Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka Bicara Tentang ...

Gelandangan, pengemudi becak, supir oplet mengkritik tindakan Ali Sadikin yang mempersempit ruang gerak. Ulama, seniman, pelawak memuji sifat-sifat kepemimpinannya. (nas)

18 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HASAN, 57, gelandangan. Di daerah Pekalongan, tempat asalnya, Hasan masih punya rumah yang kini ditempati kedua orang tuanya. Dia sendiri yang mengaku sudah 15 tahun menjadi gelandangan di Jakarta, punya dua isteri. Yang satu dengan dua anak tinggal di Pekalongun. Yang satu lagi tanpa anak, sama-sama di Jakarta. Syukur katanya ketika tahu Ali Sudikin akan diganti. Tapi gelandangan yang pernah kena pembersihan dan mendekam di LPK Cipinang selama dua bulun itu berkata pula: Saya tahu, kalau banyak orang macam saya di jalan-jalan, Jakarta akan kelihatan kotor. Tapi cari kerjaan juga susah sih di sini, katanya. Karena itu Hasan walaupun tiduk suka Ali Sadikin, belakangan dia bilang: Diganti nggak diganti bukan urusan saya. Tapi kalau ditanya apa suya betah atau tidak tinggal di Jakarta, saya bilang betah. Sebab biar kerja susah saya toh masih bisa makan. Maksudnya, Hasan yang kini mengumpulkan kertas bekas itu bisa hidup dari sana. Sehari rata-rata dapat 10 kg. Dengan harga Rp 100 per kilo, maka bisa diperoleh uang sebesar Rp 100. Dari jumlah itu, Rp 20 disisihkan sebagai tabungan. S. Bagio, pelawak. Tinggal di Jakarta selama 17 tahun lebih, pelawak yang sering main film itu menilai Ali Sadikin sebagai orang yang sudah. "Tapi dia bertindak itu dengan tujuan yang baik", katanya. Pelawak asal Purwokerto itu menganggap masalah penggusuran dan bebas becak itu wajar. Tindakan aparat DKI kepada mereka itu perlu. "Ditindak secara sadis saja mereka masih bandel. Lihat tukang beca, sudah diberi tahu itu tidak boleh toh masih mencoba melanggar juga", katanya. Lanjut Bagio: Kalau sudah berani tinugal di Jakarta lantas bila rumahnya kena potong untuk pembangunan jalan, ya mesti terima saja. Toh itu untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan Ali Sadikin. "Masa di samping bangunan megah ada gubuk reyot, ya wajar dong kalau Bang Ali memindahkan gubuk itu ke pinggiran", ujar Bagio. Bagio juga menilai Ali Sadikin sukses. Gubernur itu sudah bisa menampung segala kepentingan masyarakat. "Yang seniman puas, yang Jawa puas, yang Padang puas, yang Batak puas, yang Arab puas, dan yang Cina pun puas terhadap kebijaksanaan Ali Sadikin". Itulah sebabnya Bagio agak pusing juga mencari orang yang pantas jadi penggantinya. "Tapi dari nama-nama yang ditulis di koran, saya cenderung Pak Rusmin barangkali cocok menjadi pengganti Ali Sadikin", katanya. Maya Puspa, Ketua Himpunan Wadam (Hiwad). Ali Sadikin banyak menolong para "wadam", ketika kaum minoritas itu dianggap rendah oleh masyarakat. Dulu, sering kalau ada operasi pembersihan, para wadan dikejar-kejar. Tapi sekarang sudah jauh berkurang. Karena himpunan itu memang sudah mendisiplinkan anggotanya untuk tidak nongkrong di jalan-jalan lewat jam 1 malam. Agar tidak mengganggu pemandangan. "Saya sedih dan menyesali Ali Sadikin kenapa dia cepat diganti". ujar Maya yang memiliki tubuh tinggi besar itu. Ali Sadikin yang digambarkannya sebagai pejabat yang disiplin, tegas, tak pandang bulu dan yang tak tercemar oleh korupsi itu, menurut Ketua Hiwad, merupakan orang pertama yang memperhatikan masih wadam. Hanya ada permintaan hiwad yang sampai kini belum memperoleh jawaban. Yaitu permintaan lokalisasi sementara bagi wadam untuk melakukan operasinya, seperti yang kini sudah dimiliki "wts". "Tapi mudah-mudahan Ali Sadikin naik lagi sebagai gubernur", ujar Maya. Rendra, penyair & dramawan, Ia menilai Ali Sadikin memiliki enam sifat kepemimpinan. Antara lain, tidak dipengaruhi oleh kepentingan pribadi, bisa menghargai inisiatif, mengerti kepentingan rakyat, memiliki sifat perwira dan ksatria, tidak mencari wibawa tapi diberi wibawa oleh rakyat. Ali Sadikin, lanjut Rendra, tidak takut dan tak pernah menutup dirinya dari kritik, Meskipun sering menjawab kritik dengan keras. Enam sifat kepemimpinan yang dimiliki gubernur yang akan turun itu, tidak ada duanya di Indonesia. Dan Rendra ragu apakah pengganti Ali Sadikin ada yang bisa memiliki sifat-sifat tadi. Malahan "saya pesimis", kataya, karena sepanjang gejala-gejala yang nampak, Angkatan 45 tidak pernah mendidik diri sendiri ataupun mendidik anak-anaknya dengan sifat-sifat itu". Namun kebijaksanaan Ali Sadikin dengan menjadikan Jakarta sebagai kota metropolitan, tidak disetujui Rendra, karena dengan begitu, Jakarta menjadi sarana penumpuan kekuatan kapitalis yang akan menghisap kekayaan Indonesia. Tapi tentang gelandangan, penggusuran dan banjir, menurut Rendra itu bukan kesalahan Ali Sadikin. "Gelandangun itu kan tidak pernah diundang All Sadikin ke Jakarta, katanya. Gelandangan itu datang dari daerah dan desa yang jatuh miskin akibut cara pembangnan yang salah. Pembangunan di daerah dan desa itu hanya menguntungkan modal asing, pedagang kaya dan petanl kaya. Tapi pendapat saya ini hanya sebagai pengamat lho, sebab saya bukan politikus, kata Rendra. Kiyai Haji Syafiie, pimpinan pesantren Asyafiiyah. Dan ulama Jakarta yang terkenal itu, Ali Sadikin dianggap orang yang kini telah mendapat taufiq dan hidayah dari Allah". Katanya, dulu dialah yang menentung Ali Sadikin paling keras, ketika ada usul tentang pembakaran mayat. Ali Sadikin marah sama saya. Katanya Syafiie itu kiyai Jakarta yang keras, saya harus ketemu Syafiie, ceritera sang ulama. Dalam pertemuan itu, menurut Syafiie, Ali Sudikin diberi penolakan bahwa membakar mayat itu haram dalam hukum Islam. Hanya Allah yang boleh melakukan pembakaran, bukan manusia. Lewat kutipan hadits dan Qur'an, Ali Sadikin kemudian bisa menerima. Tak lama kemudian gubernur itu naik haji. Menurut ulama itu, dialah juga yang mendoakan keberangkatannya dengan iringan isak-tangis ketika Ali Sadikin pergi ke Mekah. "Wajarlah bila ada manusia yang dulu melakukan kemungkaran terhadap Allah kemudian berbalik mencintai Allah", ujar Syfiie. "Dan Ali Sadikin, walaupun baru berbalik 50 derajat, ini suatu kemajuan. Kita jangan terlalu berfikir tentang masa lalunya". Supriyanto, 25, sopir oplet. Anak muda yang baru punya anak satu itu menjadl sopir oplet sudah 10 tahun. Dulu, memperoleh SIM A dengan jalan mengkorup umur. Saya suka Ali Sadikin, tapi kadang-kadang benci. Dia suka bikin peraturan seenaknya, katanya. Setahun yang lalu, kata Supriyanto, mereka masih boleh beroperasi ke mana saja. Tapi begitu rute itu sudah gemuk dengan penumpang, mereka digeser. "Kami digencet terus tapi pajak ditarik terus, katanya. Tiap hari terminal Pasar Minggu itu menarik retribusi resmi sebesar Rp 150. Tapi setiap kali masuk ke terminal membayar Rp 50 lagi. Bayangkan kalau lima kall masuk berarti Rp 250, berapa mereka dapat dari semua oplet yang masuk terminal itu? "Petugas-petugas terminal ia dikritik sudah tidak mempan. Ini kan karena atasan juga. Kalau atasannya beres, bawahannya juga beres, kata Supriyanto, "kalau bisa pengganti Ali Sadikin tidak menggencet oplet-oplet. Dan kami senang bila masih boleh boroperasi di Jakarta". Henk Ngantung, 56, bekas gubernur. Henk yang sempat memerintah Jakarta satu tahun itu menilai Ali Sadikin tak hanya the righ man in the right place, tapi juga the right mind in the right time. Orang yang tepat dalam waktu yang tepat. "Dia tidak sok mau benar sendiri, katanya. Ali Sadikin tak segan mengakui kebrengsekan aparaturnya. Sifat Ali menyebabkan Ali Sadikin tidak pernah berpura-pura. Tentang penggusuran? Dalam pembangunan, menurut Henk, penggusuran misalnya merupakan keharusan. Membangun tak berarti harus enak. Ibarat wanata yang melahirkan anak, untuk menghadirkan manusia baru dibutuhkan suatu kepahitan atau rasa sakit. Pembangunanpun mau tidak mau minta pengorbanan mental dan materil. "Dan ingat penggusuran itu sudah ada sebelum Ali Sadikin", ucap Henk. Bekas gubemur yang juga pelukis itu menilai, bahwa masih dalamnya jurang antara si kaya dan si miskin di Jakarta tidak bisa disalahkan hanya kepada Ali Sadikin. Justru gubernur yang sebentar lagi akan turun itu lebih berhasil dari para gubernur sebelumnya dalam hal "memanfaatkan orang-orang kaya untuk kepentingan penduduk Jakarta". "Suatu keberuntungan yang diperoleh Ali Sadikin ialah nama baik yang didapat karena berprestasi kata Henk. Kasim, 36, tukang beca. Ayah dari seorang anak yang sudah tinggal di Jakarta sejak 14 tahun yang lalu itu. Ia mula-mula bekerja sebagai buruh bangunan. Kemudian jadi kenek truk. Dan lima tahun belakangan ini jadi tukang beca. Di tengah daerah bebas beca yang semakin luas, Kasim asal Bogor yang menarik beca dari pukul tujuh pagi sampai jam lima sore itu. mesti main kucing-kucingan dengan petugas yang sering melakukan razia. Sering kepergok juga. Tapi untung ada orang gedongan yang baik hati, membuka pintu halamannya. Dan Kasim pun terhindar dari kejaran petugas. "Saya masih sakit hati", katanya, "Ali Sadikin terlalu memlentingkan orang-orang kaya. Sedangkan tukang beca digusur terus. Jalan-jalan memang tambah mulus. Tapi rakyat tambah kurus". Dan Kasim (merasa cukup dengan pendapatan Rp 500 per hari) menyangkal ada perubahan semenjak Ali Sadikin jadi gubernur. "Sama saja, masih begitu", katanya, "masih tidak mementingkan rakyat kecil". Dan tentang pengganti Ali Sadikin? "Saya ingin gubernur yang bisa menciptakan zaman kayak Sukarno dulu. Kami bisa bebas mencari nafkah dan berdagang. Tidak seperti sekarang, di mana-mana digencet", keluh Kasim. H. Ayatullah Saleh, 48, bekas wakil ketua DPRD DKI. Mewakili fraksi NU hasil pemilu 1955, Ayatullah yang berpendidikan madrasah dan sempat dua tahun di Mekah itu pada tahun 1966-1971 diangkat jadi wakil ketua DPRD. Ketua DPRD waktu itu dirangkap oleh Gubernur Ali Sadikin. Ia dikenal"keras" menghadapi Gubernur. Ali Sadikin, kata Ayatullah, selain suka blak-blakan sehingga orang tahu apa yang jadi keinginannya juga mampu meyakinkan koleganya. Ketika dia akan mengambil keputusan tentang judi misalnya, semuanya setuju kebijaksanaan itu. "Padahal sebagai orang Islam terang saya tak setuju, tapi saya toh bisa memahami maksud pak Ali untuk mengadakan perjudian itu", ucap Ayatullah. Dan ketika kalangan Islam menyerang kebijaksanaan itu, Ali Sadikin dengan beraninya menghadapi sendiri, tanpa minta bantuan siapapun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus