ABEL Muzorewa, tokoh nasionalis kulit hitam di Rhodesia, sudah
terjamin. Sesudah partainya memenangkan pemilihan umum April
lalu, tibalah waktunya bagi pemerintahan Muzorewa diakui
berkuasa mulai awal Juni ini. Setidaknya, kaum minoritas kulit
putih mengakuinya. Namun pengakuan internasional belum akan
diperolehnya segera. Ini berarti sanksi ekonomi dunia masih
mencekam Rhodesia.
Soal "mengakui atau tidak mengakui" terutama sekali memusingkan
London dan Washington sekarang ini. Pekan lalu Menlu Inggeris
Lord Carrington dan Menlu AS Cyrus Vance merundingkannya di
London. Keduanya rupanya saling menunggu siapa gerangan yang
terlebih dulu mengakui pemerintahan Muzorewa. Keduanya, menurut
ulasan pers dari London, seakan-akan berkata: Afteryou, Sir.
Di Washington, Presiden Jimmy Carter masih mengundurkan
keputusannya walaupun pihak Congress sudah mendesak. Dengan
suara 75 lawan 19, Senat menerima dua pekan lalu resolusi yang
menghimbau Carter supaya mengakhiri sanksi dalarn waktu 10 hari
sesudah Muzorewa resmi menjadi perdana menteri tanggal 1 Juni.
Kemudian menyusul pula langkah di House of Representatives
untuk menyodorkan RUU supaya Amerika segera mengakui Muzorewa.
Tenang Dan Jujur
Di London, PM Margaret Thatcher juga mendapat desakan yang sama.
Sebelum 3 Mei, hari pemilu Inggeris yang dimenangkannya, Ny
Thatcher memang berjanji akan mengakui pemerintahan mayoritas
kulit hitam jika pemilu Rhodesia berjalan tenang dan jujur. Di
mata kaum kulit putih, yang kebetulan menjagoi Muzorewa, pemilu
Rhodesia itu jujur. Di mata kaum nasionalis kulit hitam umumnya
pemilu itu suatu sandiwara belaka dengan konstitusi yang
bertujuan melindungi kepentingan kaum kulit putih. Patriotic
Front, kelompok nasionalis yang bergerilya, memboikot pemilu itu
sama sekali.
"Dalam pandangan kami," lapor missi partai Konservatif, pemilu
Rhodesia (17-21 April) berjalan secara fair, pantas. "Kami pikir
hasilnya mencerminkan hasrat mayoritas pemilih negeri itu."
Missi itu, pimpinan Lord Boyd, ditugaskan Ny Thatcher selagi ia
masih memimpin pihak oposisi. Kini pemerintahan Thatcher,
demikian parlemen Inggris diberitahu pekan lalu, akan berpegang
pada konklusi missi itu dalam menentukan langkah berikutnya.
Namun PM Thatcher tampak masih berhati-hati, cenderung menunda
keputusannya sampai konperensi para kepala pemerintahan
Commonwealth (Persemakmuran Inggeris) yang direncanakan di
Zambia Agustus nanti. Comrmonwealth itu terancam bahaya
perpecahan, terutama negara anggotanya di Afrika mungkin marah,
jika Inggeris akhirnya mengakui pemerintahan Muzorewa. Zambia
kebetulan menjadi pangkalan Joshua Nkomo, tokoh Patriotic Front.
Bagaimana sesudah konperensi Commonwealth itu PM Thatcher pekan
lalu membiarkan halnya tergantung tapi, katanya, "biarlah
palemen sendiri memutuskan."
Dilemma bagi PM Thatcher ialah keputusannya tidak bisa ditunda
lebih lama. Nopember nanti akan berakhir Rhodesia Act, UU tahun
1965, yang menetapkan sanksi terhadap pemerintahan minoritas
kulit putih di Salisbury yang melepaskan diri dari Ingeris
secara sepihak ketika itu. UU itu tak mungkin diperpanjang lagi.
Situasi dan kondisinya sudah berobah.
Ada gagasan pemerintahan Thatcher untuk memulihkan legalitas
Rhodesia, berarti kembali menjadi koloni Inggeris terlebih dulu.
Segera sesudah itu Inggeris akan memberi kemerdekaan pada
Zimbabwe-Rhodesia, tentu saja, di bawah pemerintahan Muzorewa.
Dengan Muzorewa, pemerintahan mayoritas memang sudah terwujud
dan menyenangkan kaum kulit putih. Menlu Vance di London pekan
lalu pun mengakui, seperti dinyatakannya dalam konperensi pers,
adanya new reality, kenyataan baru. Tapi Vance belum bisa
mengatakan apakah gerangan yang akan dilakukan Carter.
Dikatakannya Carter akan memutuskan tentang ini 15 Juni.
Soalnya ialah mungkin Afrika Selatan saja yang akan sepenuh hati
mengakui pemerintah Muzorewa. Bila ada pula pengakuan
Inggeris-Amerika, maka itu hanya lebih mendorong Afrika Hitam ke
pangkuan pengaruh Soviet-Kuba. Konfrontasi negara-negara "garis
depan" -- yang tadinya menentang Rhodesia dan rasialis Afrika
Selatan -- diduga akan memperoleh tambahan peluru karenanya.
Bila salah melangkah dalam soal Rhodesia, komentar Wall Street
Journal, Carter mungkin pula membahayakan harapannya untuk
terpilih kembali. "Kami berada dalam satu kotak," kata satu
pejabat pemerintahan Carter yang dikutip koran Amerika itu.
Artinya: Carter terjerat alam kotak yang dibikinnya sendiri.
Semula ia menganjurkan supaya diadakan pemilu, sedang pemilu
itu diketahuinya tidak diikuti semua golongan di Rhodesia. Hasil
pemilu itu tampak sudah mendapat dukungan luas di Amerika. Namun
Carter merasa melawan pahamnya sendiri bila menerima
pemerintahan Muzorewa. Itulah dilemma Carter. apalagi pihak
Congress memojoknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini