.
Kiyai Haji Syafiie, pimpinan pesantren Asyafiiyah. Dan ulama
Jakarta yang terkenal itu, Ali Sadikin dianggap orang yang kini
telah mendapat taufiq dan hidayah dari Allah". Katanya, dulu
dialah yang menentung Ali Sadikin paling keras, ketika ada usul
tentang pembakaran mayat. Ali Sadikin marah sama saya. Katanya
Syafiie itu kiyai Jakarta yang keras, saya harus ketemu Syafiie,
ceritera sang ulama.
Dalam pertemuan itu, menurut Syafiie, Ali Sudikin diberi
penolakan bahwa membakar mayat itu haram dalam hukum Islam.
Hanya Allah yang boleh melakukan pembakaran, bukan manusia.
Lewat kutipan hadits dan Qur'an, Ali Sadikin kemudian bisa
menerima. Tak lama kemudian gubernur itu naik haji. Menurut
ulama itu, dialah juga yang mendoakan keberangkatannya dengan
iringan isak-tangis ketika Ali Sadikin pergi ke Mekah. "Wajarlah
bila ada manusia yang dulu melakukan kemungkaran terhadap Allah
kemudian berbalik mencintai Allah", ujar Syfiie. "Dan Ali
Sadikin, walaupun baru berbalik 50 derajat, ini suatu kemajuan.
Kita jangan terlalu berfikir tentang masa lalunya".
Supriyanto, 25, sopir oplet. Anak muda yang baru punya anak satu
itu menjadl sopir oplet sudah 10 tahun. Dulu, memperoleh SIM A
dengan jalan mengkorup umur.
Saya suka Ali Sadikin, tapi kadang-kadang benci. Dia suka bikin
peraturan seenaknya, katanya. Setahun yang lalu, kata
Supriyanto, mereka masih boleh beroperasi ke mana saja. Tapi
begitu rute itu sudah gemuk dengan penumpang, mereka digeser.
"Kami digencet terus tapi pajak ditarik terus, katanya. Tiap
hari terminal Pasar Minggu itu menarik retribusi resmi sebesar
Rp 150. Tapi setiap kali masuk ke terminal membayar Rp 50 lagi.
Bayangkan kalau lima kall masuk berarti Rp 250, berapa mereka
dapat dari semua oplet yang masuk terminal itu?
"Petugas-petugas terminal ia dikritik sudah tidak mempan. Ini
kan karena atasan juga. Kalau atasannya beres, bawahannya juga
beres, kata Supriyanto, "kalau bisa pengganti Ali Sadikin tidak
menggencet oplet-oplet. Dan kami senang bila masih boleh
boroperasi di Jakarta".
Henk Ngantung, 56, bekas gubernur. Henk yang sempat memerintah
Jakarta satu tahun itu menilai Ali Sadikin tak hanya the righ
man in the right place, tapi juga the right mind in the right
time. Orang yang tepat dalam waktu yang tepat. "Dia tidak sok
mau benar sendiri, katanya. Ali Sadikin tak segan mengakui
kebrengsekan aparaturnya. Sifat Ali menyebabkan Ali Sadikin
tidak pernah berpura-pura.
Tentang penggusuran? Dalam pembangunan, menurut Henk,
penggusuran misalnya merupakan keharusan. Membangun tak berarti
harus enak. Ibarat wanata yang melahirkan anak, untuk
menghadirkan manusia baru dibutuhkan suatu kepahitan atau rasa
sakit. Pembangunanpun mau tidak mau minta pengorbanan mental dan
materil. "Dan ingat penggusuran itu sudah ada sebelum Ali
Sadikin", ucap Henk.
Bekas gubemur yang juga pelukis itu menilai, bahwa masih
dalamnya jurang antara si kaya dan si miskin di Jakarta tidak
bisa disalahkan hanya kepada Ali Sadikin. Justru gubernur yang
sebentar lagi akan turun itu lebih berhasil dari para gubernur
sebelumnya dalam hal "memanfaatkan orang-orang kaya untuk
kepentingan penduduk Jakarta". "Suatu keberuntungan yang
diperoleh Ali Sadikin ialah nama baik yang didapat karena
berprestasi kata Henk.
Kasim, 36, tukang beca. Ayah dari seorang anak yang sudah
tinggal di Jakarta sejak 14 tahun yang lalu itu. Ia mula-mula
bekerja sebagai buruh bangunan. Kemudian jadi kenek truk. Dan
lima tahun belakangan ini jadi tukang beca.
Di tengah daerah bebas beca yang semakin luas, Kasim asal Bogor
yang menarik beca dari pukul tujuh pagi sampai jam lima sore
itu. mesti main kucing-kucingan dengan petugas yang sering
melakukan razia. Sering kepergok juga. Tapi untung ada orang
gedongan yang baik hati, membuka pintu halamannya. Dan Kasim pun
terhindar dari kejaran petugas.
"Saya masih sakit hati", katanya, "Ali Sadikin terlalu
memlentingkan orang-orang kaya. Sedangkan tukang beca digusur
terus. Jalan-jalan memang tambah mulus. Tapi rakyat tambah
kurus". Dan Kasim (merasa cukup dengan pendapatan Rp 500 per
hari) menyangkal ada perubahan semenjak Ali Sadikin jadi
gubernur. "Sama saja, masih begitu", katanya, "masih tidak
mementingkan rakyat kecil". Dan tentang pengganti Ali Sadikin?
"Saya ingin gubernur yang bisa menciptakan zaman kayak Sukarno
dulu. Kami bisa bebas mencari nafkah dan berdagang. Tidak
seperti sekarang, di mana-mana digencet", keluh Kasim.
H. Ayatullah Saleh, 48, bekas wakil ketua DPRD DKI. Mewakili
fraksi NU hasil pemilu 1955, Ayatullah yang berpendidikan
madrasah dan sempat dua tahun di Mekah itu pada tahun 1966-1971
diangkat jadi wakil ketua DPRD. Ketua DPRD waktu itu dirangkap
oleh Gubernur Ali Sadikin. Ia dikenal"keras" menghadapi
Gubernur.
Ali Sadikin, kata Ayatullah, selain suka blak-blakan sehingga
orang tahu apa yang jadi keinginannya juga mampu meyakinkan
koleganya. Ketika dia akan mengambil keputusan tentang judi
misalnya, semuanya setuju kebijaksanaan itu. "Padahal sebagai
orang Islam terang saya tak setuju, tapi saya toh bisa memahami
maksud pak Ali untuk mengadakan perjudian itu", ucap Ayatullah.
Dan ketika kalangan Islam menyerang kebijaksanaan itu, Ali
Sadikin dengan beraninya menghadapi sendiri, tanpa minta bantuan
siapapun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini