Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Petahana Presiden Rusia Vladimir Putin meraih kemenangan besar dalam pemilihan umum di Rusia pada Minggu, 17 Maret 2024, memperkuat dominasinya yang telah berlangsung selama dua setengah dekade dan menegaskan pandangannya yang tegas terhadap Barat serta intervensi militer Rusia di Ukraina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vladimir Putin, yang telah memerintah Rusia selama 24 tahun, sebelumnya menjabat sebagai Presiden Rusia dari 1999 hingga 2008 dan kembali menjabat sejak 2012. Sebelum terjun ke dunia politik, ia adalah seorang perwira intelijen luar negeri di KGB selama 16 tahun sebelum akhirnya memulai karir politiknya di Saint Petersburg.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama masa jabatan pertamanya sebagai presiden, Putin berhasil mengalami pertumbuhan ekonomi selama delapan tahun berturut-turut, yang didorong oleh kenaikan harga minyak dan gas, pemulihan dari krisis pasca-komunis, peningkatan investasi asing, serta kebijakan ekonomi yang hati-hati.
Putin dilahirkan di Leningrad (sekarang St. Petersburg), dengan latar belakang keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang tentara di Angkatan Laut Soviet sementara ibunya bekerja di pabrik. Sejak kecil, Putin sudah tertarik pada seni bela diri dan politik, serta memiliki minat dalam membaca karya-karya Marx, Engels, dan Lenin.
Setelah lulus dari Universitas Negeri Saint Petersburg pada tahun 1975 dengan gelar dalam bidang hukum, Putin bergabung dengan KGB dan dilatih di Moskow sebelum ditugaskan ke Dresden, Jerman Timur. Dia kemudian mengundurkan diri dari KGB pada tahun 1991 setelah kudeta terhadap Mikhail Gorbachev, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap peristiwa tersebut dan menolak untuk terlibat dalam pemerintahan baru yang terbentuk.
Awal Putin Masuk ke Dunia Politik
Pada bulan Juni 1991, Vladimir Putin mulai meniti karier politiknya dengan menjadi kepala Komite Hubungan Eksternal Kantor Wali Kota, bertanggung jawab dalam mempromosikan hubungan internasional dan investasi asing.
Namun, pada tahun berikutnya, ia diselidiki oleh dewan legislatif kota karena tindakan meremehkan harga dan izin ekspor logam senilai US$93.000.000 sebagai ganti bantuan pangan asing yang tidak sampai. Meskipun ada rekomendasi untuk mencopot Putin dari jabatannya, ia tetap menjabat sebagai kepala kota hingga tahun 1996.
Pada tahun 1994, ia diangkat sebagai Wakil Ketua Pertama Pemerintah Saint Petersburg dan kemudian pada Mei 1995, ia mendirikan cabang Saint Petersburg dari partai politik pro-pemerintah Our Home - Russia. Ia memimpin cabang tersebut hingga Juni 1997.
Pada tahun yang sama, Presiden Boris Yeltsin menunjuk Putin sebagai Wakil Kepala Staf Kepresidenan, jabatan yang dipegangnya hingga Mei 1998. Yeltsin kemudian menunjuknya sebagai Direktur Dinas Keamanan Federal, yang merupakan organisasi intelijen dan keamanan utama Rusia serta penerus KGB.
Pada bulan Agustus 1999, Putin diangkat sebagai salah satu dari tiga Wakil Perdana Menteri Pertama. Pada hari yang sama, ia setuju untuk mencalonkan diri sebagai presiden sesuai dengan keinginan Yeltsin.
Masa Jabatan Presiden
Pada 31 Desember 1999, Yeltsin tiba-tiba mengundurkan diri, dan sesuai dengan Konstitusi Rusia, Putin menjadi Penjabat Presiden Federasi Rusia. Selama periode antara 2000 hingga 2004, Putin memulai upaya rekonstruksi negara yang miskin, dan berhasil meraih kekuasaan dengan menantang oligarki Rusia.
Selama krisis penyanderaan teater Moskow pada 2002, banyak media internasional memperkirakan bahwa tingginya jumlah korban, yakni 130 sandera, dalam operasi penyelamatan pasukan khusus akan merugikan popularitas Presiden Rusia Vladimir Putin. Namun, beberapa waktu setelah peristiwa tersebut, popularitas Putin justru meroket, dengan 83 persen warga Rusia menyatakan puas atas penanganannya terhadap krisis tersebut.
Pada Maret 2004, Putin terpilih sebagai presiden untuk masa jabatan kedua, dan kemudian pada Desember 2007, partainya, Rusia Bersatu, memenangkan 64,24 persen suara dalam pemilihan umum. Kemenangan tersebut dianggap sebagai indikasi dukungan yang kuat dari rakyat terhadap kepemimpinan Putin dan kebijakan-kebijakannya.
Karena Konstitusi melarang seseorang untuk menjabat lebih dari dua periode berturut-turut, Dmitry Medvedev, Wakil Perdana Menteri Pertama, terpilih sebagai penggantinya dalam operasi peralihan kekuasaan. Putin kemudian diangkat sebagai Perdana Menteri Rusia, tetapi tetap mempertahankan dominasi politiknya.
Pada bulan September 2011, Medvedev mengumumkan bahwa ia akan merekomendasikan partai untuk mencalonkan Putin sebagai kandidat presiden. Meskipun terjadi tuduhan kecurangan dalam pemilihan, Putin berhasil memenangkan pemilihan presiden Rusia tahun 2012. Aksi protes anti-Putin terjadi selama dan setelah kampanye presiden, namun di sisi lain, terdapat pula protes yang mendukung Putin. Aksi protes tersebut mencapai puncaknya dengan pertemuan sekitar 130.000 pendukung di Stadion Luzhniki, stadion terbesar di Rusia.
Pada 2014, Rusia melakukan serangkaian serangan militer terhadap wilayah Ukraina. Banyak anggota komunitas internasional menganggap bahwa aneksasi Krimea oleh Putin menandai awal dari kebijakan luar negeri Rusia yang baru, yang menandakan pergeseran dari pendekatan "negara yang didorong oleh kebijakan luar negeri" menjadi pendekatan yang lebih agresif dalam upaya untuk menghidupkan kembali pengaruh Uni Soviet.
Pada 2018, Putin mencalonkan diri untuk periode keempat sebagai presiden dan memenangkan lebih dari 76 persen suara dalam pemilihan. Pada 2020, ia mengusulkan serangkaian amendemen konstitusi yang signifikan yang berpotensi memperluas kekuasaan politiknya setelah masa kepresidenannya.
Pada September 2021, Ukraina melaksanakan latihan militer dengan pasukan NATO, yang kemudian direspons oleh Kremlin dengan peringatan bahwa peningkatan infrastruktur militer NATO di Ukraina akan melampaui "garis merah" bagi Putin.
Pada Februari 2022, Putin mengeluarkan peringatan bahwa keanggotaan Ukraina dalam NATO bisa memicu upaya untuk merebut kembali kendali atas Krimea yang telah diduduki oleh Rusia atau wilayah yang dikuasai oleh kelompok separatis pro-Rusia di Donbas. Dalam sebuah pidato yang disiarkan di televisi, Presiden Putin mengumumkan pelaksanaan "operasi militer khusus" di Ukraina, yang kemudian berujung pada invasi penuh skala ke negara tersebut.
Dampaknya, banyak negara yang memberlakukan sanksi terhadap Rusia sebagai respons atas invasi tersebut. Sebagai tanggapan, Putin memerintahkan unit penangkal nuklir Pasukan Roket Strategis untuk berada dalam keadaan siaga tinggi.
MICHELLE GABRIELA | IDA ROSDALINA