Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Chile dikenal sebagai salah satu negara di Amerika Latin yang paling kaya, paling stabil dan damai. Namun unjuk rasa yang pertama kali meletup pada 6 Oktober 2019 lalu mengubah wajah Chile dalam sekejap mata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Unjuk rasa yang berujung ricuh itu, telah membuat politik dan ekonomi Chile bergolak. Ribuan masyarakat Chile turun ke jalan memprotes kenaikan ongkos transportasi umum. Aksi protes itu dengan cepat berubah menjadi tindakan anarki, pembakaran, penjarahan dan bentrokan dengan polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Rabu, 23 Oktober 2019, unjuk rasa untuk keempat kalinya meletup lagi di ibu kota Santiago dan beberapa kota lain di Chile. Berikut penjelasan dibalik unjuk rasa Chile seperti dikutip dari reuters.com, Kamis, 25 Oktober 2019.
Siapa dalang dibalik unjuk rasa Chile?
Partai-partai oposisi di Chile bersatu dan mengekspresikan dukungan pada aksi protes di negara itu, namun unjuk rasa tidak dipimpin oleh mereka. Hal sama disampaikan persatuan pelajar Chile.
Beberapa kelompok bermunculan di unjuk rasa itu, namun tak satu pun yang dengan jelas mewakili suatu golongan dan membawa tuntutan yang spesifik.
Pemerintah Chile menggambarkan unjuk rasa itu sebagai sebuah vandalisme yang didanai dan dikoordinir. Sedangkan Guillermo Holzmann, analis bidang politik dari Universitas Valparaiso, mengatakan unjuk rasa itu bisa dibagi tiga kelompok yakni kelompok sayap ultra-kiri, kelompok kejahatan terorganisir dan terakhir adalah kelompok warga Chile asli yang bergabung dalam unjuk rasa untuk mengekspresikan rasa frustrasi mereka karena naiknya biaya hidup.
Seberapa sulit hidup bagi masyarakat Chile?
Chile adalah negara paling makmur di Amerika Latin menyusul tembaga yang naik daun dan kerangka kerja ekonomi makro yang solid. Namun tingkat kesenjangan sosial di masyarakat Chile sangat mencolok.
Organisasi Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) menyebut Chile telah menjadi negara paling jomplang, dimana kesenjangan pendapatan hingga 65 persen dari rata-rata angka OECD.
Separuh dari pekerja di Chile mendapatkan US$ 550 per bulan (Rp 7,7 juta) atau kurang. Pada 2018 sebuah studi yang dilakukan pemerintah memperlihatkan pemasukan (gaji) kelompok kaya di Chile 13,6 kali lebih besar dibanding kalangan miskin Chile.
Sejumlah pengunjuk rasa mengatakan pada Reuters mereka terseok-seok karena mahalnya biaya pendidikan di sekolah swasta, sistem kesehatan, biaya sewa rumah dan kebutuhan lainnya. Uang pensiun amat rendah dan pembayarannya sering terlambat.
Ibu kota Santiago dinyatakan berstatus darurat setelah kerusuhan besar-besaran terjadi memprotes naiknya harga transportasi umum. Sumber: Reuters
Apa yang ditawarkan Presiden Chile?
Gelombang unjuk rasa yang telah berubah dengan tindak kekerasan telah mendorong Presiden Chile Sebastian Pinera membuat sejumlah langkah-langkah yang ditujukan menghapus kesenjangan sosial di sektor dana pensiun, biaya perawatan kesehatan serta memastikan pendanaan jaring pengaman sosial ke kelompok miskin Chile berjalan lancar.
Presiden Pinera berjanji akan menaikkan uang pensiun sampai 20 persen. Dia pun akan memperkenalkan sebuah jalur cepat undang-undang jaminan penyakit kritis, meamngkas harga obat bagi kalangan miskin negara itu dan menjamin UMR terendah US$ 480 per bulan.
Proposal yang disorongkan Presiden Pinera ini disambut secara luas oleh politikus oposisi. Sedangkan Emilia Schneider, Presiden Universitas Chile Student Federation mengatakan pemerintah sedang memilih untuk mengisi kekosongan antara pembayaran layanan publik yang diprivatisasi dan apa yang dibutuhkan masyarakat untuk hidup, alih-alih terlibat dalam reformasi struktural secara menyeluruh.
"Sayangnya, seluruh perubahan kosmetik ini tidak memberikan solusi substantif dan terus menempatkan kalangan bisnis diatas hak-hak masyarakat Chile," kata Schneider.