HARI-HARI menegangkan di Filipina lewat sudah. Dan, sejak Senin siang pekan ini, Presiden Cory Aquino boleh bernapas lega. Karena ia telah lolos dari banyak rintangan untuk mengantarkan konstitusi keempat Filipina ini. Sejak Komite Konstitusi dibentuk, Juni lalu, banyak politisi mempertanyakan: mengapa komite beranggotakan 48 orang ini ditunjuk Presiden Aquino. Karena, keputusan itu secara otomatis membuka kesempatan bagi "campur tangan" dan "kepentingan pribadi" Cory. Tapi, baik Cory maupun Ketua Komite, Cecilia Munoz Palma, tak bergeming. Dalam tempo lima bulan, setelah melalui 111 kali perbincangan dan 100 dengar pendapat - yang semuanya dimulai dengan doa bersama - Komite Palma berhasil menyelesaikan 18 bab rancangan konstitusi setebal 109 halaman. Hanya dua anggota Komite yang tak setuju isi rancangan Konstitusi itu seluruhnya. Anggota Komite yang tak sepakat itu adalah Jose Suarez dan Jaime Tadeo. Bahkan mereka melegalisasikan ketidaksetujuan mereka terhadap rancangan Konstitusi 1986 itu dengan mengimbuhkan "I vote no" di depan tanda tangan masing-masing pada dokumen itu. Alasannya? Menurut Suarez, sedikitnya 99 dari 321 ketentuan dalam konstitusi baru itu tidak memiliki penafsiran yang tepat. 99 ketentuan itu, katanya, masih harusdirumuskan lagi dalam ketetapan hukum lainnya. Tapi Cory tetap yakin bahwa rancangan konstitusi yang digodok Komite Palma merupakan "Kerangka baru demokrasi yang akan menentukan masa depan Filipina." Ia, katanya, lahir sebagai antitesa atas tonggak demokrasi yang didirikan Presiden Marcos. Tapi Arturo Talentino, pendamping Marcos dalam Pemilu 1986, berpendapat lain. Ahli perundang-undangan itu, dalam wawancaranya dengan wartawan TEMPO, Bambang Harymurti dan Ahmed Suryawidjaya, justru menilai motivasi utama Cory menggolkan rancangan Konstitusi 1986 lebih merupakan "balas dendam". Karena Cory, kata Tolentino, membubarkan Majelis Nasional (Batasang Pambansa). Sebab, "lembaga itu memilih Marcos." Tuduhan itu dibantah Palma. Secara harfiah, katanya, Konstitusi 1986 lebih menghargai martabat manusia. Pada Bab III Konstitusi baru, misalnya, dicantumkanlah empat ketentuan yang tidak ada dalam Konstitusi 1973. Di situ, antara lain, disebutkan tentang larangan penyiksaan, pemaksaan, kekerasan, ancaman, bahkan penahanan rahasia (Pasal 12). Selain itu, ditambahkan pula bahwa perbedaan keyakinan politik bukan menjadi alasan untuk menahan seseorang (Pasal 18), pembatasan pelaksanaan hukuman mati (Pasal 19), serta larangan penyiksaan terhadap tahanan (Pasal 19). "Jiwa utama konstitusi baru ini adalah keadilan sosial," kata Palma. Lewat Konstitusi 1986, Komite menghidupkan kembali sistem presidentil yang dikubur melalui Konstitusi 1973. Juga akan diselenggarakan lagi sistem perwakilan dua tingkat (Senat dan DPR). Badan yang disebut Kongres terdiri dari Senat (24 anggota) dan DPR (maksimal 250 anggota), yang akan pembuat undang-undang nantinya. Konstitusi 1986 juga membatasi kekuasaan pangreh praja dan memperketat unsur pengawasan. Misalnya jabatan kepresidenan hanya untuk enam tahun, dan berlaku satu kali saja (Bab VII Pasal 4). Bahkan hak presiden menyatakan keadaan darurat diperberat pula persyaratannya. Antara lain keadaan darurat itu hanya berlaku untuk masa 60 hari (Bab VII Pasal 18), tidak serta merta membatalkan Konstitusi, dan Kongres berhak membatalkan keputusan tersebut. Selain itu, ada ketentuan yang mengatur "campur tangan" kekuasaan hukum untuk meninjau keputusan presiden. Kendati demikian, peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan masih terbuka. "Memang ada perangkat pengamannya -- seperti pula dalam Konstitusi 1973. Tapi Anda tetap bisa menjadi diktator dengan konstitusi apa pun, asalkan Anda didukung pihak militer," kata Tolentino. "Jika Anda melakukan seperti yang dikerjakan Cory: membentuk pemerintahan revolusioner tanpa persetujuan Parlemen dan mendapat dukungan militer, konstitusi menjadi sebuah kertas yang tak berharga," tutur Talentino. Bahwa Konstitusi 1986 menjamin pembagian kekuasaan lebih merata, memang diakui sendiri oleh Talentino. Melalui Konstitusi 1986, Presiden Cory Aquino tidak cuma ingin memperbarui perangkat ketatanegaraannya. Ia juga mereformulasikan pengertian wilayah kedaulatan nasional, agar tidak menarik pertikaian lebih besar dengan negara-negara lain. Itulah sebabnya para oposan mengeritik habis Konstitusi baru ini, karena tidak lagi mengartikan Sabah sebagai wilayah Filipina. Ricardo J. Romulo, anggota Komite Konstitusional yang ikut menbidani kelahiran UUD ini, menganggap tuduhan para oposan itu tidak beralasan. Katanya, kalimat "all other territories over which the Philippinnes has sovereignty or jurisdiction" mengikutsertakan "wewenang bagi pemerintah untuk melanjutkan klaim atas wilayah Sabah." Mengenai masuknya ketentuan otonomi bagi wilayah Mindanao Muslim dan Cordilleras (Bab X Pasal 15-21) telah menimbulkan kekhawatiran kaum Nasrani, terutama yang berdiam di Mindanao. Kata Romulo, wilayah otonomi yang dimaksud adalah wilayah yang mayoritas penduduknya Islam. Tapi ketentuan ini justru melenceng dari keinginan kelompok Islam di sana, terutama MNLF (Front Pembebasan Nasional Moro). Yang mereka inginkan adalah negara Islam merdeka. Bahkan belakangan mereka menuntut otonomi untuk wilayah yang lebih luas dari Persetujuan Tripoli, 1976. Dengan diterimanya Konstitusi 1986, tidak mudah bagi mereka mencapai tuntutan itu. Padahal, sebelumnya, mereka sudah sepakat membahas masalah otonomi ini dalam komisi gabungan pemerintah dan kelompok-kelompok Islam. Waktu itu disepakati bahwa dalam tempo 90 hari, terhitung 9 Februari, Komisi sudah harus menyelesaikan pelaksanaan otonomi di Mindanao, Basilan, Kepulauan Sulu, Tawi-Tawi, dan Palawan. Tokoh MNLF, Nur Misuari, mencoba mengatasi masalah konstitusional ini dengan usulan, supaya Cory Aquino mengeluarkan Instruksi Presiden untuk menunda ketentuan otonomi yang berlaku. Sulitnya, Cory tak mungkin bisa mengelak dari tuntutan-tuntutan itu. Apalagi Misuari mengancam akan mengangkat senjata bila keinginan MNLF tak digubris. Sementara itu, kelompok lain juga tidak mau ketinggalan menyuarakan ketidakpuasan mereka. Antara lain kelompok radikal Kilusang Magbubukid ng Pilipinas (Gerakan Petani Filipina). Mereka memprotes, karena menganggap konstitusi baru ini masih menguntungkan pemilik tanah. Apalagi Kongres mempunyai kekuasaan menentukan batas maksimal pemilikan dan besarnya ganti rugi. Kesimpulan mereka: janji-janji landreform yang didengungkan pemerintah hanya di mulut saja. Kelompok ekonom-nasionalis juga merasa terpukul, karena masih ada celah yang memungkinkan dominasi modal asing. Tapi, secara garis besar, Konstitusi baru memberi kesempatan lebih baik bagi pengusaha pribumi, dan sekaligus memperkecil kemungkinan ketergantungan kepada pihak luar. Masalah terakhir yang bisa menjadi bom waktu bagi Cory Aquino adalah soal pangkalan militer Amerika. Menurut perjanjian, Washington berhak memakai pangkalan militer di Subic dan Clark sampai 1991. Bagaimanapun ketatnya sebuah konstitusi, tak tertutup peluang untuk menerobosnya. Masalahnya, apakah Presiden Cory Aquino sanggup menaati ketentuan-ketentuan itu? Ataukah nanti akan muncul lagi konstitusi baru sebagai antitesa penguasa sekarang? Siapa tahu. James R. Lapian Laporan Bambang Harymurti (Manila)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini